Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Melihat Undang-undang Korupsi di Singapura, Lebih Baik dari Indonesia?
12 Desember 2017 10:52 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Dalam Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi 2017, Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan bahwa hingga saat ini, aturan mengenai pemberantasan korupsi masih memiliki banyak kekurangan.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, Agus pun secara terang-terangan menyebut UU Pemberantasan Korupsi yang dimiliki Indonesia sudah kuno. Pernyataannya tersebut ia sampaikan di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (11/12).
Menengok pada tetangga sebelah, Singapura, Indonesia bisa dibilang tertinggal dalam pemberantasan korupsi. Dalam Indeks Persepsi Korupsi dunia yang diprakarsasi oleh Transparency International tahun 2016, Singapura menempati urutan ke-7 sebagai negara dengan tingkat korupsi terendah sedunia. Indonesia sendiri hanya mampu berada di urutan ke-90 dari 176 negara.
Jika dibandingkan dengan Indonesia, Singapura memiliki payung hukum mengenai pemberantasan korupsi yang memang bisa dibilang lebih baik. Salah satu indikatornya adalah, Singapura mampu menangani kasus korupsi maupun gratifikasi yang terjadi pada sektor swasta. Sesuatu yang belum dapat dijamah oleh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dari segi payung hukum, Singapura memiliki UU antikorupsi utama yang dikenal sebagai The Prevention of Corruption Act (PCA). UU tersebut menjadi dasar bagi keberadaan lembaga antikorupsi di sana, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
Menariknya, kehadiran CPIB jauh lebih awal jika dibandingkan dengan peraturannya, PCA. Kala itu, CPIB pertama kali dirikan pada tahun 1952 oleh pemerintahan kolonial Inggris.
Sementara itu, PCA baru diundangkan pada tanggal 17 Juni 1960 oleh Menteri Dalam Negeri, Ong Pang Boon. Adapun alasan di balik didirikannya CPIB maupun diundangkannya PCA, dipicu oleh maraknya penyelundupan di kalangan bea cukai sejak tahun 1950.
Namun tak hanya PCA, Singapura juga memiliki The Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes (Confiscation of Benefits) Act, Cap 65A (CDSA). CDSA diundangkan pada tahun 1999.
ADVERTISEMENT
CDSA sendiri merupakan pelengkap bagi PCA untuk mengatur mengenai hukuman pencucian uang dan sogokan. Tidak hanya itu, CDSA juga mengatur penyitaan aset dari para koruptor.
Di bawah ini merupakan beberapa kelebihan dari UU antikorupsi Singapura, bila dibandingkan dengan UU antikorupsi di Indonesia. Apa saja?
1.Wewenang Penangkapan
Salah satu kewenangan CPIB adalah menangkap dan menahan seseorang yang diduga melakukan tindakan korupsi, tanpa perlu adanya surat perintah penangkapan. Kewenangan tersebut diatur dalam pasal 15 Prevention of Corruption Act (PCA).
Sementara di Indonesia, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tak pernah secara spesifik mengatur hal itu. Biasanya, KPK justru selalu membuat surat perintah penangkapan ketika hendak menangkap seseorang. Itu dilakukan dengan merujuk pada Pasal 21 Ayat 2 KUHAP.
ADVERTISEMENT
2. Wewenang Investigasi
Tidak seperti lembaga antikorupsi pada umumnya, CPIB memiliki wewenang lebih untuk mengurus segala kasus hukum, bahkan di luar kasus korupsi. Misal dalam kasus penyalahgunaan wewenang.
Wewenang ini diatur secara gamblang pada pasal 19 PCA, disebutkan bahwa Jaksa Penuntut Umum dapat memerintahkan Direktur atau penyidik khusus CPIB untuk melaksanakan kewenangan penyelidikan kepolisian, sesuai KUHAP yang berlaku di sana. .
Sementara di Indonesia, KPK hanya menjadi lembaga yang mengurus masalah korupsi pada lingkup penyelanggara negara. Pun beberapa kasus korupsi yang ditangani KPK, tak jarang menjadi polemik karena beririsan dengan apa yang ditangani Polri dan Kejaksaan.
3. Wewenang Membuka Data Nasabah
Sebagai sebuah lembaga antikorupsi, CPIB memiliki wewenang yang besar untuk membuka data mengenai rekening nasabah di bank manapun secara langsung.
ADVERTISEMENT
Sederhananya, segala transaksi keuangan yang ada pada bank, berapapun nominalnya, dapat dijadikan referensi bagi CPIB untuk mengusut kasus korupsi.
Pada pasal 21 (f) PCA, disebutkan bahwa manajer suatu bank dapat dimintai salinan rekening tersangka, pasangan, atau bahkan anaknya yang ada di bank.
Sementara di Indonesia, KPK juga memiliki wewenang seperti itu. Namun, KPK tak bisa membuka data secara langsung. KPK harus berkoordinasi kepada BI terlebih dahulu untuk melakukannya.
Koordinasi tersebut tertuang dalam nota kesepemahaman 8\/1\/BI\/DHK\/NK dan No 031\/KPK-BI\/XII\/2006 tentang Kerjasama dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Mengusut Kasus Korupsi Sektor Swasta
Harus diakui, wewenang KPK hanya pada pengusutan korupsi, termasuk gratifikasi yang dilakukan oleh para penyelenggaran negara.
ADVERTISEMENT
Pada kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara, KPK hanya mampu menangani kasus di atas Rp 1 Miliar. Sementara pada kasus gratifikasi, KPK mampu menanganinya tanpa ada nominal minimal.
Sementara itu, di Singapura, CPIB justru diberi kewenangan untuk mengatasi kasus korupsi, termasuk gratifikasi di sektor swasta.
Data yang dirilis di laman CPIB , menunjukkan, dari tahun ke tahun, korupsi di Singapura didominasi oleh sektor swasta. Pada tahun 2014, ada 148 pekerja swasta (88%) yang diadili karena melakukan tindak korupsi. Sementara di sektor publik, terdapat 20 PNS (12%) yang diadili.
Angka ini terus turun ke tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2015, ada 109 pekerja swasta (91%) dan 11 PNS (9%) yang terlibat korupsi. Sementara di tahun 2016, angka itu turun menjadi 96 pekerja swasta (96%) dan 4 PNS (4%) yang diadili.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Yang jelas, ketiadaaan wewenang seperti Singapura menjadi satu masalah tersendiri. KPK tak dapat berbuat banyak tanpa ada satu peraturan yang mumpuni.
Tidak mengherankan jika pada akhirnya, Ketua KPK Agus Rahardjo menyebut UU Pemberantasan Korupsi di Indonesia tergolong kuno. Kuno karena tak dapat berbuat banyak seperti Singapura.