Memahami Hukum Peradilan Adat di Aceh

9 Agustus 2018 15:44 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perluasan Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh. (Foto: ANTARA/Ampelsa)
zoom-in-whitePerbesar
Perluasan Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh. (Foto: ANTARA/Ampelsa)
ADVERTISEMENT
Hukum peradilan adat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sejatinya telah lahir sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam. Pada masa itu, setiap warga yang berkonflik baik di rumah tangga maupun lingkungan masyarakat akan diselesaikan oleh pemangku adat yang disebut dengan Tuha Peut dan Tuha Lapan.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalan waktu, saat Aceh dirundung konflik hampir selama 30 tahun, hukum peradilan adat ini kemudian tenggelam. Para pemangku adat saat itu banyak yang tidak berani melakukan peradilan adat lantaran situasi keamanan tidak kondusif.
Kepala Bidang Hukum Adat Majelis Adat Aceh (MAA) Abdurrahman mengatakan, hukum peradilan adat sebenarnya telah menjadi budaya di tengah masyarakat Aceh sejak dulu. Jika terjadi pertikaian mulai antarmasyarakat hingga lingkungan keluarga, akan diselesaikan terlebih dahulu di tingkat desa (gampong).
“Setiap ada sengketa konflik di tingkat desa, pemangku adat seperti Tuha Peut, Tuha Lapan, dan kepala desa akan melakukan penyelesaian dengan hukum peradilan adat,” ujar Abdurrahman saat ditemui kumparan di Banda Aceh, Kamis (9/8).
Meski demikian, masyarakat Aceh saat ini banyak yang belum memahami hukum adat itu sendiri. Seperti halnya menghukum seseorang dengan memandikan air kotor. Fenomena tersebut kian marak terjadi di tengah masyarakat Aceh.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menerima gelar kehormatan adat Aceh Sri Lilawangsa dari lembaga adat Wali Nanggroe Aceh. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menerima gelar kehormatan adat Aceh Sri Lilawangsa dari lembaga adat Wali Nanggroe Aceh. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Abdurrahman menilai, semestinya massa tidak diperbolehkan main hakim sendiri lantar itu bukanlah hukum adat.
ADVERTISEMENT
“Peradilan hukum adat memiliki proses yang ditangani oleh pemangku adat, bukan asal memandikan air comberan. Itu bukan hukum adat. Kalau memang mereka dianggap bersalah, maka diselesaikan secara adat," ujarnya.
“Kendala lain yang dihadapi saat ini adalah kesiapan perangkat adat di tingkat desa, terutama sumber daya manusia (SDM). Pemangku adat banyak yang muda-muda sehingga masih minim pengalaman,” tambahnya.
Abdurrahman menjelaskan, setelah penandatanganan MoU Helsinki di Finlandia tanggal 15 Agustus 2005, hukum adat ini kemudian mulai direvitalisasi kembali model penyelesaiannya. Pemerintah melahirkan qanun (aturan hukum) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Hukum Adat. Peradilan adat yang sempat hilang kemudian diberlakukan kembali.
Tak hanya itu, hukum adat ini kemudian juga diperkuat dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 60 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Sengketa di Gampong.
ADVERTISEMENT
“Dengan adanya Pergub, maka sudah diatur secara spesifik tata cara pelaksanaannya. Ini dilakukan untuk menjaga ketertiban, keamanan, keharmonisan hidup masyarakat di tingkat gampong," kata Abdurrahman.
Setelah penetapan itu, sekitar 15 tahun terakhir hukum adat di Aceh sudah mulai muncul kembali dan diterapkan di gampong-gompong sebagai model penyelesaian perselisihan melalui perangkat adat.
"Sekarang sudah menjadi instrumen adat dan itu dikuatkan oleh regulasi Aceh menjadi pranata yang kemudian bangkit kembali dan dikembangkan," ungkap Abdurrahman.
Eksekusi Hukuman Cambuk di Aceh (Foto: Irwansyah Putra/Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Eksekusi Hukuman Cambuk di Aceh (Foto: Irwansyah Putra/Antara)
Surat Keputusan Bersama
Agar peradilan adat tidak berbenturan dengan penegak hukum serta menghindari kesalahpamahan dalam penerapannya, Pemerintah Aceh kemudian membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Gubernur Aceh, MAA dan pihak kepolisian.
“Surat keputusan ini bertujuan agar terciptanya koordinasi antara pemerintah, MAA, dan kepolisian dalam hal penegakan hukum di tingkat desa. Jika ada masalah di tingkat desa yang dilaporkan ke polisi, maka kepolisian harus mengembalikan terlebih dahulu ke perangkat desa," kata Abdurrahman.
ADVERTISEMENT
Usai lahirnya regulasi hukum adat di Aceh, banyak kasus perselisihan dan sengketa di tingkat desa bisa diselesaikan tanpa harus ke ranah hukum positif. Penyelesaian-penyelesaian melalui peradilan adat, sudah menjadi model saat ini dan dianggap cukup efektif.
"Banyak kasus yang bisa diselesaikan di tingkat gampong. Cuma banyak kasus yang diselesaikan itu tidak dicatat,” kata Abdurrahman.
Melalui momentum Pekan Kebudayaan Aceh yang berlangsung pada 5-15 Agustus 2018, Adurrahman berharap peradilan adat ini lebih masif, serta masyarakat bisa memahami hukum adat itu sendiri.
“Perselisihan di tingkat desa bisa diselesaikan dengan baik, sehingga tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, dan menciptakan ketertiban dan keamanan yang baik,” tuturnya.
Sejumlah peserta mewakili Kabupaten/kota di Aceh mengikuti perlombaan Boh Gaca (mengukir inai) dalam rangka Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII di Museum Aceh, Kamis (9/8). (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah peserta mewakili Kabupaten/kota di Aceh mengikuti perlombaan Boh Gaca (mengukir inai) dalam rangka Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII di Museum Aceh, Kamis (9/8). (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
17 Perkara yang Ditangani Hukum Adat
ADVERTISEMENT
Dalam Bab IV Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat disebutkan penyelesaian sengketa atau perselisihan yang ditangani oleh perangkat adat sebanyak 17 perkara.
Penyelesaian itu diselesaikan secara bertahap. Aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa atau perselisihan itu diselesaikan terlebih dahulu secara adat di desa (gampong).
Penyelesaian Sengketa/Perselisihan di Tingkat Desa yang bisa diselesaikan dengan hukum adat antara lain:
1.Perselisihan dalam rumah tangga.
2. Sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh.
3. Perselisihan antarwarga.
4. Khalwat (mesum);
5. Perselisihan tentang hak milik.
6. Pencurian dalam keluarga (pencurian ringan).
7. Perselisihan harta sehareukat.
8. Pencurian ringan.
9. Pencurian ternak peliharaan
10. Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
ADVERTISEMENT
11. Persengketaan di laut
12. Persengketaan di pasar
13. Penganiayaan ringan
14. Pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat)
15. Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik.
16. Pencemaran lingkungan (skala ringan)
17. Ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman) dan perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.