Melihat Pacuan Kuda Tahunan di Dataran Tinggi Gayo, Aceh

18 September 2018 14:34 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pacuan Kuda di Tanoh Gayo (Foto: Dok. Disbudpar Aceh)
zoom-in-whitePerbesar
Pacuan Kuda di Tanoh Gayo (Foto: Dok. Disbudpar Aceh)
ADVERTISEMENT
Para joki muda dari tiga kabupaten Dataran Tinggi Gayo saling mengadu kecepatan di arena pacuan kuda tradisional desa Blang Bebangka, Kecamatan Pegasing, Takengon, Aceh Tengah. Meski dalam kondisi cuaca hujan, tidak menyurutkan semangat mereka.
ADVERTISEMENT
Pacuan kuda tradisional ini diikuti tiga kabupaten serumpun meliputi Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Seratusan kuda mulai tingkat dewasa, muda, dan cilik yang akan ditunggangi para joki ikut dalam ajang tersebut.
Wakil Bupati Aceh Tengah, Firdaus, mengatakan pacuan kuda tanah Gayo selama ini dilaksanakan secara tradisional. Namun kali ini sebutnya, dihelat pada even tingkat internasional bertajuk Gayo Alas Mountain International Festival (GAMI Fest) 2018. Pacuan kuda masuk dalam acara tersebut karena selama ini menjadi destinasi wisata olahraga favorit di dataran tinggi Gayo.
“Olahraga ini diharapkan dapat mengundang minat wisatawan untuk terus berkunjung ke Takengon (ibu kota Aceh Tengah), Bener Meriah, Gayo Lues, Kuta Cane, dan Aceh Tenggara,” ujarnya saat mengunjungi arena pacuan kuda, Selasa (18/9).
ADVERTISEMENT
Firdaus menjelaskan, ajang pacuan kuda tradisional merupakan agenda tahunan di Takengon. Dalam setahun biasanya berlangsung dua kali, yaitu untuk memeriahkan hari jadi Kota Takengon dan memperingati hari kemerdekaan 17 Agustus. Balapan ini digelar rutin untuk memberi semangat bagi peternak merawat kuda dengan baik dan melahirkan para joki yang handal.
"Ke depan Aceh Tengah harus jadi produser kuda, selama ini beli mahal dari luar, jadi sekarang harus jadi produser kuda, akan dibeli mahal dari kita. Pacuan kuda harus mengakomodir kepentingan masyarakat," ungkapnya.
Firdaus berharap, pacu kuda ini bisa berkontribusi besar untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakat, khususnya bagi yang memelihara kuda di Takengon.
“Ke depan Aceh Tengah akan menjadi pusat perdagangan kuda terbaik, khususnya kuda lokal yang dimiliki di dataran tinggi Gayo.” kata Firdaus.
Pacuan Kuda di Tanoh Gayo (Foto: Dok. Disbudpar Aceh)
zoom-in-whitePerbesar
Pacuan Kuda di Tanoh Gayo (Foto: Dok. Disbudpar Aceh)
Acara ini juga diharapkan membuat Aceh Tengah semakin dikenal dunia. Pasalnya, Firdaus menilai daerahnya selama ini hanya dikenal sebagai penghasil kopi. Padahal, ada lokasi wisata yang dianggapnya cukup menarik.
ADVERTISEMENT
“Kami memiliki Danau Lut Tawar, Pantan Terong dan Burni Telong yang juga merupakan destinasi wisata favorit. Kini muncul destinasi wisata baru yaitu olahraga rafting. Jadi ada banyak yang bisa dijual sehingga mengundang wisatawan berkunjung ke sana (Takengon),” tambahnya.
Sejarah Pacuan Kuda di Tanoh Gayo
Menurut sejarahnya pacuan kuda di Tanoh Gayo sudah dilakukan sebelum Belanda masuk ke Indonesia. Pacuan kuda ini dulunya digelar sebagai hiburan rakyat dan setelah musim panen yang biasa bertepatan dengan Agustus karena cuaca saat itu cerah.
Dari catatan sejarahnya acara ini bermula dari sekelompok anak muda yang iseng menangkap kuda menggunakan sarung di sekitar Danau Lut Tawar, kala itu banyak kuda digembalakan di sana. Setelah menangkap kuda, mereka lalu memacunya. Kelompok pemuda dari satu desa sering bertemu dengan pemuda desa lainnya yang akhirnya berlomba memacu kuda tanpa sepengetahuan pemiliknya.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya kebiasaan memacu kuda menjadi tradisi tahunan yang digelar di kampung masing-masing. Pada 1850 pacuan kuda tradisional Gayo sudah dikenal di tengah-tengah masyarakat tepatnya di sekitar Danau Lut Tawar.
“Antusiasme warga dalam lomba pacuan kuda ini ternyata menarik perhatian Pemerintah Belanda saat itu yang kemudian menggelar pacuan kuda di lapangan Belang Kolak, Takengon, pada tahun 1912. Acara ini berbarengan dengan hari ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina,” kata Firdaus.
Pacuan Kuda di Tanoh Gayo (Foto: Dok. Disbudpar Aceh)
zoom-in-whitePerbesar
Pacuan Kuda di Tanoh Gayo (Foto: Dok. Disbudpar Aceh)
Kala itu, persyaratan joki tidak dibenarkan menggunakan baju alias telanjang dada. Tidak ada hadiah bagi pemenang, hanya gengsi atau dan status sosial yang dipertaruhkan dan dipertahankan. Usai lomba, mereka bergotong-royong dan menyembelih ternak untuk dimakan bersama.
Kemudian tradisi ini diberikan hadiah oleh Ratu Belanda Wilhelmina. Agar pacuan kuda lebih semarak, Ratu Belanda memberikan hadiah kepada siapa saja yang berhasil menjadi juara. Hadiahnya beragam, mulai dari biaya makan kuda hingga piagam bagi pemenang.
ADVERTISEMENT
"Tradisi itupun berlanjut sampai hari ini," ujarnya.