Melihat Awal Mula Fondasi Demokrasi di Rusia

29 Desember 2017 15:26 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Demokrasi (Foto: Vision.org)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Demokrasi (Foto: Vision.org)
ADVERTISEMENT
Uni Soviet--sebelum menjadi Rusia--dikenal sebagai negara komunis dan tertutup. Politik otoriter yang kental di Uni Soviet, sempat menjadikan Partai Komunis Uni Soviet (KPSS) sebagai kekuatan mutlak. Imbasnya, terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan menjadikan Uni Soviet tertinggal jauh dari banyak negara lain.
ADVERTISEMENT
Kekalahan Uni Soviet pada saat perang dingin --perebutan pengaruh ideologi dan politik-- melawan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di blok Barat, menjadikan Uni  Soviet kian terpuruk.
Ketegangan perang dingin di Checkpoint Charlie (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ketegangan perang dingin di Checkpoint Charlie (Foto: Wikimedia Commons)
Mikhail Gorbachov, Presiden Rusia 1985-1991, kemudian berusaha mengejar ketertinggalan dengan menggagas kebijakan baru yang dianggap cemerlang tapi sekaligus penuh pertentangan dalam sejarah Rusia.
Cikal Bakal
Kebijakan itu meliputi glasnost--keterbukaan dan transparansi--, perestroika --pembangunan kembali--, dan demokratisasi dengan memberikan kesadaran berpolitik bagi masyarakat Rusia.          
Kebijakan itu --kebebasan dan transparansi informasi-- jadi bumerang yang mengurai kebobrokan demi kebobrokan elite pemerintah. Perpecahan Uni Soviet kemudian tak dapat terelakkan hingga akhirnya runtuh pada  26 Desember 1991. Momen itu lalu menjadi cikal bakal terbukanya demokrasi di Rusia.
ADVERTISEMENT
Pada 1991, ekonomi dan politik di Rusia tengah memanas. Pada Maret dilaksanakan referendum untuk menentukan pilihan bagi penduduk dalam mengubah Uni Soviet menjadi Federasi Rusia.
Ilustrasi Partai Komunis Rusia (Foto: Commons Wikipedia)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Partai Komunis Rusia (Foto: Commons Wikipedia)
Percobaan kudeta sempat dilancarkan untuk melawan Gorbachev guna mempertahankan Uni Soviet. Namun, kudeta gagal dan berimbas pada pembubaran Partai Komunis Uni  Soviet. Uni Soviet pun bubar dan terpecah menjadi 15 negara. Situasi kian memanas terlebih ketika  republik-republik Baltik juga memisahkan diri dari Uni Soviet.
Perkembangan dan Gejolak
Pada Juni 1991, Boris Yeltsin resmi menjadi presiden pertama ketika era Federasi Rusia lahir.
Lev Ponomaryov, mantan anggota Parlemen Rusia, mengatakan perkembangan gerakan politik demokratis pertama di Rusia pada 1990an adalah periode kemajuan yang dinamis.
ADVERTISEMENT
"Kami meletakkan dasar legislatif untuk pemerintahan yang demokratis," kata Ponomaryov dilansir National Public Radio.
"Itu adalah perkembangan besar yang akan dievaluasi secara positif dalam buku-buku sejarah. Itu tidak perlu diragukan lagi," imbuhnya.
Berdasarkan konsep umum, istilah “demokrasi” berasal dari bahasa Yunani demos yang berarti “rakyat” dan kratos yang artinya “kekuatan atau kekuasaan”. Maka demokrasi diartikan sebagai bentuk pemerintahan di mana rakyat dapat secara bebas dan setara berpartisipasi mengambil keputusan --langsung atau perwakilan-- dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.
Ilustrasi Revolusi Rusia (Foto: Social Science Collective)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Revolusi Rusia (Foto: Social Science Collective)
Rusia sebelumnya menerapkan bentuk pemerintahan monarki absolut --kerajaan yang memiliki kuasa penuh-- dalam jangka waktu yang lama hingga pada tahun 1970-an, hingga revolusi Bolshevik menjadikan Rusia memiliki parlemen di Duma.
ADVERTISEMENT
Maka ketika Uni Soviet runtuh, Rusia mulai menyusun sebuah landasan konstitusi baru, merancang undang-undang baru, dan mengumumkan adanya kebebasan individu.
Federasi Rusia menerapkan kerangka republik semi-presidensial federal di mana ada pemilu untuk eksekutif dan legislatif secara terpisah. Menurut Konstitusi Rusia, Presiden Rusia adalah kepala negara. Kemudian, diberlakukan sistem multipartai dengan kekuasaan eksekutif yang dijalankan oleh pemerintah dan dipimpin oleh Perdana Menteri yang ditunjuk oleh Presiden dengan persetujuan parlemen. Kekuasaan legislatif berada di dua rumah Majelis Federal Federasi Rusia.
Inikah demokrasi untuk rakyat? (Foto: Sébastien Thibault )
zoom-in-whitePerbesar
Inikah demokrasi untuk rakyat? (Foto: Sébastien Thibault )
Meski dalam perjalanannya, elite pemerintah tidak benar-benar menjalankan demokrasi secara murni. Maka tak ayal, banyak juga yang mengatakan reformasi tahun 1990an salah penanganan.
Salah satunya Grigory Yavlinsky, pemimpin Partai Yabloko Liberal yang juga mantan kandidat presiden, mengkritik Yeltsin karena memanipulasi televisi nasional selama kampanye pemilihan ulang pada tahun 1996.
ADVERTISEMENT
Yavlinsky mengatakan dia "tidak ragu" atas tindakan Yeltsin yang dinilainya otoriter terhadap kebebasan pers dan hal lainnya.
Selama masa dibubarkannya Uni Soviet, reformasi besar-besaran memang mulai digalakkan oleh Yeltsin seperti privatisasi dan perdagangan bebas.
Berbagai privatisasi itu, tak kurang juga menjadikan kontrol berbagai perusahaan dan badan negara menjadi milik perseorangan yang terkoneksi dengan pemerintah.
Banyak di antara para miliader baru yang kemudian memindahkan dananya ke luar negeri. Imbasnya, krisis ekonomi tahun 1998, yang menunjukkan kesewenang-wenangan privatisasi aset banyak mendapat kritik sebagai upaya memberi kekayaan fantastis kepada segelintir orang dalam istana Kremlin.
Ilustrasi Protes Rusia (Foto: Wikipedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Protes Rusia (Foto: Wikipedia Commons)
Perubahan radikal yang menyeret Rusia dalam ikatan dengan Amerika Serikat dan Dana Moneter Internasional pun, menambah dampak pada krisis ekonomi parah di Rusia yang terjadi pada kurun 1990 sampai 1995 yang ditandai dengan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) dan produk industri hingga mencapai 50 persen.
ADVERTISEMENT
Tak pelak, kemerosotan ekonomi semakin tajam yang disertai dengan penurunan kesejahteraan dan meningkatnya angka kriminal di tengah masyarakat. Sementara itu, pada 1990-an korupsi kian merajalela sementara angka kemiskinan semakin meroket.
Puncaknya, pada 1998 Rusia harus mengalami defisit keuangan yang parah dan dikenal “Krisis Keuangan Rusia 1998”.
Elite pemerintahan Rusia bahkan menggunakan kekuatannya untuk mencengkeram media dan mendongengkan jalan cerita unik Rusia hingga mendoktrin “semangat nasional”.
Selama tahun 1990an, para pemimpin Amerika dan Eropa memandang Rusia mengalami ujian penting dalam transisi menuju demokrasi.  Namun, konsensus analisis ilmiah menyimpulkan, transisi Rusia menuju demokrasi itu gagal.
Selama bertahun-tahun, lembaga survei dan analisis independen seperti Levada Center mempelajari perilaku politik dan sosial Rusia. Hasilnya, pernyataan kekecewaan atas demokrasi yang berjalan di Rusia.
ADVERTISEMENT
Dilansir Washingtonpost, Direktur Studi Sosiopolitik Levada Boris Dubin mengatakan apa yang terjadi di Rusia tak lepas dari sejarahnya dan sistem politik mereka terdahulu--yang banyak dicerca.
"Kemudian orang kehilangan segalanya dalam pergolakan ekonomi tahun 1992 dan 1993. Mereka kehilangan semua tabungan mereka. Mereka terancam menjadi pengangguran. Ada kesenjangan yang lebih besar antara yang kaya dan miskin, dan ini sangat menyakitkan bagi siapa pun yang dibesarkan di masa Uni Soviet," kata Dubin.
Alih-alih instrospeksi diri,  pemerintahan justru menyalahkan para reformis. Demokrasi kemudian mulai mendapatkan reputasi yang meragukan. "Yeltsin kehilangan dukungan kebanyakan orang," ujar Dubin selanjutnya.
Pada akhir tahun 1990an, banyak orang Rusia kemudian menginginkan sosok pemimpin baru yang bisa mewujudkan demokrasi yang lebih baik.
Putin dan Boris Yeltsin (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Putin dan Boris Yeltsin (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
"Mereka menginginkan seorang pemimpin muda yang kuat yang bisa menciptakan ketertiban. Jadi sebagian besar sudah siap untuk Putin, dan mereka tidak berpikir mereka harus takut karena dia adalah orang dari struktur kekuasaan(mantan mata-mata di KGB)," imbuhnya.
Tak lama berselang, setelah pengunduran diri Yeltsin pada 31 Desember 1999, Vladimir Putin terpilih memenangkan pemilihan presiden di tahun 2000.