Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Melihat Masjid Lautze yang Bergaya Tiongkok di Kawasan Pecinan Jakarta
6 Juni 2018 11:40 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
ADVERTISEMENT
Bangunan berwarna merah dan kuning itu terlihat begitu mencolok di antara deretan ruko di bilangan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Sepintas mata, bangunan itu menyerupai kelenteng dengan beberapa ornamen khas Tionghoa dan sejumlah lampion.
ADVERTISEMENT
Namun siapa sangka bahwa bangunan tersebut adalah sebuah masjid. Berbeda dengan masjid kebanyakan, masjid yang dinamakan Lautze ini tidak memiliki kubah ataupun menara.
Sebagai penanda bahwa bangunan ini merupakan sebuah masjid adalah adanya papan besar yang bertuliskan ‘Yayasan Haji Karim Oei’ serta papan kecil dengan dominasi warna kuning bertuliskan ‘Masjid Lautze’.
“Jadi bentuk masjid kita enggak seperti masjid umumnya ya, enggak ada kubah enggak ada menara. Bangunan ini bukan kelenteng atau wihara tapi bangunan yang mencontoh di Tiongkok,” ujar Yusman Iriansyah, Humas Yayasan Haji Karim Oei, saat berbincang dengan kumparan di Masjid Lautze, Senin (4/6).
Masjid ini terletak di Jalan Lautze nomor 87-89, Sawah Besar, yang merupakan kawasan pecinan. Nama Lautze menurut Yusman memiliki makna tersendiri.
ADVERTISEMENT
“Kalau di Arab mungkin artinya seperti ustaz gitu. Kalau dalam bahasa Tiongkok itu artinya guru atau orang yang dihormati,” tutur Yusman.
Awal mula berdirinya Masjid Lautze didasari pada semangat syiar dan dakwah Islam di kalangan etnis Tionghoa. Maka dari itu, lokasi yang dipilih tidak berjauhan dengan Pasar Baru yang merupakan kawasan pecinan.
“Tujuan utamanya untuk menyampaikan dakwah tentang agama Islam kepada teman-teman kita dari keturunan Tionghoa. Karena kita tahu banyak ormas-ormas Islam di Indonesia, tapi belum ada yang fokus menyampaikan Islam ke kalangan Tionghoa,” papar Yusman.
Yusman menambahkan, dipilihnya corak bangunan yang bergaya China disesuaikan dengan sasaran utama dakwahnya, yakni etnis Tionghoa. Termasuk di dalamnya, kaligrafi-kaligrafi yang langsung diperoleh dari China.
ADVERTISEMENT
“Pendekatannya kita buat agar mereka yang banyak datang ke sini tidak tahu kalau ini tuh masjid. Kita coba warna (merah), lalu tadi kaligrafi kita pun di masjid asli dari Mandarin, dari China sana. Secara psikologis itu lebih dekat sehingga mereka tidak takut untuk belajar agama (Islam),” jelas Yusman.
Masjid Lautze yang berada di bawah pengelolaan Yayasan Haji Karim Oei, didirikan pada tahun 1991. Nama Karim Oei diambil dari pendiri yayasan yang juga seorang tokoh muslim Tionghoa di Indonesia, yakni Haji Abdul Karim Oei.
Seperti ruko, Masjid Lautze terdiri dari empat lantai. Lantai satu dan dua diperuntukkan sebagai masjid, sedangkan lantai tiga digunakan untuk sekretariat yayasan. Sementara lantai empat merupakan aula pertemuan.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya arsitekturnya yang unik, jam operasional Masjid Lautze juga cukup berbeda dengan masjid-masjid lain. Masjid ini dibuka mulai pukul 08.00-17.00 WIB. Menurut Yusman, hal itu lantaran jemaah Masjid Lautze didominasi oleh karyawan.
“Karena di sini pecinan, jemaahnya banyak yang jadi pekerja sekitar sini. Jadi kalau magrib sudah pada pulang. Ramainya ya waktu-waktu zuhur dan asar,” kata Naga.
Sementara di bulan Ramadhan, Masjid Lautze rutin menyelenggarakan buka bersama setiap Sabtu yang dilanjutkan dengan ibadah salat Tarawih. Meski begitu, di hari Minggu, Masjid Lautze menjadi ramai karena adanya kegiatan silaturahmi antar mualaf-mualaf yang sebelumnya diislamkan di sana. Mayoritas mualaf-mualaf tersebut merupakan warga etnis Tionghoa.
“Kegiatan utama kita menyampaikan informasi Islam ke kalangan Tionghoa, yang kedua kita membimbing mereka yang ingin masuk Islam, bersyahadat. Alhamdulillah jumlahnya selalu bertambah yang bersyahadat melalui Masjid Lautze,” pungkas Yusman.
ADVERTISEMENT