Melihat Pameran Klitih, Fenomena Kejahatan Jalanan di Yogyakarta

11 Maret 2021 18:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pameran tentang klitih bertajuk The Museum of Lost Space di Galeri Lorong Jalan Nitiprayan, Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, Kamis (11/3).
 Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pameran tentang klitih bertajuk The Museum of Lost Space di Galeri Lorong Jalan Nitiprayan, Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, Kamis (11/3). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
Fenomena kejahatan jalanan di Yogyakarta menjadi keresahan banyak lapisan masyarakat. Klitih, begitu biasanya peristiwa kejahatan jalanan remaja disebut. Meski sebenarnya makna asli klitih adalah jalan-jalan untuk melepas penat, tanpa embel-embel kriminalitas.
ADVERTISEMENT
Soal klitih ini ternyata juga direkam oleh Yahya Dwi Kurniawan (28), seniman asal Magelang, Jawa Tengah. Lewat karya dia ingin mengurai apa penyebab klitih ini terjadi dan mendiskusikan bersama-sama mencari solusi mengatasi klitih.
"Warga menanggapi (klitih) dengan kekerasan (juga), dihajar. Aku melihat ketika seperti itu tidak akan menyelesaikan itu. Harus melihat lebih jauh," kata Yahya ditemui di sela-sela pamerannya yang bertajuk The Museum of Lost Space di Galeri Lorong Jalan Nitiprayan, Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, Kamis (11/3).
Pameran tentang klitih bertajuk The Museum of Lost Space di Galeri Lorong Jalan Nitiprayan, Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, Kamis (11/3). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Pameran yang dibuat untuk edukasi ini membutuhkan proses panjang. Selama 8 bulan, Yahya bertemu dengan pelaku dan mantan pelaku klitih.
"Saya ngontak mereka, datang ke tempat mereka. Dolan nongkrong, cari teman ngobrol ke lapangan," katanya.
ADVERTISEMENT
Dari cerita itulah Yahya mendapatkan banyak informasi soal kejahatan jalanan di Yogyakarta. Para pelaku klitih ini membutuhkan ruang untuk eksis, sementara ruang-ruang publik di kota mulai terkikis.
Yahya Dwi Kurniawan (28), seniman asal Magelang, Jawa Tengah. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
"Mereka pingin punya ruang. Saya riset 100-an lebih ada yang kecemburuan sosial karena pendatang, sempitnya ruang eksis buat mereka. Di Jakal (Jalan Kaliurang) kan coffeshop semua, di sini UMR rendah mereka mau jajan sehari Rp 25 ribu nggak mungkin buat mereka," katanya.
Sementara ketika kembali ke kampungnya, tempat tinggal mereka penuh dengan kos-kosan. Akhirnya mereka kembali ke jalanan.
Yahya menilai, kejahatan jalanan saat ini berbeda dengam masa lampau. Di tahun 80-90-an geng-geng bermunculan dengan motif materi serta memperebutkan wilayah. Di tahun 2000-an hingga 2010-an geng saling mempertahankan eksistensi dengan pertempuran antargeng lain.
Pameran tentang klitih bertajuk The Museum of Lost Space di Galeri Lorong Jalan Nitiprayan, Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, Kamis (11/3). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Setelah itu, kemudian dikenal istilah klitih, di mana mereka tidak menonjolkan nama geng, bergerak sendiri, dan mencari korban secara acak.
ADVERTISEMENT
"Kalau sekarang ada faktor eksistensi, neror, ada juga yang buat sombong-sombongan di antara mereka," ujarnya.
Para mantan klitih ini bisa dikatakan sembuh setelah mereka masuk bangku kuliah. Dia bertemu orang baru, mengobrolkan hal lain di luar kekerasan.
Pameran tentang klitih bertajuk The Museum of Lost Space di Galeri Lorong Jalan Nitiprayan, Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, Kamis (11/3). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
"Kalau tidak kuliah tidak menemukan lingkungan baru itu itu saja di dunia yang sama," katanya.
Dari fakta tersebut, Yahya menyimpulkan bahwa para pelaku ini membutuhkan ruang yang lebih. Terlebih banyak dari mereka yang sebenarnya mempunyai bakat dan kreativitas.
"Paling nggak misal selama 8 bulan anak-anak ini ikut, aku paling nggak 8 bulan waktu mereka klitih hilang. Mengalihkan mereka untuk tidak disitu. Mereka punya kreativitas tinggi bisa nggambar, musik tapi tidak punya ruang untuk itu," katanya.
Pameran tentang klitih bertajuk The Museum of Lost Space di Galeri Lorong Jalan Nitiprayan, Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, Kamis (11/3). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Di pameran tersebut, dipamerkan berbagai mural, poster, film, hingga replika senjata yang digunakan para pelaku klitih.
ADVERTISEMENT
"Alat itu aku mendapat cerita dari mereka ada alat seperti ini dan aku kembangin. Ada dua senjata dari mereka yaitu buntut pari dan satu pedang. Sisanya aku replika dari cerita mereka," pungkasnya.