Melihat Aturan di Jepang soal Ambil Foto di Ruang Publik

27 Desember 2017 23:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kamera (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kamera (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Jagat maya tengah diramaikan oleh kontroversi kampanye Celup. Betapa tidak, Celup (Cekrek, Lapor dan Upload) menjadi kontroversi karena mengajak masyarakat untuk melaporkan tindak asusila yang terjadi di ruang publik.
ADVERTISEMENT
Dalam poster iklan kampanye antiasusila yang beredar, Celup meminta masyarakat agar memfoto, melapor dan mengunggah foto atau video tindakan asusila yang didapat melalui Official Account (OA) Celup di LINE.
Tak hanya itu, Celup juga menawarkan hadiah berupa poin yang bisa ditukarkan bagi masyarakat yang mengirim foto asusila tersebut ke akun LINE Celup.
Persoalannya, apa yang tengah dikampanyekan oleh Celup itu dianggap beberapa kalangan dapat melanggar privasi. Di beberapa negara, Jepang misalnya, mengambil foto individu tanpa seizin pemiliknya merupakan hal tak patut yang tak diperbolehkan di negara tersebut.
Seorang pengacara layanan internasional di Tokyo Public Law Office, Takashi Ito, pernah mengelaborasi masalah hukum, privasi dan dampak dari keberadaan teknologi dalam kaitannya dengan masalah seperti itu.
Ilustrasi keadilan (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keadilan (Foto: Istimewa)
Dilansir dari Japantimes, Minggu (21/01), Takashi berusaha menjawab pertanyaan dari seorang akademisi yang sedang melakukan riset soal dampak smartphone terhadap perilaku di ruang publik.
ADVERTISEMENT
Kala itu, sang akademisi bertanya kepada Takashi, bahwa apakah ada kendala hukum saat ia merekam perilaku publik di persimpangan di Tokyo?
Menjawab hal tersebut, Takashi menyebut akan ada masalah hukum jika bertentangan dengan hak asasi privasi dan hak potret publik. Takashi menjelaskan, Ide dasarnya adalah bahwa individu memiliki hak untuk tinggal sendiri, dihormati dan tidak dilanggar.
“Hak atas privasi tidak didefinisikan secara jelas oleh undang-undang di Jepang, namun gagasan tersebut diajukan dari AS, dan pengadilan Jepang sekarang menganggapnya sebagai hak asasi manusia yang mendasar,” tulis Takashi.
Pada tahun 2005, tambah Takashi, Pengadilan Distrik Tokyo pernah memutuskan bahwa memusatkan perhatian pada pejalan kaki adalah sebuah pelanggaran hukum.
Kala itu, kasus yang tengah terjadi adalah saat seseorang memfoto seorang wanita berpakaian mewah di jalan tanpa izin, yang kemudian dianggap sebagai pelanggaran privasi.
ADVERTISEMENT
“Majelis hakim menjelaskan bahwa memusatkan perhatian pada orang tertentu, harus dibedakan dari memotret lanskap yang melibatkan orang atau memotret anggota masyarakat umum dalam sebuah kelompok,” tambahnya,
Untuk itu, kata Takashi, cara paling aman agar terhindar dari masalah hukum adalah dengan mendapatkan persetujuan dari setiap pejalan kaki yang hendak difoto. Kurang lebih, Jepang tidak membolehkan memfoto seseorang tanpa seizin dari orang yang bersangkutan.
Tokyo (Foto: Instagram @_________sushi_________)
zoom-in-whitePerbesar
Tokyo (Foto: Instagram @_________sushi_________)
Dalam ranah kebudayaan, sebagaimana dilansir dari Livejapan (27/01), Jepang diketahui memiliki istilah “fotografi terlarang” atau yang dikenal dengan “Satsuei Kinshi”. Untuk itu, setiap orang, siapapun itu, harus bertanya terlebih dahulu apakah boleh mengambil foto seseorang atau tidak.
Pertanyaan "sumimasen, shashin o totte mo ii desu ka?" adalah standar etika pengambilan foto yang ada di Jepang. Pertanyaan itu sendiri mengindikasikanapakah boleh mengambil gambar atau tidak. Jika seseorang yang diberi pertanyaan tersebut mengangguk dan tersenyum, maka itu tanda bahwa foto orang tersebut boleh diambil.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana pendapatmu dengan kampanye Celup yang belakangan ramai diperbincangkan?