Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Memahami Isu RUU Pemilu dengan Sederhana
18 Januari 2017 17:06 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
ADVERTISEMENT
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu sedang dibahas DPR dan pemerintah. Banyak isu penting di RUU yang ditargetkan selesai pada Mei 2017 itu, karena RUU akan menjadi landasan untuk pemilu serentak 2019.
ADVERTISEMENT
RUU Pemilu menggabungkan 3 undang-undang, yaitu UU tentang Pemilu Legislatif, UU tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan UU tentang Penyelenggara Pemilu. (UU tentang Pilkada tidak termasuk).
Ketiga UU itu digabungkan karena Pemilu 2019 nanti akan digelar serentak dalam satu hari, yaitu untuk memilih calon anggota legislatif dan calon presiden-wakil presiden.
Jadi akan ada 5 surat suara yang harus dicoblos untuk memilih:
1. Presiden dan wakil presiden
2. Calon anggota DPR
3. Calon anggota DPD
4. Calon anggota DPRD Provinsi
5. Calon anggota DPRD kabupaten/kota
Perdebatan di RUU Pemilu
Ada tiga perdebatan dalam pembahasan RUU Pemilu, yaitu:
1. Parliamentary Threshold (PT)
Yaitu jumlah suara yang harus dipenuhi partai politik di pileg untuk bisa masuk ke parlemen. Ketentuan di RUU pemilu, partai politik harus mendapatkan minimal 3,5 persen suara dari total suara sah secara nasional dalam Pileg untuk masuk DPR.
ADVERTISEMENT
Pada pemilu legislatif 2014, jumlah suara sah secara nasional ada 124.972.491 suara, yang dikumpulkan 12 partai politik. Tapi hanya 10 partai yang memenuhi minimal 3,5 persen suara lalu masuk ke DPR. Sisanya, gagal duduk di Senayan.
Nah, di RUU Pemilu, partai besar ingin syaratnya tetap 3,5 persen, bahkan dinaikkan hingga 5 persen agar jumlah parpol di DPR sedikit. Tapi partai kecil dan baru, minta syaratnya lebih mudah bahkan dibuat 0 persen agar mereka bisa masuk parlemen dan menentukan perolehan kursi anggota DPR.
2. Presidential Threshold (PT)
Yaitu batas minimal perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik untuk bisa mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. Dalam RUU Pemilu, ketentuannya masih sama dengan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Partai politik atau gabungan partai politik harus mempunyai kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR, atau 25 persen dari suara sah nasional. Jumlah kursi di DPR saat ini 560 dengan 10 partai politik.
PDIP dan Golkar ingin syaratnya tetap seperti usul pemerintah, namun Gerindra minta syaratnya dihapus. Begitu juga keinginan partai kecil, jadi semua parpol bisa mengusung capres-cawapres.
Sebetulnya, karena pemungutan suara pileg dan pilpres digelar dalam hari yang sama, maka presidential threshold otomatis tidak dibutuhkan. Parpol-parpol yang ingin ada presidential threshold, mengajukan data perolehan suara parpolnya menggunakan hasil Pileg 2014.
Sementara itu, pegiat pemilu mengusulkan presidential threshlod dihapuskan karena Pileg dan Pilpres serentak. Namun mereka menginginkan maksimal koalisi untuk Pilpres adalah 40 persen parpol peserta pemilu, agar tak ada calon tunggal.
ADVERTISEMENT
3. Sistem pemilu legislatif
Ini yang sering disebut sebagai sistem pemilu. Pada pemilu legislatif (pileg) 2014, sistemnya disebut proporsional daftar terbuka. Pemilih bisa mencoblos parpol atau nama caleg, lengkap dengan daftar calegnya. Caleg dengan suara terbanyak berdasarkan sistem perhitungan UU, otomatis dia yang duduk di parlemen.
Tapi pada pileg 2019, pemerintah dalam RUU pemilu mengusulkan sistemnya jadi proporsional terbuka terbatas alias tertutup.
Artinya, kita hanya boleh mencoblos pada nomor atau logo partai. Daftar caleg tetap tertera di surat suara, tapi hanya untuk diketahui. Anggota DPR yang duduk di parlemen akan ditentukan oleh parpol masing-masing, bukan pemilih.
Bagaimana menurutmu?