Melihat Masa Depan Gaza Setelah Gencatan Senjata

16 Januari 2025 11:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga menonton siaran langsung konferensi pers yang disampaikan oleh Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al-Thani mengenai gencatan senjata, di sepanjang jalan di Khan Yunis di Jalur Gaza selatan pada (15/1).  Foto: Bashar Taleb / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Warga menonton siaran langsung konferensi pers yang disampaikan oleh Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al-Thani mengenai gencatan senjata, di sepanjang jalan di Khan Yunis di Jalur Gaza selatan pada (15/1). Foto: Bashar Taleb / AFP
ADVERTISEMENT
Israel dan Hamas telah menyepakati gencatan senjata di Gaza. Klausul penting dalam perjanjian gencatan senjata itu di antaranya pembebasan tahanan dan penarikan pasukan Israel dari Gaza.
ADVERTISEMENT
Gencatan senjata ini akan diberlakukan pada Minggu (19/1) mendatang. Begitu diberlakukan, fokus utamanya adalah pemulihan infrastruktur dan pemerintahan di Jalur Gaza yang porakporanda akibat perang yang terjadi sejak 7 Oktober 2023.
Meski demikian, dikutip dari AFP, pemulihan dan pembangunan kembali Gaza bukannya tanpa tantangan. Apa saja tantangannya?
Situasi kemanusiaan di Jalur Gaza memang buruk. Bahkan sebelum serangan mematikan yang terjadi sejak Oktober 2023, kemiskinan dan pengangguran merajalela di Gaza.
PBB memperkirakan untuk membangun kembali Gaza akan membutuhkan waktu 15 tahun dan memakan biaya sebanyak USD 50 miliar.
Infrastruktur penting termasuk jaringan distribusi air mengalami kerusakan parah, sementara kelaparan melanda tenda-tenda pengungsian di mana kebanyakan warga Gaza mencari perlindungan selama perang.
ADVERTISEMENT
PBB mengatakan, hampir semua 2,4 juta warga telah mengungsi setidaknya satu kali karena serangan yang terjadi. Sebagian besar anak-anak putus sekolah selama lebih dari satu tahun, dan hanya sebagian kecil rumah sakit yang masih beroperasi sebagian.
“Sungguh tidak masuk akal mengabaikan taruhan politik, mengingat skala kerusakan manusia dan material yang membuat Gaza tidak layak ditinggali,” kata peneliti isu Palestina di Noria Research di Prancis, Xavier Guignard.
Meski Hamas memerintah Gaza sejak tahun 2006. Sementara rivalnya, Otoritas Palestina (PA) yang didominasi Fatah memerintah di Tepi Barat.
“Otoritas Palestina kekurangan sumber daya dan akan bergantung pada donor eksternal,” kata Guignard.
“Rencana rekonstruksi sering kali bergantung pada monarki Teluk, khususnya Arab Saudi, yang turun tangan dengan dukungan finansial. Namun negara-negara tersebut semakin bersikeras bahwa era pendanaan tanpa syarat akan berakhir,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
“Apa pun yang terjadi akan menjadi masalah bagi semua yang terlibat,” kata seorang diplomat yang meminta identitasnya tidak diungkap.
Asap mengepul saat bangunan-bangunan hancur di Beit Hanoun di Jalur Gaza, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas, seperti yang terlihat dari Israel selatan, Selasa (7/1/2025). Foto: Kai Pfaffenbach/REUTERS

Apa yang Hamas inginkan?

Hamas, yang memenangi pemilihan legislatif Palestina pada tahun 2006, mengindikasikan mereka tidak ingin memerintah Gaza pasca konflik.
‘Kami tidak berkeinginan kembali memimpin di Jalur Gaza,” kata pejabat senior Hamas, Bassem Naim, dalam wawancara tahun lalu.
Sumber Hamas mengungkapkan kepada AFP bahwa mereka siap menyerahkan urusan sipil Gaza kepada entitas Gaza.
“Pada tahun 2014, setelah perang sebelumnya, Hamas tidak secara langsung melibatkan diri dalam rekonstruksi dan menunjukkan fleksibilitas dengan menerima komite eksternal,” kata analis politik Palestina, Yasser Abu Hein.
Pemimpin Palestina dari berbagai faksi telah lama mengatakan bahwa masa depan Gaza adalah keputusan mereka, menolak intervensi apa pun dari luar.
ADVERTISEMENT
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mengesampingkan apa pun perang Hamas dalam pemerintahan Gaza pasca perang.
Selama diskusi di Kairo, perwakilan Hamas dan Fatah sepakat bahwa Gaza dapat dipimpin oleh komite yang terdiri dari tokoh-tokoh non partisan di bawah PA.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan PA “harus mengundang rekan internasional untuk membantu membentuk dan menjalankan pemerintahan sementara” di Gaza.
Dengan dukungan diam-diam dari komunitas internasional, PA mempertahankan kehadirannya di Gaza, terutama melalui pegawai kota.
Negosiasi tidak resmi sedang berjalan terkait pembukaan kembali penyeberangan Rafah, yang menghubungkan Gaza dengan Mesir. Jika PA mengamankan peran dalam mengelola Rafah, kemungkinan dapat membangun kembali dirinya di Gaza.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (tengah) berbincang dengan tentara Israel di pos militer saat berkunjung ke Gunung Hermon di Dataran Tinggi Golan sambil melihat perbatasan Israel-Suriah 4 Februari 2015. Foto: Reuters/Baz Ratner

Apa yang Israel inginkan?

Perdana Menteri Qatar mengatakan mulai Minggu (19/1) nanti, mediator gencatan senjata dari AS, Qatar, dan Mesir akan memantau gencatan senjata lewat sebuah badan yang berbasis di Kairo.
ADVERTISEMENT
Israel menduduki Gaza dari tahun 1967 hingga 2005, ketika Israel menarik diri secara sepihak dan mengevakuasi para pemukim. Saat ini, Israel tidak memiliki sikap definitif terhadap pemerintahan pascaperang selain menolak peran apa pun bagi Hamas.
Mantan menteri pertahanan Yoav Gallant, yang mengundurkan diri pada awal November, mengatakan Israel tidak ingin memerintah Gaza setelah perang.
Penggantinya, Israel Katz, telah menyerukan "kebebasan bertindak" bagi militer Israel di wilayah tersebut.
Beberapa politisi sayap kanan, termasuk anggota pemerintah, telah menyerukan kembalinya para pemukim.
Beberapa media Israel juga telah melontarkan kemungkinan pasukan internasional untuk membantu memerintah Gaza.