Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Melihat Istana Negara yang 'Bau Kolonial' dari Era Sukarno hingga Jokowi
13 Agustus 2024 15:10 WIB
·
waktu baca 6 menit
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo menyebut, nuansa kolonial di Istana Negara , Istana Merdeka, maupun Istana Bogor mendorongnya memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN ), di Kalimantan Timur. Jokowi merasa, selalu dibayang-bayangi nuansa kolonial ketika berada di kompleks kepresidenan itu.
ADVERTISEMENT
"Bau-baunya kolonial selalu saya rasakan setiap hari. Dibayang-bayangi," kata Jokowi, Selasa (13/8).
Peryataan Jokowi disampaikan saat memberi pengarahan kepada ratusan kepala daerah seluruh Indonesia di Istana Negara IKN, PPU, Kaltim.
Setelah memberikan pengarahan, Jokowi berfoto bersama di tangga Istana Negara IKN.
Dikutip dari laman Sekretariat Negara, Istana Negara, dulunya adalah sebuah rumah yang dibangun oleh pedagang senior VOC, Jacob Andries Van Braam, pada 1796, atau era Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten dan kelar pada masa Gubernur Jenderal Johannes Sieberg.
Baru pada 1817, rumah Van Braam diambil alih oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dan sempat dijuluki 'Hotel Gubernur Jenderal'. Bertahun-tahun kemudian, gedung ini ditempati oleh Gubernur Jenderal Hindai Belanda, mulai dari De Kock hingga Dr. Van Mook.
Sementara Istana Merdeka dibangun belakangan. Pada 1869, Gubernur Jenderal Pieter Mijer mengajukan permohonan untuk membangun hotel baru di belakang 'Hotel Gubernur Jenderal'. Gedung baru inilah yang kini kita sebut sebagai Istana Merdeka.
ADVERTISEMENT
Saat ini, Istana Negara menghadap ke Jalan Veteran, sedangkan Istana Merdeka menghadap ke Monas, tepatnya Jalan Medan Merdeka Utara.
Setelah Indonesia merdeka, dan kedaulatan kita diakui Belanda pada 1949 lewat Konferensi Meja Bundar (KMB), beragam upaya dilakukan untuk menghapus jejak Belanda di Istana Negara dan Istana Merdeka. Berikut kumparan rangkum:
Era Sukarno, Isi Istana Dengan Karya Seni hingga Arca
Sukarno mulai menempati Istana Negara pada 28 Desember 1949, sehari setelah pihak Belanda menandatangani proses penyerahan kedaulatan. Ia pindah dari Yogyakarta.
Sukarno menempati sisi timur Istana sebagai kamar tidurnya. Sejak saat itu peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia selalu dipusatkan di kompleks Istana Negara.
Pada era Sukarno, ia mengubah gazebo di kawasan Istana yang awalnya digunakan untuk pertunjukan musik jadi tempat Taman Kanak-Kanak (TK). Putra-putri Sukarno 'bersekolah' di situ bersama dengan anak-anak karyawan dan staf Istana lainnya pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Lalu, ia juga mengubah sebuah pelataran di Istana jadi bangunan sanggar. Bangunan itu terbuat dari kayu, dan digunakan Sukarno sebagai tempat melukis dan menulis naskah pidato.
Sukarno juga meletakkan beberapa arca kuno di beberapa pekarangan Istana Merdeka. Antara lain adalah arca Dhyani Boddisatta, yang dibawa dari Jawa Tengah dan berasal dari abad ke-9.
Bung Karno juga memajang lukisan-lukisan karya seniman lokal seperti Raden Saleh dan Basuki Abdullah.
Soeharto dan Bu Tien, Ciptakan Ruang Jepara
Selepas Sukarno, Soeharto juga menempati kompleks Istana Negara meski tak tinggal di sana. Soeharto hanya bermalam di Istana setiap tanggal 16 Agustus malam. Ia bermalam di sebuah ruangan bekas kamar Fatmawati, yang diubah jadi ruang istirahat Kepala Negara.
ADVERTISEMENT
Soeharto juga menciptakan sebuah Ruang Jepara, satu ruangan pada sisi barat Istana Negara yang ia isi dengan beragam perabot mebel buatan Jepara — kota di Jawa Tengah yang bergelar Kota Ukir.
Ibu Negara kala itu, Tien Soeharto, memperbanyak ukiran Jepara di ruang tersebut. Istana boleh saja bergaya Barat dari luar, tapi di dalamnya, penuh dengan ukiran khas Jepara.
Masih mengutip laman resmi Sekretariat Negara, menurut Kepala Istana-Istana Presiden kala itu, Joop Ave, Soeharto dan Bu Tien berupaya untuk menghilangkan jejak kolonial. Ia menyebutnya mengindonesiakan istana, dan memasyaratkan istana.
Relief dan ukiran Jepara juga digantung di ruangan-ruangan tersebut. Mulai dari relief Ramayana, hingga ukiran-ukiran lainnya.
Soeharto juga melapisi lantai marmer Istana Negara dengan permadani hijau, sementara lantai Istana Merdeka dilapis dengan permadani merah marun.
ADVERTISEMENT
Di ruang Kredensial, Soeharto melapisi lantainya dengan permadani dengan motif Cakra Manggilingan.
Era Habibie
Pada masa Presiden Habibie, ia tak tinggal di Istana Negara. Ia tetap tinggal di kediaman pribadinya di Kuningan, Jakarta Selatan.
Ia tetap berkantor di Istana Merdeka, tepatnya di ruang Bina Graha,. tapi hanya digunakan pada saat-saat tertentu, seperti Sidang Kabinet Terbatas.
Habibie tidak sempat melakukan banyak perubahan. Tapi ia mengubah serambi belakang Istana Negara dan memasang sebuah relief pada serambi tersebut dengan sebuah ukiran bahasa Arab yang berbunyi: 'Damailah Mereka Yang Berkunjung ke Tempat Ini'.
Habibie juga mengembalikan nuansa Barat, seperti menggunakan sofa kulit bergaya Chesterfield di ruang kerjanya.
Era Gus Dur, 'Istana 24 Jam'
ADVERTISEMENT
Sama seperti Sukarno, Abdurahman Wahid atau Gus Dur membawa keluarganya untuk tinggal di Istana Merdeka. Ia tidur di ruangan yang sama dengan Sukarno.
Gus Dur memperlakukan istana dengan terbuka. Kadang ia menerima tamu sampai larut malam, dan bahkan suasana istana seperti hidup 24 jam.
Gus Dur hanya mengubah gorden Istana Merdeka menjadi warna biru.
Era Megawati, Mengembalikan Perabotan Hindia Belanda
Setelah Gus Dur lengser, Megawati mulai mengubah tatanan Istana Negara dan Istana Merdeka. Beda dengan Gus Dur, Megawati menggunakan salah satu ruangan di Istana Negara untuk bekerja.
Ia mengubah Gedung Bina Graha, yang semula adalah Kantor Presiden, jadi museum untuk menyimpan karya seni yang tidak dipajang di Istana.
Megawati mengangkat staf khusus, Kris Danubrata, untuk mengubah tampilan Istana. Megawati mengganti perabot dari Jepara, yang dipasang Bu Tien, dengan kursi dan sofa peninggalan Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
Perabot itu dikeluarkan dari gudang, direnovasi dengan bantalan baru, sehingga memberi kesan elegan dan hangat. Ia juga menata kembali lukisan-lukisan di Istana yang dulu dipajang pada era Sukarno ke tempatnya.
ADVERTISEMENT
Era SBY, Lekat Dengan Seni dan Buka Istana Untuk Masyarakat
Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ia mengikuti jejak Sukarno dan Gus Dur. Ia tinggal di Istana Negara. Ia juga memperkenalkan program Istana Untuk Rakyat (Istura).
Dengan program ini, masyarakat bisa mengunjungi Istana Negara setiap akhir pekan.
Dikutip dari Antara, SBY mengubah tampilan Istana jadi lebih hijau. Ia membuat lapangan golf mini di bagian dalam Istana Merdeka. Ia juga membuat satu ruangan olah raga di Wisma Negara.
ADVERTISEMENT
Pada masa SBY, Istana diisi dengan lukisan-lukisan bertema realis, seperti pemandangan Gunung Sumbing karya Suhadi Baharrizki atau lukisan-lukisan karya Yap Hian Tjay.
Era Jokowi, Tak Banyak Ubah Interior Istana
Sejak 2014, Jokowi tak banyak melakukan perubahan interior Istana Negara dan Istana Merdeka. Ia juga lebih banyak tinggal di Istana Bogor — 60 km dari Jakarta.
Istana Bogor dibangun pada pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, G.W. Baron van Imhoff. Ia merasa, Batavia terlalu panas dan memilih tempat di Bogor untuk membangun rumah peristirahatannya.
Arsitekturnya mencontoh Istana Blenheim, kediaman Duke Of Malborough, di kota Oxford, Inggris. Pada masa itu, kawasan itu dinamai Buitenzorg yang artinya 'bebas dari masalah'.
ADVERTISEMENT
Pada masa Jokowi, ia banyak menerima tamu dan membuat acara-acara di Istana Negara. Ia tak melanjutkan program Istura pada masa SBY, dan meniadakan lapangan golf mini yang dibuat SBY.