Melihat Minimnya Jumlah Dokter Spesialis di Indonesia, Dokter Asing Jadi Solusi?

2 Juli 2024 17:54 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cek Data: Ilustrasi Dokter. Foto: PopTika/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Cek Data: Ilustrasi Dokter. Foto: PopTika/Shutterstock
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mewacanakan mendatangkan dokter asing ke Indonesia untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Namun rencana ini ditolak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair).
Dekan FK Unair Prof Dr Budi Santoso dr SpOG (K) menilai, sebanyak 92 Fakultas Kedokteran di Indonesia masih mampu meluluskan dokter-dokter berkualitas. Bahkan, kualitasnya diyakini tidak kalah dengan dokter-dokter asing.
“Saya pikir semua dokter di Indonesia tidak rela kalau dokter asing bekerja di sini, karena kita mampu untuk memenuhi dan kita mampu menjadi dokter di tuan rumah sendiri,” ujar Prof Budi, saat ditemui Basra, partner media kumparan, belum lama ini.
Dekan FK Unair Prof Dr Budi Santoso dr SpOG (K). Foto: Masruroh/Basra
Menurut Prof Budi, banyak rumah sakit vertikal di kota-kota besar di Indonesia yang memiliki dokter spesialis berkompeten dan tidak kalah kualitasnya dengan yang ada di luar negeri. Rencana mendatangkan dokter asing ini pun dinilai agak aneh.
“Agak aneh. Ada RS Sanglah Denpasar, RS Wahidin Makassar, di kota besar lainnya, seperti Yogya, Bandung, Semarang. Masa mereka kekurangan dokter spesialis? Kami tidak setuju dengan dokter asing,” ujarnya.

Rasio Dokter di Indonesia Masih Minim

Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menyebut setiap negara harus berupaya memenuhi kriteria 'Golden Finishing Line'. Kriteria tersebut mensyaratkan sebuah negara harus memiliki minimal satu dokter untuk seribu warga (rasio 1:1.000).
Jika sebuah negara berhasil memenuhi garis akhir emas itu, sebuah negara dapat dikategorikan berhasil dan bertanggung jawab kepada rakyatnya. Nah, berdasarkan data WHO 2024, garis akhir emas di Asia Tenggara hanya diperoleh tiga negara: Singapura, Malaysia, dan Brunei.
Saat ini, Singapura memiliki rasio 2,6 dokter per 1.000 penduduk. Sementara itu, rasio dokter di Malaysia 2,32 per 1.000 penduduk, serta di Brunei Darussalam 1,91 per 1.000 penduduk.
Sementara di Indonesia, rasio dokter masih ada di angka 0,69 per 1.000 penduduk. Artinya, mengacu pada data WHO, satu dokter di Indonesia harus melayani sekitar 1.300 penduduk. Kondisi tersebut masuk jauh dari kata ideal yang disyaratkan WHO.
Indonesia sendiri berada di peringkat 9 di antara negara-negara Asia Tenggara. Indonesia hanya unggul dibandingkan Laos dan Kamboja. Di dua negara tersebut, rasionya masing-masing 0,33 dan 0,21 dokter per 1.000 penduduk.
Di level dunia, Kuba merupakan negara dengan rasio dokter tertinggi yaitu 9,43 dokter per 1.000 penduduk. Diikuti oleh Monako, 8,89 dokter per 1.000 penduduk dan Swedia, 7,15 dokter per 1.000 penduduk.

Dokter Spesialis Lebih Langka Lagi

Menurut data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), per tanggal 1 Juli 2024, Indonesia memiliki 281.590 dokter yang teregistrasi. Situs KKI tersebut terus di-update setiap hari.
Dari jumlah tersebut, yang berstatus dokter spesialis hanya 59.885 orang atau sekitar 21,27 persen. Jumlah itu terdiri dari dokter spesialis yang mencapai 54.158 dan dokter gigi spesialis yang mencapai 5.727.
Berdasarkan gelarnya, dokter spesialis terbanyak di Indonesia saat ini adalah spesialis penyakit dalam (Sp.PD). Dokter Sp.PD memiliki spesialisasi menangani kondisi medis terkait organ dalam tubuh, seperti jantung, paru-paru, ginjal, hati, dan lain-lain. Per 2 Juli 2024, ada 6.246 dokter Sp.PD yang teregistrasi secara nasional.
Meski begitu, ada provinsi-provinsi yang tak sepenuhnya memiliki dokter spesialis yang lengkap. Provinsi yang dimaksud mayoritas ada di wilayah timur Indonesia.
Detailnya adalah sebagai berikut:
Sementara itu, data Kemenkes per 1 Mei 2024 menunjukkan bahwa 474 atau 66,7 persen rumah sakit umum daerah (RSUD) tipe B,C, dan D di Indonesia belum memenuhi standar kuantitas dokter spesialis. RSUD yang dimaksud adalah RSUD yang dikelola kabupaten/kota. Jakarta tidak ada dalam data tersebut.
Dalam parameter yang dibuat Kemenkes, rumah sakit tersebut mesti memiliki 7 jenis spesialis standar ketenagaan minimal. Yakni, dokter spesialis anak (Sp.A), dokter spesialis bedah (Sp.B), dokter spesialis obstetri dan ginekologi (Sp.OG), dokter spesialis penyakit dalam (Sp.PD), dokter spesialis anestesiologi (Sp.An), dokter spesialis radiologi (Sp.Rad), dan dokter spesialis patologi klinik (Sp.PK).
Dalam hitung-hitungan Kemenkes, Indonesia masih kekurangan 1.708 nakes ASN untuk memenuhi standar minimal di RSUD.
Detail kekurangannya adalah sebagai berikut:

Klarifikasi Menkes Budi Gunadi

Menurut Menkes Budi Gunadi, kedatangan dokter asing bukan untuk merendahkan kualitas dokter dalam negeri. Menurutnya, dokter dalam negeri mampu dan memiliki kualitas yang baik. Persoalannya, kata dia, adalah jumlah dokter yang tidak cukup.
"Bahwa kemudian mungkin teman-teman ada yang merasa sensitif seperti FK Unair bahwa oh dokter kita lebih hebat, kemudian kita juga bisa, isunya bukan itu. Isunya bukan juga merendahkan kemampuan dokter-dokter kita, enggak," kata Budi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (2/7).
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memberikan paparan saat mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (16/5/2024). Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Lulusan Fisika Nuklir ITB ini lalu mengungkapkan, saat ini ada 12 ribu bayi di Indonesia yang lahir dalam kondisi kelainan jantung bawaan. Sementara dokter di Indonesia hanya mampu melakukan 6 ribu operasi per tahun.
"Jadi 6 ribu bayi tidak tertangani. Ini bayi-bayi ini memiliki risiko tinggi untuk meninggal. Kalau kita tunggu risikonya makin tinggi. Nah, kedatangan dokter asing itu itu sebenarnya untuk menyelamatkan 6 ribu nyawa ini," jelas Budi.
Meski dokter Indonesia mampu, lanjut Budi, jumlahnya tidak cukup untuk menangani operasi dengan jumlah pasien yang banyak seperti bayi dengan kelainan jantung bawaan tersebut.
"Jadi enggak ada hubungannya dengan kualitas dokter. Enggak ada hubungannya dengan kemampuan dokter kita. Itu, ya, mungkin agak tersentuh secara emosional. Tapi sebenarnya masalah menyelamatkan nyawa," pungkasnya.