Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Melawan Mitos 'Cinta Terlarang' Pasangan Sunda dan Jawa
9 Juni 2018 12:50 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
ADVERTISEMENT
Salah satu nasihat hidup yang paling populer adalah “Jodoh ada di tangan Tuhan”. Namun bukan berarti soal jodoh hanya diserahkan pada nasib, ada banyak faktor yang menentukan.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, salah satu faktor yang menentukan adalah latar belakang suku. Di antara banyaknya suku-suku di Indonesia, yang paling populer dengan aturan pernikahan adalah suku Jawa dan Sunda.
Sudah sejak lama ada kepercayaan bahwa kedua suku sama-sama berasal dari Pulau Jawa ini dilarang terikat dalam suatu pernikahan. Alasan yang paling terkenal adalah legenda di masa lalu antara Kerajaan Majapahit (Jawa) dan Kerajaan Pajajaran (Sunda).
Keduanya terlibat dalam konflik pelik yang disebut sebagai tragedi perang bubat. Awalnya Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit berniat memperistri Putri Dyah Pitaloka dari Pajajaran. Situasi saat itu, Pajajaran merupakan satu dari sedikit kerajaan di Nusantara yang belum ditaklukan oleh Majapahit.
Pihak Pajajaran kemudian setuju dengan pernikahan tersebut dan berangkat ke Majapahit. Sayangnya, Mahapatih Gajah Mada meminta kedatangan rombongan Pajajaran sebagai pengakuan takluknya Kerajaan Sunda tersebut kepada Majapahit.
ADVERTISEMENT
Raja Pajajaran Prabu Linggabuana yang ikut dalam rombongan menolak mentah-mentah permintaan dari Gajah Mada. Peperangan antar keduanya pun tak terelakan lagi. Dyah Pitaloka yang melihat ayahnya, Linggabuana, gugur, akhirnya memilih untuk bunuh diri.
Kisah itu kemudian dipercaya secara turun-temurun dan menjadi penyebab memburuknya hubungan antara suku Jawa dan Sunda. Meski tak sedikit yang menganggapnya hanya mitos, cerita ini dipercaya sebagai awal mula larangan menikah antar suku Jawa dan Sunda.
Namun adanya larangan pernikahan Jawa dan Sunda ternyata bukan cuma persoalan historis dan tradisi belaka tapi juga telah bergeser menjadi sebuah stereotip. Stereotip menurut KBBI memliki arti konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Seperti pengalaman yang diceritakan sejumlah orang kepada kumparan, sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
Salah satunya Pandu, lelaki kelahiran Bekasi, Jawa Barat. Meski lahir di Bekasi, Pandu tumbuh dalam lingkungan Jawa yang kental. Ayahnya berasal dari Malang, Jawa Timur sementara ibunya berasal dari Jawa Tengah.
Pandu berniat menikahi kekasihnya yang kebetulan berasal dari suku Sunda itu setelah dua tahun berpacaran. Sayangnya, niat itu ditolak oleh sang ibu. Tetapi, bukan karena kepercayaan akan perang bubat, melainkan anggapan bahwa perempuan Sunda kurang ulet sehingga tidak cocok dengan lelaki Jawa yang pekerja keras.
“Ibu tidak setuju. Iya nganggapnya begitu, perempuan Sunda katanya pintar menjaga penampilan saja. Saya bilang kalau enggak semua (perempuan) Sunda kayak gitu,” kata Pandu kepada kumparan.
Pada akhirnya, Pandu harus memupus keinginannya untuk menikah dengan mengakhiri hubungan dengan sang kekasih. Peristiwa itu terjadi hampir setahun lalu. Hingga kini ia masih belum lagi menemukan pengganti sang kekasih.
ADVERTISEMENT
“Belum hehe…” ujar lelaki berusia 25 tahun itu seraya tertawa.
Meski begitu kisah hubungan Jawa dan Sunda tak melulu berujung kegagalan. Banyak yang menilai hubungan pernikahan tak tergantung suku melainkan sikap masing-masing orang.
Pipit, seorang perempuan kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, memiliki suami yang berasal dari Kebumen, Jawa Tengah. Menurutnya, hingga berjalan ke tahun kedua pernikahan, rumah tangganya berjalan normal dan tak ada konflik yang berlatarkan perbedaan antara Jawa dan Sunda.
“Enggak ada yang kaya gitu (Jawa-Sunda). Kalau menurut saya sih yang seperti itu cuma mitos saja, karena pernikahan itu balik lagi ke masing-masing orangnya, mau dari latar belakang suku manapun,” ujar Pipit kepada kumparan.
Satrio, suami Pipit membenarkan apa yang dikatakan oleh istrinya. Baginya, perjalanan pernikahan tergantung kepribadian masing-masing bukan terletak pada latar belakang suku. Namun ia tak menampik saat di masa awal pacaran, keraguan sempat muncul dari keluarganya.
ADVERTISEMENT
“Sempat sih. Dari keluarga sempat ada yang meragukan karena (stereotip) itu, ditanyain ‘Memang benar sudah yakin?’. Tapi saya yakinkan keluarga, Alhamdulillah sampe sekarang bisa berjalan sampe dua tahun,” tutur Satrio.
Sementara Muhammad Taufiq, karyawan swasta asal Yogyakarta, memilih menikahi perempuan asal Bandung, Jawa Barat. Keduanya sudah menjalani pernikahan selama hampir 15 tahun.
Taufiq tak setuju bila kelanggengan sebuah pernikahan hanya dikaitkan oleh latar belakang suku. Terlebih keluarganya juga tidak mempercayai mitos-mitos antara hubungan suku Jawa dan Sunda.
“Enggak ada sih (pertentangan) kalau soal suku. Memang enggak percaya mitos-mitos gitu dari keluarga. Cuma memang ada omongan juga katanya orang Jawa gak cocok kalau dapat (orang) Sunda. Tapi itu cuma dianggap bercandaan aja,” kata lelaki berusia 45 tahun itu kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, saat ini sentimen-sentimen berdasar stereotip antara Jawa dan Sunda kian memudar seiring berkembangnya zaman.
Terlepas dari latar belakang perbedaan suku Jawa dan Sunda, harus diakui bahwa setiap suku memiliki tradisi dan budaya yang berbeda. Namun tentunya lebih bijak apabila menentukan sebuah pernikahan dengan pertimbangan logis ketimbang hal-hal yang bersifat stereotip.