Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Melihat Potret Kehidupan Warga Bantaran Ciliwung di Kampung Tanah Rendah, Jaktim
16 April 2025 14:51 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Aroma ayam goreng menyeruak dari warung yang berlokasi di bantaran Sungai Ciliwung, Selasa (16/4) siang. Seorang perempuan berkerudung marun terlihat sibuk membolak-balikkan ayam di dalam wajan penuh minyak panas.
ADVERTISEMENT
Sesekali tangannya berpindah ke meja sebelah untuk melayani pembeli dan memberi uang kembalian.
Perempuan itu bernama Lidia (43), setiap hari dia sibuk berjualan ayam dan lele goreng di warung yang berada di depan rumahnya di Kampung Tanah Rendah, Jatinegara, Jakarta Timur. Dari warung Lidia, pembeli bisa melihat aliran Sungai Ciliwung yang berwarna cokelat pekat.
Di Kampung Tanah Rendah ada 16 RT dan 2 RW. Area ini merupakan kawasan padat penduduk, lebar jalan di kampung ini hanya bisa dilalui 2 motor dari kedua arah.
Pekerjaan warga di sini juga beragam. Buat ibu-ibu biasanya berdagang masakan rumah atau warung-warung kelontong. Sedangkan laki-lakinya, tak nentu, ada yang serabutan, namun kebanyakan menarik ojek online.
Sesuai dengan namanya, Kampung Tanah Rendah memang berada di kawasan dataran rendah, persisnya di bantaran Sungai Ciwiling. Warga di sana sudah 'bersahabat' dengan banjir. Mereka, kata Lidia, lebih khawatir dengan bencana kebakaran daripada banjir yang kerap kali datang.
ADVERTISEMENT
Lidia dijumpai pada Rabu (16/4) di depan rumahnya yang disulap jadi dapur sederhana.
Karena terbiasa dengan banjir, warga di sana membangun rumah dengan pondasi tinggi atau dua lantai untuk menyimpan barang dan dokumen berharga. Seperti rumah Lidia yang terdiri dari dua lantai dan berdiri tepat di bantaran Sungai Ciliwung.
Berdamai dengan Banjir
Lidia lahir dan besar di Kampung Tanah Rendah. Dia menikah dan tinggal dengan suaminya, Hermanto (55), di kampung ini.
Saat hujan mengguyur Jakarta, dia merasa aman-aman saja. Namun saat hujan deras mengguyur kawasan Bogor dan Depok, dia justru was-was sebab hal itu bakal membuat air sungai meluap dan banjir.
"Kalau hujannya di Jakarta, tidak pasti. Kalau hujannya di Bogor, di sini pasti banjir. Bogor, Depok, ini banjir. Di sana yang hujan, di sini banjir," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Banjir terparah terakhir terjadi pada tanggal 3-4 Februari 2025. Ketinggiannya sampai 2 meter.
Banjir di sini selalu surut dengan sendirinya, tak perlu pompa karena tak ada tanggul seperti yang ada di Kampung Pulo dan Bukit Duri yang ada di seberangnya. Banjir di Februari itu, kata Lidia, baru surut seminggu.
Warga lainnya, Mujiono (70) yang juga penduduk asli itu menyebut banjir parah kerap terjadi setiap 5 tahunan.
Warga juga sudah siap siaga. Mereka ada yang bertahan di rumah tingkat ada juga yang pilih mengungsi ke daerah yang lebih tinggi.
"Kalau sudah lebih dari 2 meter di sini, tuh, pasti pada ngungsi ke sekolah, di atas. Di bawah itu pasti di lantai 2," terang lansia yang memiliki 2 anak itu.
ADVERTISEMENT
Dari pantauan kumparan di lokasi, kampung ini memang memiliki sistem "mumpuni" untuk memitigasi banjir.
Terdapat banyak tiang yang dapat mengukur ketinggian air dengan kategori warna untuk setiap ketinggiannya. Di ujung tiangnya, terdapat papan berbentuk panah yang menunjukkan jalur evakuasi apabila banjir terjadi.
"Setiap jam 10 malam itu ada pengumuman lewat spiker buat ngasih tahu ketinggian air. Kalau tinggi langsung diingetin buat bersiap-siap. Kayak langsung mindahin perabotan ke atas. Yang kagak bakal rusak kalau terendam kita tinggal," kata Hermanto.
Meski jadi langganan banjir, warga Kampung Tanah Rendah ini tetap betah menempati kawasan rendah itu. Mereka mengaku mau pindah asal diberikan kompensasi yang sesuai.