Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Rapat dibuka oleh Ketua MKEK dr. Pukovisa Prawiroharjo, Sp.S (K) dan dipimpin Prof. Dr. med. dr. Frans Santosa, SpJP serta Dr. dr. Anna Rozaliyani, M.Biomed, Sp.P(K). Dalam rapat ini, ulah Terawan dibahas khusus.
Sejak 2018, sanksi pemberhentian sementara Terawan sebagai anggota IDI mandek dan tak kunjung dieksekusi. Tahun itu, Terawan mendapat sanksi pemecatan selama setahun karena melanggar empat pasal Kode Etik Kedokteran Indonesia. Ia dianggap bersalah terkait metode diagnostik Digital Subtraction Angiography (DSA) yang dimodifikasi dengan nama Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF) alias “cuci otak” untuk penderita stroke iskemik.
Hal itulah yang kembali dibahas dalam rapat di akhir Januari 2022. Empat pelanggaran Terawan adalah: pertama, memuji diri sendiri dengan mengiklankan diri secara berlebihan lewat klaim tindakan pengobatan (kuratif) dan pencegahan (preventif).
Kedua, tidak kooperatif karena tidak pernah menghadiri sidang pemeriksaan etik. Ketiga, menarik biaya dari terapi cuci otak yang belum teruji klinis atau belum memiliki evidence-based medicine (EBM). Keempat, menjanjikan kesembuhan pasien cuci otak meski pengobatan itu belum diuji kesahihannya.
Masalahnya, belum lagi sanksi untuk empat pelanggaran tersebut dijalankan, Terawan sudah membuat “dosa-dosa” lain. Mulai dari menjadi Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia (PDSRI); mengubah nama PDSRI menjadi Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Klinik Indonesia (PDSRKI) tanpa melalui Muktamar IDI; melarang anggota PDSRI mengikuti rapat dengan Ketua Umum PB IDI; sampai mempromosikan Vaksin Nusantara sebelum penelitian selesai.
“Beliau juga memindahkan status keanggotannya dari anggota IDI Jakarta Pusat menjadi IDI Jakarta Barat. Ini berpotensi menghindari pemanggilan dan eksekusi,” kata Beni Satria, Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI kepada kumparan, Jumat (1/4).
Intinya: pelanggaran Terawan berlapis-lapis. Maka peserta rapat MKEK IDI mengusulkan agar ia dipecat permanen.
Usul sanksi pemecatan permanen tersebut sesuai dengan hasil Muktamar ke-30 IDI di Samarinda pada 2018 yang berbunyi: “Bila tidak dijumpai itikad baik dr. TAP (Terawan Agus Putranto), maka Muktamar memerintahkan Pengurus Besar IDI untuk melakukan pemecatan tetap sebagai anggota IDI.”
Namun, tak seluruh peserta rapat setuju. Ada yang berpendapat bahwa Terawan cukup diberhentikan sementara. Ada pula yang menyarankan agar sanksi ditunda guna memberi kesempatan lagi bagi Terawan untuk klarifikasi. Rapat berlangsung alot hingga lewat tengah malam, pukul 00.30 WIB.
“Dinamika berorganisasi ada pro-kontra. Pertimbangan Terawan diberi ruang lagi adalah kesejawatan. Ada kode etik bahwa dokter ingin diperlakukan sebagai saudara kandung,” kata Beni yang hadir dalam rapat tersebut.
Rapat akhirnya sepakat menyerahkan keputusan soal sanksi Terawan pada Ketua Umum PB IDI saat itu, Daeng M. Faqih.
MKEK kemudian menyurati PB IDI pada 8 Februari 2022 untuk menyampaikan isi rapat mereka. Surat itu juga mengingatkan perintah Muktamar ke-30 IDI di Samarinda soal sanksi pemberhentian bagi Terawan.
PB IDI meminta Terawan diberi ruang klarifikasi sebelum sanksi dijatuhkan. MKEK berharap sanksi diputuskan langsung oleh Ketua Umum PB IDI tanpa perlu menggelar muktamar, sebab sanksi itu sendiri toh sudah merupakan keputusan Muktamar Samarinda.
“Diskusi saat itu jangan sampai dibawa ke Muktamar, karena Muktamar putusan tertinggi. Harapannya yang bersangkutan (Terawan) bisa memanfaatkan forum agar tidak sampai ke Muktamar,” kata Beni.
Karena PB IDI masih merekomendasikan upaya dialog dengan Terawan, MKEK membentuk tim khusus untuk mendekati Terawan. Mereka yakni Dr. dr. M Munawar, SpJP(K); dr. Bachtiar Husain, SpP, M.HKes; dr. M. Baharuddin, SpOG, MARS; dr. Hadjat Digdowirogo, SpA; dan dr. Yadi Permana, SpB, K,Onk.
Tim khusus mengundang Terawan untuk menyampaikan pembelaannya sebanyak 2 kali pada 18 dan 20 Maret. Terawan tetap tidak hadir.
Daeng M Faqih, akhirnya merekomendasikan pembahasan kasus etik Terawan dibawa ke Muktamar ke-31 IDI di Banda Aceh pada 21-25 Maret 2022. Hingga akhirnya dalam sidang khusus pada 24 Maret, disepakati pemecatan permanen Terawan sebagai anggota IDI. Keputusan itu lalu dibacakan dan disahkan di sidang pleno Muktamar pada 25 Maret 2022.
Sejak 2012, Menkes saat itu, (Alm) Endang Rahayu Sedyaningsih, sudah meminta Ketum PB IDI 2009-2012, Prijo Sidipratomo, menelaah dugaan pelanggaran etik Terawan. Permintaan ini lalu diteruskan Prijo ke Ketua MKEK IDI 2009-2012, Agus Purwadianto.
Namun, Agus tak langsung memproses permintaan itu. "Saya ditegur lagi sama Bu Endang, ‘Pak Prijo gimana kasus itu kok belum dibicarakan, belum ada laporannya, coba segera dibahas’,” cerita Prijo pada kumparan, Kamis (31/3).
Hingga pada 2013, Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, Moh. Hasan Machfoed mengajukan keberatan soal metode cuci otak Terawan ke IDI. Ia menilai metode IAHF menyangkut saraf sementara Terawan adalah radiolog, bukan spesialis saraf. Pun, metode ini belum terbukti secara ilmiah atau tidak punya evidence-based medicine.
Prijo yang saat itu menjabat Ketua MKEK langsung memanggil Terawan. Kepada Prijo, Terawan menceritakan banyak keberhasilan metodenya.
“Saya sampaikan supaya tidak membuat masalah di luar, jadi pertanyaan banyak orang, apa enggak sebaiknya dibuat tulisan preliminary report, dimasukkan di jurnal atau buletin RSPAD,” kata Prijo.
Terawan menyanggupi dan berjanji dalam tiga bulan bakal memasukkan tulisan itu dalam Journal of Neurology. Namun bulan setelahnya, ia tak kunjung menulis jurnal. Setelah itu, ia bahkan sama sekali tak merespons MKEK IDI.
Prijo kemudian berinisiatif meminta izin langsung ke Panglima TNI saat itu, Jenderal Moeldoko, untuk memanggil Terawan. “Pak Moeldoko katakan ‘Itu soal profesi dok, jadi silakan saja,’” kata Prijo.
Hingga Prijo selesai menjabat sebagai Ketua MKEK pada 2015, proses penyelidikan pada Terawan tak kunjung rampung. Terhambat Terawan yang tak bisa dimintai keterangan.
Prijo kemudian melimpahkan kasus ke MKEK DKI Jakarta yang saat itu diketuai almarhum Robert Gandasentana. Tapi, MKEK DKI menolak, tak berani menangani kasus yang berskala nasional itu. Pada 2016, PB IDI menerima lagi laporan dugaan pelanggaran etik dari PP Perdossi.
Di tahun yang sama, 8 Mei 2016, Terawan menuntaskan disertasi di Universitas Hasanudin Makassar. Disertasinya berjudul: “Effect of Intra Arterian Heparin Flushing (IAHF) Against Cerebral Blood Flow, Motor Evoked Potentials, and Motor Function in Chronic Ischemic Stroke”.
Lulus dengan predikat sangat memuaskan, Terawan mengklaim disertasinya sebagai bukti ilmiah terapi cuci otak. Namun, Epidemiolog Unair, Windhu Purnomo menilai, disertasi Terawan bukanlah bukti ilmiah lantaran proses penelitiannya tidak mengikuti metode Randomized Controlled Trial (RCT). Disertasi Terawan hanya "pre experimental study" yang desainnya pre & post test, tanpa kelompok pembanding sebagaimana RCT.
“Kalau tujuannya untuk membuktikan terapi ini lebih efektif, belum ada buktinya. Karena di dalam riset itu tidak ada pembanding. Hanya 1 kelompok saja, sebelum dan sesudah terapi,” ucap Windhu kepada kumparan, Selasa (29/3).
IDI masih kesulitan menjangkau Terawan.
Prijo terpilih lagi menjadi Ketua MKEK hingga 2018. Ia kemudian membentuk Majelis Pemeriksa untuk kasus Terawan yang terdiri dari Broto Wasisto, Anna Rozaliyani, Frans Santosa, Rianto Setiabudy, dan R.L. Lefrandt. “Majelis pemeriksa tidak bersinggungan dengan radiologi, neurologi, dan bedah saraf. Supaya fair dan yang diperiksa etika saja,” kata Prijo.
Karena Terawan selalu absen, Majelis Pemeriksa MKEK memutuskan sidang tetap digelar in absentia (tanpa kehadiran pelapor) di 2017.
Selama 2017-2018, majelis pemeriksa mendengar keterangan berbagai saksi ahli seperti Ketua PP Perdossi Hasan Machfoed, Ketua Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (KPTK) Kemenkes Sudigdo Sastroasmoro, dokter spesialis saraf Teguh A.S.Ranakusuma, Ketua BHP2A PB IDI Nazar, hingga promotor disertasi Terawan, Prof. Dr. Irawan Yusuf, Ph.D.
Irawan Yusuf dalam kesaksiannya menegaskan temuan Terawan belum dapat dijadikan terapi alternatif untuk menggantikan terapi standar. Temuan Terawan hanya meningkatkan cerebral blood flow sehingga terapi lain dapat dilakukan secara terencana.
“Prof Irawan mengatakan apa yang dilakukan Terawan memang memerlukan penelitian lebih lanjut untuk bisa dipakai atau dipergunakan di masyarakat,” ucap Prijo.
Setelah melalui serangkaian sidang, majelis pemeriksa menemui Prijo untuk membahas sanksi yang akan dijatuhkan. Ketua majelis pemeriksa, almarhum Broto Wasisto, menegaskan Terawan harus diberhentikan permanen dari IDI. Prijo tak langsung mengiyakan.
“Saya bilang ‘Boleh enggak saya tawar, tanpa mengurangi rasa hormat, saya usul jangan dikeluarkan. Kalau dikeluarkan, yang bersangkutan enggak punya kesempatan untuk memperbaiki diri, harus ada unsur mendidik,’” cerita Prijo.
Broto kecewa, lalu berargumentasi Terawan tidak pernah kooperatif karena mengabaikan seluruh panggilan. Akhirnya sanksi diturunkan satu tingkat menjadi pemberhentian sementara selama setahun dan pencabutan rekomendasi izin praktek. Sanksi dibacakan dalam sidang pada Februari 2018, bersifat final dan mengikat.
Prijo kemudian mengirim surat rekomendasi sanksi Terawan ke PB IDI. Sebab PB IDI yang punya wewenang mengeksekusi sanksi. Sanksi itu membuat heboh. Banyak pejabat pasang badan untuk Terawan. Mulai dari Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo Subianto, hingga para anggota Komisi IX DPR.
Berbagai ancaman mulai diterima PB IDI pascapemberian sanksi tersebut. Ketum PB IDI saat itu, Ilham Oetama Marsis, didatangi sejumlah dokter TNI yang bertugas di RSPAD Gatot Soebarto. Mereka menyampaikan keberatan atas sanksi Terawan.
“Dokter Prijo, saya didatangi lebih dari 10 orang kolonel, ada 2 orang yang bintang 2, saya diminta untuk mempertimbangkan [sanksi Terawan]” kata Prijo menirukan ucapan Marsis.
Ketua BHP2A, Beni Satria, menyebut PB IDI mengetahui adanya pertemuan itu. “Kami di organisasi mendengar ada pertemuan itu, tapi bagaimana, apa isi pertemuan, ada kesepakatan atau tidak, info ini yang kami tidak dapatkan,” ucap Beni.
kumparan mengkonfirmasi pertemuan tersebut kepada Marsis, tetapi tidak direspons.
Setelah pertemuan itu, Marsis disebut ragu mengeksekusi sanksi. Dalam sebuah rapat dengan Prijo, Marsis mengusulkan agar sanksi tidak dieksekusi. Prijo menolak. “Saya bilang nanti mereka yang sudah kerja lama akan marah.”
Pada 6 April 2018, Marsis menggelar forum klarifikasi yang dihadiri Terawan didampingi TNI di Hotel Borobudur. Tiga hari kemudian, Marsis menggelar konferensi pers di PB IDI, mengumumkan penundaan sanksi bagi Terawan dengan alasan ‘keadaan tertentu.”
Selaku Ketua MKEK, Prijo, mengaku pernah didatangi utusan TNI AD. Awalnya, ia menyurati KSAD saat itu, Jenderal Mulyono, memberitahukan bakal ada pembacaan putusan sidang MKEK TErawan. Tak lama berselang, Prijo didatangi utusan KSAD yang bergelar Kolonel di kantornya, Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta. “Saya diwawancara, direkam, dengan ditemani anak buahnya,” kata Prijo.
Saat sidang pembacaan putusan MKEK soal Terawan, utusan TNI AD juga datang untuk mendengarkan. “Sudah pembacaan putusan, supaya diketahui pihak organ kesatuannya,” ucap Prijo.
Dampak lain dirasakan Prijo ketika RSPAD Gatot Subroto memutuskan tak lagi menjadi RS Pendidikan bagi mahasiswa FK UPN Veteran, Jakarta. Saat itu, Prijo menjabat Dekan FK UPN. Ini terjadi usai pemberian sanksi. Terawan saat itu menjabat Kepala RSPAD.
Rekomendasi pemberhentian sementara Terawan juga membuat Komisi IX DPR geram. Dalam rapat 11 April 2018, Komisi IX memanggil Kemenkes, IDI, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Komisi mendesak Kemenkes membentuk Satgas untuk menyelidiki metode terapi cuci otak Terawan.
Menkes saat itu, Nila Moeloek, membentuk Satgas pada 22 Mei 2018 dan dipimpin Prof. Dr. dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A(K) dengan 21 anggota, termasuk di antaranya Ketum PB IDI saat ini, Adib Khumaidi.
Tiga bulan bekerja, Satgas memberi rekomendasi: 1) pelayanan IAHF untuk terapi dihentikan karena belum ada bukti ilmiah yang sahih tentang keamanan dan manfaat, 2) diperlukan penelitian tentang IAHF untuk tujuan terapi dengan metodologi penelitian yang baik dan benar serta dengan dasar-dasar ilmiah untuk mendapatkan bukti efektivitas dan keamanan IAHF.
Agustus 2018, Prijo meminta Marsis segera mengeksekusi sanksi, lantaran bakal ada Muktamar pada Oktober di Samarinda. Dalam Muktamar itu, Ketum PB IDI harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban, termasuk soal rekomendasi MKEK. Pertengahan Oktober 2018, sebelum Muktamar, Marsis menyurati Terawan, memintanya menjalankan hukuman.
Tetapi dalam Muktamar 2018, tidak ada keputusan sanksi bagi Terawan. Sehingga Terawan tetap bisa berpraktik. Malahan, pada Agustus 2018, Terawan mendapat rekomendasi dari IDI DKI Jakarta yang membuat izin praktiknya bisa diperpanjang hingga Agustus 2023.
Ketua IDI DKI Jakarta ketika itu dijabat Slamet Budiarto. Kini Slamet Budiarto menjabat Waketum PB IDI dan Ketum terpilih pada 2025-2028.
“Saat itu kebobolan,” ucap Beni Satria.
Setelah Muktamar 2018, Ketum PB IDI dijabat Daeng Mohammad Faqih hingga 2022. Tapi, lagi-lagi sanksi tak bisa dieksekusi karena Terawan ditunjuk Presiden Jokowi menjadi Menkes.
Meski sebelumnya MKEK sudah menyurati Jokowi agar tak memilih Terawan sebagai Menkes lantaran bermasalah secara etik. Jokowi tidak menggubris. Daeng menginstruksikan kepada jajaran PB IDI agar menahan diri.
“Kasus didiamkan karena jangan sampai seolah-olah IDI berpolitik ingin menurunkan beliau. Sehingga kami lebih memilih diam,” kata Beni Satria.
Konflik Terawan vs IDI berlanjut ketika menjabat Menkes. Terawan melawan dengan mengubah PDSRI menjadi PDSRKI tanpa Muktamar. Akibatnya, perhimpunan dokter spesialis radiologi terpecah dua.
Terawan juga tak mengakomodir masukan IDI maupun organisasi kesehatan lainnya mengenai nama-nama yang duduk sebagai anggota Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
“Biasanya yang diusulkan [IDI] diterima, tapi ini sama sekali enggak diterima. Jadi sudah ada balas dendam, konfliknya enggak kelihatan. IDI marah waktu itu, tapi, ya, sudahlah,” ujar anggota PB IDI, Pandu Riono, kepada kumparan, Selasa (29/3).
Terawan juga meneken Permenkes yang mengatur bahwa layanan radiologi seperti rontgen atau USG harus dilaksanakan dokter terlatih dan mengikuti pendidikan ilmu radiologi atau spesialis radiologi. Padahal, selama ini layanan radiologi digunakan dokter kebidanan, jantung, maupun saraf. Permenkes 24/2020 itu kini digugat ke MA.
“Dokter non-radiologi marah sekali, protes. Jadi Terawan menciptakan musuh,” ucap Pandu.
Prijo lagi-lagi jadi korban Terawan. Saat Terawan menjabat Menkes, Prijo dicopot dari posisi Dekan Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta. Padahal, jabatannya masih tersisa dua tahun. Prijo sempat mendengar ada permintaan, jika RSPAD Gatot Soebroto dikembalikan menjadi RS pendidikan bagi mahasiswa UPN Veteran Jakarta, Prijo tak boleh jadi dekan.
“Saya lapor ke Komnas HAM yang akhirnya membuat surat ke mana-mana, termasuk ke presiden. Jadi saya merasakan kekuasaan Terawan,” kata Prijo.
Selepas dicopot sebagai Menkes, Terawan masih berseberangan dengan IDI. Misalnya soal Vaksin Nusantara.
Meski muktamar sudah memutuskan pemecatan tetap, masih ada suara pembelaan bagi Terawan dari para anggota IDI. Dukungan dibahas di banyak grup WhatsApp perkumpulan dokter. Mereka yang mendukung lantaran punya garis politik sama, seagama, atau tak setuju dengan kewenangan berlebih IDI.
“Sampai ada juga yang menyatakan kita bikin saja IDI tandingan. Tapi enggak bisa karena UU menyebutkan IDI tunggal,” kata anggota PB IDI, Judilherry Justam.
Beni Satria menegaskan IDI tetap solid menjalankan keputusan muktamar. Perbedaan pendapat di internal ini, kata Beni, merupakan dinamika organisasi. Ia tak menampik berlarutnya pemecatan Terawan sampai bertahun-tahun karena adanya tekanan eksternal.
“Tetapi masih dalam hal yang wajar, by phone, mohon dipertimbangkan kembali,” kata Beni.
Gaduh pemecatan Terawan membuat Menkes Budi Gunadi Sadikin turun tangan. Ia memanggil Ketum PB IDI, Adib Khumaidi, pada 30 Maret di sebuah tempat di Jakarta. Budi meminta penjelasan soal mekanisme organisasi pemecatan Terawan dan mengapa kasusnya sampai viral.
“Menkes tidak terlalu intervensi. Forum itu hanya diskusi saja,” kata Beni.
Jubir Menkes, Siti Nadia, tak tahu soal pertemuan itu. “Belum tahu itu,” kata Nadia.
Dipecat = Tak Boleh Praktik
IDI kini masih memproses pemecatan Terawan sebagai anggota maksimal 28 hari kerja sejak keputusan dibacakan di Muktamar. Terawan masih memiliki izin praktik sampai Agustus 2023. Apabila Terawan sudah dipecat dari IDI, rekomendasi izin praktek bakal ditarik.
Namun, kelanjutan izin praktik Terawan, menjadi domain pemerintah daerah. Sesuai UU Praktik Kedokteran, IDI hanya berwenang memberikan rekomendasi. Adapun rekomendasi tersebut menjadi syarat terbitnya izin praktik yang dikeluarkan Pemkab/Pemkot.
“Berlakunya masa izin praktik ada dua: berhenti karena habis masanya atau diberhentikan di tengah. Itu domain pemerintah,” ucap Beni.
Permintaan rekomendasi kepada IDI bisa dilakukan enam bulan sebelum izin praktik habis. Tetapi jika sudah dipecat, Terawan tak bisa lagi mengajukan rekomendasi ke IDI yang berimplikasi izin praktek tak bisa diperpanjang.
Bila tetap berpraktik tanpa memiliki surat izin, Terawan terancam pidana denda maksimal Rp 100 juta sesuai Pasal 76 UU Praktik Kedokteran. Adapun ancaman pidana tiga tahun penjara di Pasal 76 sudah dihapus MK pada 2007.
Konsekuensi inilah yang membuat Menkumham Yasonna Laoly mengusulkan pemberian rekomendasi dokter tak berada di tangan IDI, melainkan Kemenkes.
Anggota PB IDI, Judilherry Justam, sepakat dengan Yasonna. Jika ada dokter yang melanggar etika, IDI harusnya berkonsultasi ke Kemenkes sebelum rekomendasi diterbitkan. Apalagi, menurut Judil, selama ini pemberian rekomendasi oleh IDI Kabupaten/Kota seringkali dipatok tarif.
“Saya dengar ada seorang spesialis bisa bayar lebih dari Rp 7 juta untuk dapat rekomendasi, ada yang gratis. Enggak ada standar dari PB IDI,” ucap Judil yang menganggap kewenangan IDI saat ini terlalu berlebih.
kumparan mendatangi RSPAD Gatot Soebroto dan mengajukan permohonan wawancara kepada Terawan, namun tak direspons. Melalui stafnya, Andi, Terawan menyatakan: “Sampai hari ini saya masih sangat bangga dan merasa terhormat berhimpun di sana (IDI).”