Melihat Pro dan Kontra Revisi UU ASN

22 April 2025 7:01 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Aparatur Sipil Negara (ASN). Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Aparatur Sipil Negara (ASN). Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Komisi II DPR RI bakal membahas revisi UU nomor 20 tahun 2023 tentang ASN. RUU ASN ini menuai sorotan karena sebenarnya UU ini sudah direvisi pada 2023.
ADVERTISEMENT
Ketua Komisi II Rifqinizamy Karsayuda mengatakan, pihaknya mendapat penugasan langsung dari Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk segera membahas RUU ASN.
"Komisi II mendapatkan penugasan dari Badan Legislasi DPR, untuk membahas RUU ASN," kata Rifqi kepada wartawan di Jakarta, Senin (21/4).
Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda. Foto: Haya Syahira/kumparan
Rifqi membeberkan 2 alasan mengapa UU ASN harus direvisi lagi. Pertama, terkait evaluasi Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 dan kedua, terkait meritokrasi dalam birokrasi.
"Dari pelaksanaan Pileg, Pilpres, dan Pilkada dalam konteks ASN, kita menemukan banyak sekali ketidaknetralan ASN, terutama dalam Pilkada kita," ucap dia.
Komisi II menilai, ASN di daerah, terutama eselon II seperti para kepala dinas, sekda dituntut untuk netral. Tapi, di sisi yang lain, mereka harus menunjukkan loyalitasnya kepada para kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Komisi II DPR Masih Kaji RUU ASN, Pastikan Pembahasan Terbuka bagi Publik
Komisi II DPR bakal segera merevisi UU ASN. UU ini terakhir direvisi pada 2023.
Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda mengatakan, pihaknya menerima perintah dari Baleg untuk membahas RUU ASN. Namun terkait pembahasannya, masih dalam pengkajian.
"Sampai dengan detik ini, RUU ASN itu sebagaimana tahapannya, kami mintakan dulu ke Badan Keahlian DPR, untuk dilakukan dua hal," kata dia kepada wartawan di Jakarta, Senin (21/4).
Dua hal mendasar yang akan dilakukan sebelum membahas RUU ASN yakni mengkaji naskah akademik dan kedua meminta masukan dari ahli hingga masyarakat.
"Satu, adanya kajian yang mendalam secara akademik, yang nanti output-nya adalah naskah akademik terkait dengan RUU ASN," kata Rifqi.
ADVERTISEMENT
"Yang kedua, kami juga meminta kepada BKD DPR untuk kemudian melakukan hearing dengan sebanyak mungkin pakar, untuk memastikan bahwa naskah akademik itu memenuhi apa yang kita sebut dengan meaningful participation," tambah dia.
Anggota Komisi II: RUU ASN Harus Strategis, Jangan Baru Setahun Langsung Revisi
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima ditemui di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (3/2/2025). Foto: Abid Raihan/kumparan
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima menilai Revisi Undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN) belum mendesak. Sebab UU ASN baru disahkan pada 2023 lalu.
“Baru setahun diimplementasikan, besok kita rapat. Kita tanyakan dari satu tahun ini sudah keluar keputusan menteri yang seperti apa, diimplementasikannya belum sudah direvisi,” kata Aria Bima saat ditemui di kompleks parlemen, Senayan, Senin (21/4).
RUU ASN masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 dan menjadi prioritas pembahasan Komisi II DPR RI tahun ini. Oleh karena itu, pembahasan RUU Pemilu, Pilkada, dan Partai Politik pun dioper ke Badan Legislasi.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, hingga saat ini DPR RI belum menerima surat dari presiden untuk memulai pembahasan RUU ASN.
Politikus PDIP itu pun mengingatkan bahwa segala perubahan terhadap UU ASN harus memiliki urgensi strategis.
Anggota DPR PDIP Kritik Wacana RUU ASN soal Presiden Bisa Mutasi Eselon II-I
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima mengatakan, pihaknya menolak terhadap wacana penarikan kewenangan pengangkatan dan pemberhentian pejabat eselon II dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat dalam revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Menurut Aria, rencana perubahan pasal dalam RUU ASN ini bisa berpotensi melemahkan semangat otonomi daerah.
“Nggak bisa ekstrem kemudian eselon tingkat I, eselon II di dinas diambil, enggak bisa. Nanti semangat otonomi daerah dan desentralisasi menjadi resentralisasi lagi. Ini kurang tepat,” kata Aria saat ditemui di kompleks parlemen, Senin (21/4).
ADVERTISEMENT
Aria juga menegaskan, pemerintah pusat tidak bisa sembarangan mengatur struktur ASN di daerah. Pemerintah pusat tetap harus menghormati sistem otonomi.
“Ya kita lihat mana yang masih ada wilayah pusat dan mana yang masih harus daerah. Ini kan meritokrasinya itu bukan kelembagaan pusat ini kan instansi daerah. Tetapi juga ada hal-hal yang selama ini tetap kita ikat. Misalnya sekjen ya, konsepsinya negara kesatuan. Tapi otonomi daerah dan desentralisasinya juga harus kita rawat,” jelasnya.
Poin yang Kontroversi: Presiden Bisa Ganti Sekda-Kadis
Presiden Prabowo Subianto (kanan) memasang tanda jabatan kepada Gubernur Papua Pegunungan John Tabo (kiri) saat pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Kamis (17/5/2025). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
Komisi II DPR RI membeberkan, mereka bakal revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) pada tahun ini. Padahal UU ini baru mengalami revisi pada 2023.
Adapun pasal yang akan direvisi hanya 1 pasal, yakni Pasal 30 UU ASN yang mengatur pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat pimpinan tinggi pratama dan madya.
ADVERTISEMENT
Dalam aturan yang berlaku saat ini, kewenangan pengelolaan ASN dibagi antara pusat dan daerah.
Presiden, selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan ASN, bisa mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).
Dalam aturan saat ini, wewenang mengangkat, memindahkan, atau memberhentikan pejabat pratama di daerah menjadi tanggung jawab gubernur atau bupati maupun wali kota daerah masing-masing. Berikut aturannya:
Pasal 30
1. Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pembinaan Manajemen ASN kepada Pejabat yang Berwenang di kementerian, sekretaris jenderal/sekretariat lembaga negara, sekretariat lembaga nonstruktural, sekretaris daerah provinsi dan kabupaten/kota.
2. Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan fungsi Manajemen ASN di Instansi Pemerintah berdasarkan Sistem Merit dan berkonsultasi dengan Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing.
ADVERTISEMENT
3. Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan rekomendasi usulan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing.
4. Pejabat yang Berwenang mengusulkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN selain:
a. pejabat pimpinan tinggi utama;
Informasi penting disajikan secara kronologis
b. pejabat pimpinan tinggi madya; dan
c. pejabat fungsional tertinggi,
kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing.
5. Pejabat yang Berwenang wajib melaksanakan Sistem Merit dalam pelaksanaan kewenangannya.
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai Pejabat yang Berwenang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Presiden Bisa Angkat dan Berhentikan Pimpinan Tinggi Pratama hingga Madya
Namun, lewat revisi yang tengah disiapkan, kewenangan ini akan ditarik ke tangan Presiden secara penuh.
Dengan begitu, pejabat pimpinan tinggi pratama di daerah dan madya di pusat atau provinsi seperti kepala dinas dan sekretaris daerah hanya bisa diangkat, dipindahkan, atau diberhentikan atas keputusan presiden bukan lagi oleh kepala daerah atau pejabat pembina kepegawaian lainnya.
ADVERTISEMENT
Model ini akan menyeragamkan proses manajemen ASN secara nasional, namun juga memotong peran otonomi daerah dalam mengelola SDM birokrasi di tiap-tiap daerah.
Wacana revisi UU ASN ini diungkap oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse. Bahkan UU ASN ini masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2025 untuk segera dibahas.
“Ini informasi saja, kita di Komisi II tidak sedang menyiapkan perubahan UU Pemilu, mohon maaf ini ya, karena komisi II tahun ini, prolegnas tahun ini diminta mengubah UU ASN,” kata Arse saat menghadiri acara Tasyakuran HUT ke-17 Bawaslu di kantor Bawaslu, Jakarta, Selasa (15/4).