Melihat Komitmen Sampoerna Dukung Kesejahteraan Para Petani

9 Februari 2022 9:00 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah satu petani binaan Sampoerna. Foto: dok. Sampoerna
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu petani binaan Sampoerna. Foto: dok. Sampoerna
Petani tembakau dan cengkih di Indonesia kerap menemui masalah dalam pengembangan agrobisnis. Misal, ketika musim panen raya tiba, serapan ke industri justru rendah karena hasil panen tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar.
Bagi para petani tembakau, hal tersebut berdampak pada menumpuknya hasil panen di gudang para petani. Lebih parahnya lagi, tanaman tembakau bisa menjadi busuk bila cuaca buruk karena waktu simpannya yang tidak lama.
Di sisi lain, para petani memiliki akses terbatas terhadap kapabilitas teknis, teknologi, hingga sarana maupun prasarana pertanian. Kurangnya pengetahuan akan teknologi budidaya yang tepat dapat membuat kualitas maupun kuantitas hasil panen tembakau tidak sesuai standar yang dibutuhkan perusahaan. Selain itu, biaya yang dibutuhkan juga menjadi lebih besar.
PT HM Sampoerna Tbk (Sampoerna) menyadari, para petani tembakau dan cengkih memerlukan jaminan dan pendampingan agar bisa terus menghasilkan komoditas yang berkualitas, bahkan meningkatkan kapabilitas dan kualitas produksi yang pada akhirnya dapat menjamin kesejahteraan petani. Karena itulah, sejak 2009, Sampoerna melaksanakan program kemitraan melalui pemasok. Program ini bertajuk “Sistem Produksi Terpadu”.
Lewat program kemitraan tersebut, para petani tembakau dan cengkih mendapat bimbingan untuk melakukan praktik pertanian yang baik yang berfokus pada aspek tanaman, masyarakat, dan lingkungan. Harapannya, hal itu dapat mendorong kegiatan pertanian yang efektif dan efisien dalam aspek kualitas, produktivitas, maupun integritas petani itu sendiri.
Melalui pendampingan yang tepat, para petani juga dapat meningkatkan kuantitas hasil panen mereka. Sehingga, dengan luas lahan atau jumlah pohon yang sama, para petani dapat menghasilkan lebih banyak tembakau atau cengkih berkat perawatannya yang lebih baik.
Pada tahun 2020, telah ada lebih dari 22 ribu mitra petani tembakau dan cengkih yang tergabung dalam program kemitraan. Lokasinya tersebar di sejumlah sentra penghasil tembakau dan cengkih di Indonesia.

Petani binaan mendapat pendampingan Sampoerna, mulai dari praktik pertanian yang baik hingga dukungan untuk komunitas

Para petani binaan juga mendapatkan pelatihan, akses permodalan, sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan bertani, serta jaminan akses pasar yang sangat diperlukan oleh petani. Dalam beberapa praktik pertanian di lapangan, petani sering menemukan penjualan berlapis di antara para tengkulak. Kondisi ini membuat para petani hanya mendapatkan harga rendah karena lapisan-lapisan di atasnya mengambil keuntungan yang relatif besar.
Guna memutus hal tersebut, hasil panen petani binaan akan diserap seluruhnya dan dibayarkan dengan harga sesuai kesepakatan bersama oleh perusahaan pemasok. Tak hanya itu, bila biasanya tanaman tembakau dibeli hanya pucuknya saja —bagian tersebut hadir dengan kualitas terbaik—, melalui program kemitraan, seluruh daun yang telah dipanen akan dibeli. Sehingga, petani bisa mendapatkan harga yang lebih tinggi dibandingkan ketika mereka menjual hasil panen ke tengkulak.
Salah satu petani binaan Sampoerna. Foto: dok. Sampoerna
Salah satu petani yang merasakan dampak positif berkat Sistem Produksi Terpadu adalah Alhairi. Laki-laki yang telah menjadi petani tembakau sejak 20 tahun silam itu mengaku sebelum bermitra dengan Sampoerna, ia kerap mengalami kerugian besar ketika terjadi bencana alam karena tidak ada jaminan hasil panen bisa dibeli.
"Kalau ada masa-masa seperti bencana alam, jatuh sudah. Rugi banyak dan bisa jual sawah (untuk biaya hidup sehari-hari). Soalnya jaminan untuk dibeli itu tidak ada. Setelah ikut mitra ada jaminan dibeli. Pokoknya waktu (ada bencana) gunung meletus, yang ikut mitra (masih) selamat (hasil pertaniannya). Jadi keuntungannya itu banyak," terang Alhairi.
Selama bergabung menjadi petani mitra Sampoerna sejak 2017, Alhairi juga mendapatkan pelatihan teknik pertanian yang tepat dan pengelolaan biaya produksi. Mutu tembakau pun jadi lebih baik dan ia dapat memprediksi masalah-masalah yang mungkin muncul selama proses pembudidayaan.
"Ada perbedaan sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan. Misalnya sebelum pelatihan grade yang atas sedikit. Setelah pelatihan yang tebal banyak. Soalnya suli terjaga. Itu kan diajari oleh teknisi lapangan," katanya.
"(Lalu) masalah kultivator. Kalau dulu kan menggunakan dua jalur. Sekarang satu jalur dan itu lebih optimal. Tidak ada rumput tumbuh. Rendaman pun jadi tinggi, tidak seperti dulu. Pengalaman saya begitu," lanjut Alhairi.
Senada dengan Alhairi, Mursidi juga merasakan manfaat dari pelatihan dari program kemitraan. Bila sebelumnya ia mengandalkan cara manual untuk bertani, kini ia memeroleh bimbingan teknis terkait penggunaan teknologi untuk mengoptimalkan hasil panen.
Para petani binaan Sampoerna. Foto: dok. Sampoerna
"Terus sama petugasnya didampingi caranya memakai kultivator, pakai mesin itu. Itu juga lebih irit. Kalau kultivator, pakai mesin, satu hektar itu cuma 2 hari. Kalau pakai manual paling tidak satu minggu. Kalau pakai mesin cukup pakai 4 orang, dua hari sudah selesai. Terus biayanya juga lebih murah," ucap Mursidi.
Mursidi melanjutkan, berkat hasil panen yang optimal, Mursidi pun mendapatkan harga yang sesuai. Ia mengaku bisa membuat rumah dan menyekolahkan ketiga anaknya walaupun hanya menjadi petani tembakau.
"Berkat bergabung sebagai mitra, (saya) sudah bisa bikin rumah sendiri. Anak tiga, yang satu sudah kuliah. (Semua) hasilnya dari tembakau dan bisa menabung. Sebab, per hektar kalau tembakau bisa (menghasilkan) 40-60 jutaan (saat musim panen). Lumayan. Bedanya memang jauh (sebelum dan sesudah bergabung menjadi mitra)," terang Mursidi.
Sementara itu, sebagai petani cengkih, Ketut juga merasakan manfaat yang sama saat bergabung ke dalam program kemitraan. Menurut Ketut, program kemitraan sangat berguna bagi para petani.
"Peningkatannya (hasil pertanian) 20-25 persen. Petani juga merasa diayomi dengan karena nilai jual yang tinggi. Sehingga kami bisa lebih giat lagi untuk bekerja dan menghasilkan cengkih terbaik," terang Ketut.
Cengkih yang dihasilkan petani binaan Sampoerna. Foto: dok. Sampoerna
Melalui Sistem Produksi Terpadu, para petani binaan juga menerima pelatihan bercocok tanam. Mulai dari proses penanaman bibit, perawatan dengan membersihkan lumut secara berkala, mengajarkan cara pemupukan yang melingkari pohon, hingga menggunakan mesin produksi.
"Kalau dulu sebelum ada alat ini, saya bawa cengkihnya ke bawah, ke desa tetangga. Di desa tetangga, ada yang istilahnya ngepik sampai jam satu-jam dua. Nunggu saya di bawah. Sekarang dengan adanya alat ini, jadi lebih mudah dan lebih cepat," katanya.
Lewat sarana dan prasarana pertanian yang disediakan melalui program kemitraan, hasil panen cengkih lebih banyak dan berkualitas. Biaya operasional pun jadi lebih efisien.
"Kalau ini pakai listrik kalau kami hitung dua ribu per jam. Kalau misalnya kita kerja manual perlu 6 jam, per jamnya kita bayar 10 ribu. Lumayan jauh perbedaannya, dan sekarang tinggal masukkan saja ke alat dan keluar lalu tinggal dibawa saja. Jauh sekali perbedaannya," lanjut Ketut.

Petani mendapat alat pelindung diri

Salah satu petani binaan Sampoerna memakai alat pelindung diri saat bekerja. Foto: dok. Sampoerna
Para petani yang tergabung dalam program kemitraan juga diberikan akses terhadap Alat Pelindung Diri (APD). Untuk petani tembakau, mereka dibekali APD yang bisa mengurangi risiko paparan penyakit hijau (green tobacco sickness) akibat kontak langsung dengan tembakau basah maupun dari zat pelindung tanaman ketika penanganan.
Sementara untuk petani cengkih, mereka menerima body harness untuk mengurangi risiko cedera selama proses bertani. Ada pula snake bag yang dapat mempermudah petani memanen cengkih tanpa perlu naik-turun pohon.
Salah satu petani binaan Sampoerna memakai alat pelindung diri saat bekerja. Foto: dok. Sampoerna
Pada 2020, 100 persen dari petani tembakau dan cengkih dalam program kemitraan telah mendapatkan APD.
Guna mengupayakan kesejahteraan petani saat pandemi, para petani binaan juga diberikan bantuan APD, masker, serta sosialisasi implementasi protokol kesehatan di lahan tembakau dan cengkih.
Sejak 2011 Sampoerna, melalui perusahaan pemasok, juga telah mengembangkan program penghapusan pekerja anak. Melalui program ini, anak-anak di bawah batas usia minimum dilarang bekerja di ladang tembakau dan cengkih.
Artikel ini merupakan bentuk kerja sama dengan Sampoerna