Melihat Lagi Sejarah Mural, Seni Jalanan Kritik Sosial yang Kini Banyak Dihapus

27 Agustus 2021 14:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sebuah mural mirip Presiden Joko Widodo di Flyover Pasupati Kota Bandung. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sebuah mural mirip Presiden Joko Widodo di Flyover Pasupati Kota Bandung. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
ADVERTISEMENT
Mural merupakan media untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat dan pemangku kebijakan. Namun belakangan, mural-mural yang bermunculan dihapus oleh petugas. Mural yang dihapus itu, misalnya, mural mirip Jokowi dengan mata ditutupi masker di Bandung.
ADVERTISEMENT
Apabila dilihat dari perspektif sejarah, mural telah eksis menjadi media penyebar semangat juang. Rata-rata tulisan mural di zaman tersebut, yaitu “Boeng Ajoe Boeng” dan “Merdeka atoe Mati”. Mural pun memiliki sejarah panjangnya tersendiri.
Lantas seperti apa sejarah dari mural itu?
Mural berasal dari kata “murus” yang di dalam bahasa latin berarti dinding. Sedangkan menurut Mikke Susanto selaku penulis buku yang berjudul Diksi Rupa, mural dapat diartikan sebagai lukisan besar yang diproduksi untuk mendukung ruang arsitektur. Keberadaan mural sendiri sudah ada sejak 31.500 tahun silam yang terdapat dalam lukisan gua di Lascaux, selatan Prancis.
Salah satu lukisan prasejarah di Gua Altamira. Foto: Dok. Museo de Altamira y D. Rodríguez via wikimedia commons
H. W. Janson dalam bukunya History of Art menjelaskan bahwa mural pertama kali muncul berupa gambar binatang buruan yang dikerjakan dengan teknik mengukir, menatah, dan melukis dinding.
ADVERTISEMENT
Hasil karyanya bisa berupa Ritual Dance yang digambarkan secara sederhana. Selain itu, terdapat pula lukisan bison yang memiliki impresi tertentu dari gelap dan terang warnanya. Lukisan itu diduga sebagai bagian dari magic ritual akan penghormatan atas keberadaan dan kematian hewan buruan.
Sejarah Mural di Indonesia
Mural Jokowi Not Found di Tangerang. Foto: Polres Tangerang
Mural di Indonesia sudah ada sejak zaman prasejarah tepatnya pada zaman Mesolitikum yang ditandai dengan adanya lukisan dinding sebagai tanda adanya kehidupan di dalam gua.
Menurut jurnal berjudul Street Art sebagai Komunikasi Politik: Seni, Protes, dan Memori Politik, jejak mural dalam sejarah Republik Indonesia, mural dapat dilacak kehadirannya melalui coretan besar di gerbong kereta pada periode revolusi 1945-1949, "Merdeka Ataoe Mati," yang tertulis besar-besar sebagai peringatan kedatangan kembali tentara NICA yang mengancam kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Seiring berkembangnya zaman, karya-karya mural di Indonesia juga ikut berkembang. Mural berubah menjadi ikon protes terhadap situasi dan politik Indonesia. Salah satunya adalah sketsa wajah Munir, sosok pembela Hak Asasi Manusia yang meninggal diracun di udara, karya seniman Antitank (Yogyakarta) yang menjadi begitu ikonik sebagai simbol perlawanan masyarakat sipil di Indonesia.
Mural COVID-19 di Brasil. Foto: Amanda Perobelli/REUTERS
Sementara pada situasi Orde Baru, muncul nama-nama seniman mural seperti Taring Padi (Yogyakarta), Taring Babi (Jakarta) atau Apotik Komik (Yogyakarta). Karya-karya mereka secara tegas memiliki fungsi untuk menyerang Rezim Orde Baru.
Mural sebagai Media Kritik Sosial Politik
Karya seni dapat menjadi media untuk menyampaikan kritik, sosial, bahkan sampai pada ideologi tertentu. Pada tahun 1837, Pablo Picasso menciptakan lukisan dengan judul Guernica. Lukisan tersebut menceritakan tentang perang sipil di Spanyol. Namun, gaya lukisannya diceritakan dengan “jenaka” sehingga memiliki kesan satire. Tak hanya lukisan, mural juga sering menjadi media untuk menyampaikan kritik terhadap fenomena sosial dan politik yang ada.
Pejalan kaki melintasi mural bertema kritik kebijakan pemerintah terlihat di kawasan Kebon Kacang, Jakarta Pusat, Rabu (25/8). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Mural sebagai media kritik sosial dan politik dilakukan oleh Diego Rivera di Mexico yang juga dikenal sebagai Mexican muralista. Karya pertama yang Ia buat adalah Man at the Crossroad. Mural tersebut menggambarkan tentang pekerja yang mengendalikan mesin. Tak hanya itu, mural karya Rivero ini menjadi sebuah kontroversi karena terselip gambar Vladimir Lenin dan parade Soviet May Day.
ADVERTISEMENT
Selain di Mexico, Mural yang mengandung kritik sosial juga berkembang di Indonesia. Salah satunya, yaitu mural dari Young Surakarta. Seniman yang memiliki nama asli Elham Nur Fatoni merupakan pemuda Surakarta dan sudah aktif memproduksi mural sejak tahun 2012.
Warga melintas di dekat mural bertema korupsi bansos di Jalan Raya Transyogi, Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (19/4/2021). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
Berbagai karyanya mengandung kritik akan fenomena sosial yang ada di masyarakat. Salah satu karya Young Surakarta berjudul “Ketika Semesta dalam Satu Genggaman”. Karya tersebut dibuat pada tahun 2016 di salah satu tembok lantai 2, Pasar Kembang, Kota Solo.
Young Surakarta menampilkan gambar seorang pria dengan posisi meringkuk terlilit kabel dengan raut wajah muram sambil menggenggam gadget. Melalui karya mural ini Young Surakarta hendak mengkritisi anak-anak muda saat ini yang di dalam kehidupannya ketergantungan akan media sosial dalam gadget-nya.
ADVERTISEMENT