Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Melihat Lagi Status Quo di Masjid Al-Aqsa dan Isi Larangannya
7 April 2023 16:51 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Kompleks Masjid Al-Aqsa kembali membara akibat bentrokan antara jemaah muslim Palestina dan aparat keamanan Israel di bulan suci Ramadhan tahun ini.
ADVERTISEMENT
Konfrontasi ini kerap terjadi selama bertahun-tahun dan masih merupakan titik konflik terbesar di kawasan Timur Tengah.
Perseteruan antara kedua belah pihak terus terjadi terutama di hari besar keagamaan, usai kaum Yahudi acap kali melaksanakan ibadah di situs suci itu secara diam-diam — bahkan terkadang tanpa pengawasan.
Situasi diperburuk oleh kekhawatiran dari pihak Palestina bahwa kelompok zionis Israel dapat menghancurkan masjid itu suatu saat nanti dan membangun kuil ibadahnya sendiri (sinagoge).
Lantas, apakah kaum Yahudi sebenarnya diperbolehkan beribadah di Masjid Al-Aqsa?
Sudah Dilarang dari Ratusan Tahun Lalu
Dikutip dari Middle East Eye, kompleks Masjid Al-Aqsa atau dikenal sebagai al-Haram al-Sharif ini terletak di dataran tinggi Yerusalem Timur yang diduduki secara ilegal di mata hukum internasional oleh Israel sejak 1967. Kaum Yahudi menyebutnya sebagai Temple Mount.
ADVERTISEMENT
Masjid Al-Aqsa merupakan situs suci ketiga dalam agama Islam sesudah Makkah dan Madinah, sekaligus situs paling suci di agama Yahudi. Situasi tumpang tindih ini yang menjadi sangat kontroversial di kalangan umat muslim dan Yahudi religius.
Menilik sejarah, Sultan Osman III dari Kekaisaran Ottoman pada 1757 pernah mengeluarkan dekrit yang menegaskan larangan bagi nonmuslim untuk beribadah di Masjid Al-Aqsa.
Di sisi lain, kaum Yahudi hanya diizinkan beribadah di Tembok Barat (Western Wall) — sisa bangunan besar Bait Suci Kedua yang didirikan oleh Raja Israel, Herodes.
Tembok Barat ini dikenal sebagai Tembok Ratapan. Sebab, menjadi lokasi sakral bagi kaum Yahudi untuk meratapi dosa-dosa mereka. Letaknya tidak jauh dari Masjid Al-Aqsa.
ADVERTISEMENT
Adapun dekrit yang dikeluarkan oleh Sultan Osman III dikenal sebagai status quo pertama dan kembali ditegaskan pengakuannya oleh Kepala Rabi Yahudi pada 1912.
Dengan kata lain, sudah sejak berabad-abad lalu kaum Yahudi dilarang beribadah di Masjid Al-Aqsa.
Status Quo Tahun 1967
Namun, situasi berubah ketika perang antara koalisi arab dengan Israel pecah pada 1967.
Kala itu, Israel merebut Yerusalem dari Yordania — termasuk situs-situs suci di sana yang menaungi tiga agama besar di dunia yakni Islam, Yahudi, dan Kristen.
Sampai sekarang, Yerusalem masih diduduki oleh Israel meski dipandang ilegal di mata hukum internasional.
Pada saat merebut Yerusalem, Israel membuat kesepakatan dengan Yordania bahwa secara administratif Masjid Al-Aqsa akan diurus oleh Waqf — badan khusus yang didanai oleh pemerintah Yordania.
Dengan kata lain, apa pun yang terjadi di dalam kompleks Masjid Al-Aqsa akan dikendalikan oleh Yordania. Sementara Israel, di sisi lain, akan mengendalikan keamanan eksternal Masjid Al-Aqsa.
ADVERTISEMENT
Hal itu pula tercantum pada situs web resmi Pusat Urusan Publik Yerusalem. “Dalam melarang akses ke Bukit Bait Suci, para rabi kepala mengikuti pandangan Mamonides bahwa Schechinah (Kehadiran Ilahi) masih ada di tempat Bait Suci,” bunyi pernyataan itu.
“Memasukinya dilarang dan diancam dengan Kareth [kematian dengan keputusan surgawi], mengingat bahwa orang-orang Yahudi berada dalam keadaan najis ritual hari ini, karena tidak adanya lembu merah, yang abunya diperlukan untuk proses menyucikan,” masih dalam pernyataan tersebut.
Menurut laporan Al Jazeera, aturan ini disepakati oleh Israel guna mencegah perpecahan, meski pihaknya tidak mengeluarkan aturan resmi untuk melarang kaum Yahudi beribadah di Masjid Al-Aqsa.
Bisa dikatakan bahwa pihak Israel sempat mempertahankan status quo yang telah disepakati.
ADVERTISEMENT
Kemunculan Gerakan Zionis Religius
Namun, sejak 1967 pula, muncul sejumlah gerakan religius yang menyerukan agar kaum Yahudi diberikan izin beribadah di Bukit Bait Suci Kedua — dengan kata lain, di kompleks Masjid Al-Aqsa.
Para pendukung gerakan ini berpendapat, selain diizinkan untuk beribadah di Temple Mount, ada keharusan untuk membangun Bait Suci Ketiga di lokasi itu — sesuatu yang menurut kepercayaan mereka dapat menandai kembalinya Mesias dan Hari Penghakiman (kiamat) dengan cara menghancurkan Masjid Al-Aqsa.
Di antara para gerakan religius itu, terdapat Temple Mount Faithful, Yaraeh, dan Temple Institute yang secara terbuka menentang pembatasan yang diberlakukan pemerintah Israel bagi kaum Yahudi untuk memasuki area Masjid Al-Aqsa.
Di tengah banyaknya penganut zionis, sebagian besar pemimpin Israel adalah sekuler atau ateis — sehingga mereka lebih tertuju pada mencegah ledakan amarah Muslim di seluruh dunia dibandingkan mengubah status quo tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, tak dapat dipungkiri bahwa secara faktual penerapan status quo di Masjid Al-Aqsa masih menjadi pertanyaan besar.
Hal ini semakin tampak di bawah pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang terkenal dengan aliran Yahudi garis kerasnya.
Sejak pemilu Israel digelar pada November 2022, untuk pertama kalinya dalam sejarah negara penjajah ini dipimpin oleh jajaran pemerintahan paling sayap kanan.
Bahkan, sebelum Netanyahu kembali naik ke tampuk kekuasaan, pemberontakan atas larangan kaum Yahudi beribadah di Temple Mount sudah merajalela.
Setengah Warga Yahudi Hormati Status Quo
Dikutip dari Haaretz, hasil polling yang dihimpun Israel Democracy Institute (IDI) pada Mei 2022 menunjukkan bahwa setengah dari penduduk Israel mendukung agar Yahudi dapat beribadah di Temple Mount.
ADVERTISEMENT
Terdapat dua alasan utama yang diberikan oleh para koresponden. Sebanyak 38 persen memandang hal itu diperlukan guna memberikan kedaulatan Israel atas Temple Mount. Sementara 12 persen lainnya percaya bahwa itu merupakan perintah agama.
Sebaliknya, 40 persen penduduk Yahudi Israel tetap menghormati status quo dan 23 persen mengatakan bahwa jika mereka tetap memaksa perizinan beribadah di Temple Mount, maka akan mengundang reaksi negatif besar-besaran dari umat Islam di dunia.
Adapun sebanyak 17 persen lainnya mengatakan, mereka percaya bahwa hal itu dilarang oleh halakha (hukum agama Yahudi).
Hampir semua rabi Israel melarang pengikutnya untuk beribadah di Temple Mount atas dasar kekhawatiran akan kemurnian ritual.
Sementara di sisi lain, semakin banyak rabi Yahudi modern yang mendorong pengikutnya tetap ke Temple Mount tetapi tetap menghindari titik-titik yang dilarang.
ADVERTISEMENT
Implementasi status quo juga semakin diabaikan di bawah pemerintahan Netanyahu. Bersama dengan jajaran sayap kanannya seperti Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, mereka kerap abai atas pelanggaran oleh kaum Yahudi di area Temple Mount.
Hal itu dikarenakan baik Netanyahu maupun Ben-Gvir, keduanya terkenal oleh ideologi zionis untuk menumpas rakyat Palestina dan mendukung perluasan permukiman ilegal di Tepi Barat hingga ke wilayah jajahan lainnya.
Sehingga, aparat keamanan Israel yang seharusnya menjaga keamanan eksternal di Masjid Al-Aqsa justru kerap menggerebek para jemaah muslim yang beribadah di sana.
“Puluhan orang Yahudi kini secara terbuka berdoa setiap hari di bagian terpencil sisi timur situs, dan pengawalan polisi Israel tidak lagi berusaha untuk menghentikan mereka,” bunyi laporan Times pada 2021.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, ketika sebelumnya kaum Yahudi perlu mengendap-endap dan bahkan menyamar seperti orang muslim agar bisa beribadah, kini mereka mulai seperti ‘diizinkan’ mengunjungi Temple Mount dan sering kali tanpa pengawasan atau ditindak tegas oleh aparat.