Melihat Sejarah Dikeluarkannya TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967

10 November 2022 20:51 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemimpin Partai Nasional Indonesia, Sukarno, berpidato di depan rapat umum 200.000 orang di Makassar. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Pemimpin Partai Nasional Indonesia, Sukarno, berpidato di depan rapat umum 200.000 orang di Makassar. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) meminta pemerintahan Indonesia untuk meminta maaf kepada Presiden pertama RI, Sukarno beserta keluarganya atas tuduhan tidak setia terhadap NKRI dan bersekutu dengan PKI.
ADVERTISEMENT
Sebab, akibat tuduhan itu, Bung Karno kian mendapat perlakuan tidak adil di penghujung hidupnya. Ketua DPP PDIP, Ahmad Basarah menyebutkan tuduhan soal pengkhianatan itu ada di dalam TAP MPRS XXXIII/1967 yang sudah tidak berlaku dengan terbitnya Ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2003.
Mengapa TAP MPRS XXXIII/1967 berisi soal tuduhan pengkhianatan Sukarno? Bagaimana sejarah ini bisa terjadi?

Masa Kepemimpinan Sukarno yang Panjang

Sehari pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 silam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan UUD 1945 RI serta memilih presiden dan wakil presiden. Sejak hari itu juga, Sukarno pun resmi menjadi presiden yang memimpin kekuasaan eksekutif RI dan menjalankan roda pemerintahan.
Masa jabatan presiden kala itu pun diatur dalam Pasal 7 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa ‘Presiden RI memegang masa jabatan selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.
ADVERTISEMENT
Saat pemilihan presiden kembali dilaksanakan pada 16 Desember 1949, Sukarno menjadi calon tunggal lagi seperti pemilihan sebelumnya. Pemilihan tersebut dilakukan secara aklamasi dan dalam UUD RIS tahun 1949 itu (Indonesia masih dalam bentuk serikat), masa jabatan presiden tidak diatur dalam UU tersebut.
Suasana Konferensi Meja Bundar Indonesia-Belanda di Den Haag, 2 November 1949. Foto: Wikimedia Commons
Sukarno kembali menduduki jabatan presiden saat UUDS 1950 diterapkan dan lagi UUDS 1950 juga tidak mengatur soal lamanya masa jabatan presiden kala itu. Sukarno pun disebut tidak perlu melepaskan jabatan sampai konstituante membentuk UUD yang tetap dan dilakukan pemilihan Presiden (baru).
Namun, hingga berakhirnya masa berlaku UU 1950, UU yang dimaksud itu tidak kunjung terbentuk. Pada akhirnya UU tersebut masih berlaku hingga tahun 1959. Hingga Juli tahun 1959, UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali. Secara otomatis, ketentuan soal peralihan presiden kembali mengikuti aturan UUD 1945.
Presiden Indonesia Sukarno (kiri) sedang berbicara dengan Jenderal Suharto setelah sesi pembubaran komando Malaysia, 24 Agustus 1966, di Jakarta. Foto: PANASIA-FILES / AFP
Dalam UUD 1945, presiden dan wakil presiden disebut dipilih oleh MPR. Namun, saat itu, justru MPR belum terbentuk. Untuk mengisi kekosongan jabatan, diberlakukanlah Pasal II Peraturan Peralihan Presiden yang menyebutkan “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
ADVERTISEMENT
Dengan berlakunya UUD 1945 artinya segala peraturan yang berjalan kian kembali ke UU tersebut. Namun, dalam praktik kenegaraan kala itu terjadi penyimpangan. Salah satunya adalah dikeluarkannya TAP MPRS No. III/ MPRS/1963 yang berisikan tentang pengangkatan Sukarno menjadi presiden seumur hidup.

G30S/PKI dan Kemunculan TAP MPRS 33 Tahun 1967

G30S/PKI muncul sebagai bagian dari sejarah peralihan presiden di Indonesia. Gerakan yang terjadi pada 30 September 1965 ini dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Gerakan ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Sutopo, Komandan Batalyon I resimen Cakrabirawa yang merupakan pasukan pengawal presiden.
Petugas membersihkan patung peristiwa G30S/PKI di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA FOTO
Pada 1 Oktober dini hari, gerakan ini melakukan penculikan dan pembantaian terhadap perwira Angkatan Darat (AD) di Lubang Buaya. Akibat aksi ini, kondisi Indonesia kala itu menjadi tidak kondusif dan saling curiga.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi kondisi itu, Sukarno pun meminta Jenderal Mayor Soeharto untuk bertanggung dalam memulihkan dan mengamankan keadaan seperti sedia kala dan mengangkat Soeharto menjadi Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad).
Peranan Soeharto kian menguat pascadilaksanakannya Sidang Paripurna Kabinet Dwikora pada 06 Oktober 1965 di Bogor yang ditetapkan oleh kebijaksanaan Presiden Sukarno untuk mengenai penyelesaian G30S/PKI. Dalam sidang tersebut, Soeharto ditunjuk sebagai penyelesaian aspek militer teknis masalah keamanan dan ketertiban.
Markas besar PKI yang dibakar di Jakarta pada 8 Oktober 1965. Foto: AFP
Akibat gerakan G30S/PKI, keadaan Indonesia saat itu menjadi amburadul. Ekonomi kian semakin sulit dan masyarakat pun mulai membentuk gerakan untuk menuntut keadilan atas kemunculan gerakan G30S/PKI. Hingga, pada 10 Januari 1966, tercetuslah tiga tuntutan rakyat yang dikenal dengan "TRITURA". Dalam tuntutan itu, rakyat meminta untuk pembubaran PKI, pembersihan kabinet dari unsur G30S/PKI dan perbaikan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Tuntutan dan aksi-aksi rakyat kala itu pun semakin tak terbendung. Untuk mengatasinya, Sukarno melakukan perubahan terhadap Kabinet Dwikora yang diubah menjadi 100 menteri. Hal itu justru semakin mengundang amarah rakyat, sebab dalam kabinet itu justru dicurigai ada tokoh-tokoh yang berperan dalam gerakan G30S/PKI.
Kondisi kala itu kian semakin tak terkendali, kesehatan Sukarno juga menurun. Sukarno pun mengeluarkan “Surat Perintah 11 Maret” yang dikenal dengan Supersemar. Dalam perintah itu, Soeharto ditugaskan atas nama presiden dan diminta untuk mengambil beberapa tindakan untuk keberlangsungan pemerintahan Indonesia.
Jenderal Soeharto yang baru saja diangkat menjadi Presiden Indonesia oleh Jenderal Nasution (Presiden Kongres Rakyat), di Jakarta 19 Maret 1967. Foto: AFP
Kemunculan surat perintah itu ternyata disambut baik oleh rakyat, sebab Soeharto dinilai mampu mengembalikan ketertiban dan keamanan pascamunculnya G30S/PKI. Hingga pada 20 Juni 1966, MPRS mengadakan sidang umum. Salah satu hasil sidang tersebut adalah TAP MPRS No. IX/MPRS/1966 yang mengukuhkan Supersemar. Itu artinya kekuasaan Soeharto mempunyai landasan kuat untuk melakukan aktivitas kenegaraan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, berdasarkan keputusan MPRS No. V/MPRS/1966 Presiden diminta agar melengkapi laporan pertanggungjawaban mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa G-30 S/PKI. Namun, kala itu Soekarno sempat alpa dalam memenuhi ketentuan konstitusional.
Hingga, DPR GR menganggap tindakan Soekarno ini justru membahayakan negara. Pada tanggal 9 Februari 1967, DPR GR mengusulkan MPRS mengadakan sidang istimewa untuk memberhentikan Presiden Sukarno dan memerintahkan kepada Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengusutan, pemeriksaan dan penuntutan secara hukum.
Presiden Indonesia Sukarno (kiri) sedang berbicara dengan Jenderal Suharto setelah sesi pembubaran komando Malaysia, 24 Agustus 1966, di Jakarta. Foto: PANASIA-FILES / AFP
Melihat keadaan yang semakin tidak terkendali, pada 22 Februari 1967, Sukarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pengemban Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 yaitu Jendral Soeharto.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan yang dilakukan Sukarno kala itu didasari dengan TAP MPRS No. XV/MPRS/1966 yang menyebutkan bahwa apabila presiden berhalangan, maka pemegang Supersemar yang akan memegang jabatan presiden. Kemudian, secara konstitusional pada tanggal 7 sampai dengan 12 Maret 1967, MPRS kembali mengadakan Sidang Istimewa.
ADVERTISEMENT
Pada sidang dan dikeluarkanlah Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 yang menyatakan bahwa Sukarno tidak dapat bertanggung jawab secara konstitusional dan melarang Sukarno untuk melakukan kegiatan politik hingga pemilihan umum. Lewat ketetapan MPRS itu, secara resmi berakhir pula kekuasaan Presiden Soekarno masa itu dan digantikan oleh Soeharto.
Dalam perjalanannya, terbit Ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2003 yang menyatakan bahwa TAP MPRS Nomor 33/MPRS/1967 sebagai kelompok ketetapan MPRS yang dinyatakan tidak berlaku lagi dan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut karena bersifat final telah dicabut maupun telah dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, pada tahun 2012, Presiden kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menganugerakan gelar pahlawan nasional.
Penganugerahan ini berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomon 83/TK/TAHUN 2012 tanggal 7 November 2012 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden RI pertama alm. Dr. (H.C.) Ir. Soekarno, dan Keputusan Presiden RI Nomor 84/TK/TAHUN 2012 tanggal 7 November kepada Wakil Presiden RI pertama alm. Dr. (H.C) Drs. Mohammad Hatta.
ADVERTISEMENT
Penghargaan kepada Soekarno diterima Guntur Soekarno Putra, sementara untuk Mohammad Hatta diterima Meutia Hatta.\
Reporter: Tri Vosa Ginting