Melestarikan Nama Ketut di Bali, Antara Kenyataan dan Iming-iming Tunjangan

17 April 2025 17:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anak bernama Ketut yang menjadi penjual tisu di Denpasar, Bali. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Anak bernama Ketut yang menjadi penjual tisu di Denpasar, Bali. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
ADVERTISEMENT
Gubernur Bali I Wayan Koster ingin melestarikan nama Ketut—panggilan untuk anak keempat. Tapi punya banyak anak, minimal sampai empat anak, menjadi problem di tengah kondisi ekonomi yang tidak mudah ini.
ADVERTISEMENT
I Ketut P, anak perempuan berusia 9 tahun, menjadi cerminannya. Bocah putus sekolah ini sehari-hari berjualan tisu Rp 7 ribu di sepanjang Jalan Raya Teuku Umar, Kota Denpasar, Bali, termasuk saat ditemui kumparan pada Rabu (16/4).
I Ketut P biasanya mendapatkan Rp 20 ribu-Rp 80 ribu per hari, untuk membantu keluarganya yang hidup pas-pasan di indekos sekitar 3 kilometer jaraknya.
I Ketut P memiliki lima saudara. Ayahnya bekerja sebagai buruh proyek di kampung, sedangkan ibunya tidak bekerja.
Bocah ini mengaku bisa membaca dan berhitung dan memiliki cita-cita sebagai karyawan spa seperti kakaknya.
Apakah I Ketut mau bersekolah lagi? "Disekolahin siapa?" katanya.

Kisah Ketut yang Lain

Anak bernama Ketut yang menjadi penjual tisu di Denpasar, Bali. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
Kisah serupa datang dari I Ketut A yang juga berjualan tisu di kawasan Jalan Raya Letda Tantular, Kota Denpasar.
ADVERTISEMENT
Bedanya, bocah laki-laki berusia 10 tahun ini tidak putus sekolah. Dia masih duduk di kelas V SD dan berjualan tisu sepulang sekolah, mulai dari pukul 14.00 WITA sampai matahari terbenam.
"Jualan biar bantu bapak-ibu, biar bisa bayar uang sekolah," katanya.
I Ketut A berasal dari Desa Kubu, Kabupaten Karangasem. I Ketut A memiliki 6 saudara. Bapaknya berprofesi sebagai buruh proyek di Kelurahan Ubung, Kota Denpasar.
Ibu dan kakak pertamanya yang sudah dewasa berjualan tisu di sekitar Renon, Kota Denpasar. Mereka tinggal bersama orang tuanya di sebuah indekos di Ubung.

Nama Ketut dan Insentif Pemerintah

Anak bernama Ketut yang menjadi penjual tisu di Denpasar, Bali. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
Pada 2019, terbit Instruksi Gubernur (Ingub) Bali Nomor 1545 Tahun 2019 tentang Sosialisasi Program Keluarga Berencana Krama Bali. Intinya, Koster ingin warganya memiliki minimal empat anak supaya nama Ketut tidak punah.
ADVERTISEMENT
"Menurunnya pertumbuhan penduduk Bali termasuk tergerusnya budaya Bali, nama Nyoman dan Ketut hampir punah di Bali," katanya saat memberikan pidato perdana sebagai Gubernur Bali periode 2025-2030 di sidang paripurna DPRD Bali, pada Selasa (4/3/2025).
Koster berjanji bakal memberikan insentif untuk anak bernama Komang atau Nyoman, dan Ketut. Tak cuma anaknya, ibu yang bersedia melahirkan bayi hingga anak keempat juga akan diberikan insentif.
Urutan nama anak di Bali adalah Wayan, Made, Nyoman, Ketut.
Kepala Dinas Sosial P3A Bali, Luh Ayu Aryani, mengaku belum mengetahui bentuk dan insentif bagi anak bernama Nyoman dan Ketut serta ibunya.
"Bapak (Koster) mau membentuk tim teknis. Belum ada sounding ke kami," katanya saat dihubungi, Kamis (17/4).
ADVERTISEMENT
Menurut Aryani, Pemprov Bali juga sedang berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk membangun sekolah rakyat di Kabupaten Karangasem.
"Tentu dipikirkan matang-matang tidak semata-mata didorong banyak-banyak (anak) tapi tetap memperhatikan kualitas hidup keluarga," katanya.
"Kami memberi dukungan untuk pemenuhan anak dan ibu. Mulai dari sisi kesehatan reproduksi, pencegahan stunting, kesehatan, dan sekolah anak," kata Aryani.

Kata Warga Bali

Pura Besakih dengan pemandangan indahnya Gunung Agung. Foto: Yolya Ilyasova/Shutterstock
Warga yang kontra Ingub itu menilai dua anak atau satu anak sudah cukup karena terganjal kondisi ekonomi yang semakin sulit.
Sementara yang pro Ingub menilai kebijakan gubernur perlu dilakukan untuk melestarikan warisan leluhur yang terancam punah.
"Insentif pasti terbatas, sedangkan ke depan harga bakal naik sehingga insentif tidak cukup untuk membesarkan apalagi mensejahterakan anak," ujar I Gusti Ayu Sita Maharani (23).
ADVERTISEMENT
Ada juga yang mempersoalkan keberlangsungan program insentif ini:
"Saya skeptis dengan programnya, apakah akan berlanjut setelah Koster lengser? Bagaimana nasib Ketut dan Nyoman dan kesejahteraan mereka selanjutnya?" kata Ni Kadek Novi Febriyani (30).