Melihat Sejarah Keberadaan Menwa di Kampus-kampus Indonesia

27 Oktober 2021 14:18 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Resimen Mahasiswa (Menwa). Foto: Instagram/@menwaindonesia
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Resimen Mahasiswa (Menwa). Foto: Instagram/@menwaindonesia
ADVERTISEMENT
Nama Resimen Mahasiswa atau yang dikenal sebagai Menwa tengah menjadi buah bibir masyarakat. Itu karena, seorang mahasiswa UNS bernama Gilang Endi Saputra meninggal dunia saat mengikuti kegiatan diklat menwa di kampusnya.
ADVERTISEMENT
Menurut keterangan panitia penyelenggara, Gilang meninggal dunia pada Minggu (24/10) malam atau hari kedua diklat. Versi panitia, Gilang meninggal tepat ketika tiba di rumah sakit.
Panitia menyebut Gilang meninggal akibat sakit pada punggungnya. Panitia menduga sakit punggung itu diderita almarhum usai mengikuti kegiatan rappeling yang merupakan salah satu rangkaian kegiatan di hari kedua diklat.
Meski begitu, hasil dari autopsi yang dilakukan Polda Jateng justru menemukan adanya tanda-tanda kekerasan yang berpotensi menjadi penyebab kematian Gilang.
Universitas Sebelas Maret Foto: Dok. Facebook UNS
Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol M Iqbal Alqudusy (26/10), menjelaskan bahwa kematian Gilang diduga akibat pukulan pada kepala yang sebabkan penyumbatan pada bagian otak.
Buntut dari peristiwa itu pun akhirnya berujung pada pembekuan yang dilakukan UNS kepada Resimen Mahasiswa kampus tersebut.
ADVERTISEMENT
Lantas, apa sebetulnya Menwa itu?

Tempatnya Pemuda Patriotik

Ilustrasi Resimen Mahasiswa. Foto: Dok. menwa.org
Berdasarkan tulisan berjudul Resimen Mahasiswa Sebagai Komponen Cadangan Pertahanan 1963-2000: Pembentukan Resimen Mahasiswa Mahawarman karya Raditya Christian Kusumabarata (2011), awal Menwa terjadi saat Indonesia tengah menunjukkan taring ke pihak luar yang mengusiknya.
Raditya mencatat, situasi itu tepatnya terjadi ketika muncul Trikora pada 19 Desember 1961. Trikora sendiri merupakan seruan yang dilakukan Presiden Sukarno untuk merebut Irian Barat (Papua) dari Belanda.
Peristiwa itu kemudian melahirkan konsep pertahanan sipil (Hansip) yang membuat Indonesia mampu memobilisasikan kekuatan nonmiliter demi kepentingan militer.
Kala itu, Pangdam VI Siliwangi Kolonel R.A. Kosasih melihat perlu adanya upaya untuk membekali para kekuatan nonmiliter di daerahnya. Penguasa Perang Daerah Jawa Barat menilai supaya kekuatan sipil dengan bekal militer siap sedia ketika sewaktu-waktu perlu dimobilisasikan.
ADVERTISEMENT
Ia mengeluarkan Keputusan Penguasa Perang daerah No. Kpts 04/7/1/PPD/61 pada 10 Januari 1962 Tentang Pembentukan Resimen Serbaguna Mahasiswa/Mahasiswi.
Keputusan tersebut pun dimantapkan oleh Wakil Menteri Urusan Pertahanan/Kemanan (Wampa Hankam) dan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan pada 1963 lewat Keputusan Bersama No. M/A/20/63 tahun 1963 tentang Pelaksanaan Wajib Latih dan Pembentukan Resimen Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Keputusan Bersama itu membuat munculnya Menwa di berbagai provinsi Indonesia. Begitupun juga membuat mahasiswa/mahasiswi perguruan tinggi harus mengikuti hingga 180 jam latihan yang masuk ke dalam kurikulum selama 2 tahun. Belum lagi jumlah waktu 360 jam mata pelajaran untuk tingkat Sarjana dan jumlah waktu 480 jam mata pelajaran untuk tingkat Doktoral.
Ilustrasi Resimen Mahasiswa. Foto: Dok. menwa.org
Meski demikian, Menwa yang bermunculan tersebut baru terkoordinasi usai Menko Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution menginstruksikan radiogram No. AB/3046/64 yang buat setiap Menwa di Perguruan Tinggi di bawah setiap Komando Daerah Militer (Kodam) masing-masing. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1964
ADVERTISEMENT
Pada tahun1975, Menwa mengalami beberapa perubahan. Salah satunya yakni perubahan pihak yang memegang posisi jabatan Komandan Menwa. Sebelum 1975, Komandan Menwa dijabat oleh mahasiswa, tapi kemudian diubah menjadi dipegang oleh Perwira Menengah yang ditugaskan oleh Kodam masing-masing.
Mengutip lagi dari Raditya, selama masa-masa awal pembentukan hingga sekitar tahun 1993, dapat dikatakan sebagai periode keemasan dari Menwa. Sebab Menwa kala itu dikenal sebagai organisasi pemuda yang patriotik, pemberani, dan cinta tanah air.
Hal tersebut tergambarkan dari Menwa yang banyak terlibat dalam upaya membela dan membangun keutuhan NKRI. Mulai dari terlibat secara tak langsung pada aksi ‘Ganyang Malaysia’ di 1964, Bantu penumpasan DI/TII di Jawa Barat, ikut serta dalam pasukan perdamaian PBB kontingen Indonesia di Timur Tengah pada periode 1978-1979, dan jadi bagian dari Satuan Tugas Dharma Bakti ke Timor Timur hingga 1993. Akan tetapi, masa keemasan itu berakhir mulai pudar sejak 1994.
ADVERTISEMENT

Sempat Menjadi Perpanjangan Rezim Soeharto

Jenderal Soeharto yang baru saja diangkat menjadi Presiden Indonesia oleh Jenderal Nasution (Presiden Kongres Rakyat), di Jakarta 19 Maret 1967. Foto: AFP
Transisi masa keemasan Menwa menjadi organisasi yang akrab dengan rezim era orde baru terjadi usai Surat Keputusan Bersama 1994 Tentang Menwa Sebagai Rakyat Terlatih (Ratih) atau menjadikannya sebagai ‘UKM Khusus’.
Sebagaimana dijelaskan pada tulisan Raditya, aturan ini menegaskan bahwa suatu Menwa yang dikomandokan oleh Danmenwa atau Komandan Resimen Mahasiswa berkoordinasi langsung dengan Pangdam. Danmenwa mengomando Dansatmenwa yang merupakan mahasiswa yang berkoordinasi dengan perguruan tinggi.
Akibat aturan itu dan ditambah dengan sistem komando militer di mana komandan berhak memberikan perintah langsung pada anggotanya. Pihak perguruan tinggi kerap kali dilangkahi untuk setiap kegiatan yang melibatkan Menwa dengan Kodam.
Pandangan negatif kepada Menwa pun mulai terbentuk pasca SKB 1994 tersebut dikeluarkan. Sifat-sifat militer yang keras, kaku, intimidatif kian lekat pada tata cara berorganisasi, bahkan hingga sikap eksklusif yang dipegang anggota-anggotanya.
ADVERTISEMENT
Mengutip karya Raditya, akibat sikap mahasiswa Menwa yang eksklusif tersebut, Menwa di berbagai provinsi kerap kali terlibat aksi kekerasan dengan mahasiswa non-Menwa sepanjang 1994.
Mahasiswa berunjuk rasa terkait reformasi, di Gedung DPR RI pada Tahun 1998. Foto: Dok. Muhammad Firman Hidayatullah
Hal tersebut terus terjadi hingga memuncak pada 1997. Kala itu, Suharto kembali menang pemilu dan dunia dilanda krisis ekonomi.
Saat itu pula Menwa dinilai sebagai bentuk perpanjangan rezim Soeharto yang berkuasa berkat adanya Dwifungsi ABRI. Sebab, kala itu kemampuan berdiri di dua kaki (militer dan sipil) yang dimiliki ABRI dinilai sebagai kunci dari lamanya rezim Suharto berkuasa di Indonesia.
Seiring dengan lengsernya Suharto pada reformasi 1998, keberadaan Menwa pun kembali menuai sorotan. Kala itu, Menwa dinilai sebagai sisa-sisa dari orde baru yang harus dibersihkan.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, pada tahun 2000 pemerintah menerbitkan SKB 3 Menteri No. KB/ 14 / M/ X/ 2000, No : 6/ U/ KB/ 2000, No : 39A tahun 2000 tentang pembinaan dan pemberdayaan Resimen Mahasiswa. Dalam SKB itu, aturan dari SKB 1994 yang mengatur keberadaan Menwa di bawah pengaruh kodam dicabut.
Sejak saat itu pula, Menwa yang masih ada di universitas adalah Menwa yang telah diserahkan secara penuh pembinaannya kepada perguruan tinggi masing-masing. Posisi Menwa pun menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di tingkat universitas.
***
Jangan lewatkan informasi seputar Festival UMKM 2021 kumparan dengan mengakses laman festivalumkm.com. Di sini kamu bisa mengakses informasi terkait rangkaian kemeriahan Festival UMKM 2021 kumparan, yang tentunya berguna bagi para calon dan pelaku UMKM.
ADVERTISEMENT