Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Memahami Polemik Penggusuran di Cluster Bekasi meski Warga Ber-SHM
4 Februari 2025 8:46 WIB
·
waktu baca 7 menitADVERTISEMENT
Kasus warga Tambun Selatan, Bekasi, yang digusur rumahnya meski punya SHM masih terus bergulir. Ini semakin menambah panjang daftar sengketa lahan yang terjadi saat ini.
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, siap menerima penjelasan warga yang rumahnya digusur. Dia sudah mendapat informasi, ada perwakilan warga yang akan datang untuk meminta dicarikan solusi atas permasalahan ini.
"Katanya mau audiensi ke Komisi II. Kita tunggu untuk nantinya kita respons dengan memanggil kelompok-kelompok yang cukup banyak juga, seperti kasus di Bekasi, ada beberapa kasus yang nanti akan kita undang di dalam RDPU,” ucapnya di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (3/2).
“Kasus-kasus seperti di Bekasi, di Lampung masih akan ada juga, akan kita undang di dalam RDPU. Cukup banyak. Tapi kasus di Bekasi ini sudah terekspos ke publik, maka kita nunggu suratnya, dan kemarin orang yang ada di sana sudah kontak ke saya, saya minta segera kirim surat ke Komisi II untuk kita undang,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Aria mengatakan audiensi akan dilaksanakan pada minggu depan. Namun, bersama kasus-kasus sengketa tanah lainnya.
“Saya sudah informasikan kepada key person yang mengkomunikasikan saya untuk segera kirim surat minggu ini. Minggu depan bisa kita undang. Dengan beberapa kasus yang sama ya, karena tadi saya katakan setelah kasus pengkavlingan tanah laut ini yang ada di Bekasi maupun di Jakarta, sekarang surat-surat mengenai kasus-kasus tanah ini cukup banyak,” tuturnya.
“Dan kita akan undang secara periodik di Komisi II, saya kira itu,” sambungnya.
Bagaimana Kronologi Kasusnya?
Berikut kronologi kasusnya berdasarkan informasi dari dokumen pengadilan dan penuturan Abdul Bari, salah satu pembeli tanah ber-SHM.
1976
Luas lahan ini 3,6 hektare, letaknya di Desa Jati Mulya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
ADVERTISEMENT
Pemilik pertamanya adalah Djudju Saribanon Dolly dengan nomor SHM 325.
Terjadilah ini:
Tanggal 25 Juli 1976:
ADVERTISEMENT
Tahun 1991
Djudju membuat laporan polisi di Polda Metro Jaya. Kasusnya, penggelapan SHM nomor 325.
Terjadi juga sejumlah transaksi atas tanah itu:
Tahun 1996
ADVERTISEMENT
Tahun 1997
Terbit Putusan PN Bekasi Nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS, tanggal 25 Maret 1997.
Tahun 2002
18 Desember 2024
Warga menerima surat pemberitahuan eksekusi.
30 Januari 2025
Eksekusi berlangsung.
DPR Minta Pemerintah Usut
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, meminta pemerintah usut dugaan mafia tanah di peristiwa itu.
ADVERTISEMENT
“Harus (diusut) lah. Harus lah. Jangankan masalah seperti itu ya, yang rumah per rumah tergusur atau apa pun juga bentuknya terambil. Saya pikir tetap harus kita masukan (dalam pembahasan Komisi II dan pemerintah),” ujarnya di gedung Parlemen, Jakarta pada Senin (3/2).
Dede mengatakan, kasus ini sudah dibahas di internal Komisi II DPR. Tak cuma itu, Dede juga sudah berbicara dengan Kementerian ATR/BPN untuk menangani masalah ini.
“Saya lihat videonya. Sudah monitor dan tadi saya sudah masukan isu itu ke, kan kita punya pot untuk menampung isu-isu masyarakat. Nanti itu dibahas bersama dengan stafsus menteri ATR, sehingga nanti tidak harus semuanya dibawa ke dalam rapat. Tadi sudah saya masukan, mudah-mudahan nanti di-follow up sama ATR,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Tanggapan BPN Kabupaten Bekasi
Kepala Kantor ATR/BPN Kabupaten Bekasi, Darman Simanjuntak, menyebut perkara rumah warga cluster Setia Mekar 2 yang digusur oleh juru sita pengadilan bukan ranahnya.
Darman menyampaikan bahwa permasalahan ini merupakan perkara perdata antara kedua belah pihak. Sehingga, itu masuk ke ranahnya pengadilan.
"Ini makanya murni keperdataan bukan masalah administrasi tata usaha negara. Ini murni keperdataan sengketa kepemilikan tanah yang mana ada dua pihak mengeklaim punya AJB," kata Darman kepada kumparan, Senin (3/2).
"Karena ini murni keperdataan, BPN kan administrasi. Sampai sekarang tidak ada ke BPN permintaan data apa pun. Jadi ini saya simpulkan murni keperdataan yang sudah ditangani pengadilan dan harus kembali ke pengadilan," tambahnya.
Darman menerangkan bahwa permasalahan ini karena adanya SHM yang dipecah dan menimbulkan polemik kepemilikan.
ADVERTISEMENT
"Jadi ini belum ranah BPN dan kebetulan pun data bukan berarti tidak ada di sini tumpang tindih. Karena sertifikat ya memang awalnya 325 dipecah kemudian sebagian dari pecahan itu jadi HGB (Hak Guna Bangunan) karena ada pembuatan cluster," lanjutnya.
Penjelasan BPN Kab Bekasi soal Eksekusi
Kepala Kantor ATR/BPN Kabupaten Bekasi, Darman Simanjuntak, menjelaskan, eksekusi ini dilakukan karena pihaknya mendapat informasi adanya gugatan pada tahun 1996 dengan nomor SHM 325.
"Kalau BPN itu mengetahui setelah masalah eksekusi. Sehingga kita telusuri ada apa. Ditemukan lah data ternyata memang ada gugatan dulunya. Kalau kita lihat dari data itu kan proses pengadilan itu tahun 1996 terkait dengan kepemilikan sertifikat hak milik nomor 325 luasnya 36.030 meter," jelas Darman, Senin (3/2).
ADVERTISEMENT
Awalnya, tanah dengan nomor SHM 325 itu dimiliki oleh Djudju Saribanon Dolly. Kemudian, tanah itu dijual kepada Kayat pada tahun 1982.
"Karena desanya berubah, awalnya Desa Jati Mulya tuh, ada pemekaran jadi Satya Mekar. Sertifikat 325 tadi dipecah tuh tahun 1995 menjadi 4 sertifikat," terangnya.
Dari empat sertifikat itu, kata Darman, ada dua sertifikat yang dijual Kayat kepada Tunggul Paraloan Siagian.
"Cluster itu kan masuk dalam luas tanah yang 3.290 tuh. Oleh Tunggul kan mungkin dibikin cluster. Karena perumahan harus HGB jadi HGB-lah dia HGB 8360. Kemudian dijual-jual-lah ke konsumen," ujarnya.
Sebelum dibeli oleh Kayat pada tahun 1982 itu, ternyata tanah tersebut memiliki AJB (Akta Jual Beli) atas nama Abdul Hamid pada tahun 1976.
ADVERTISEMENT
Nah, oleh ahli waris Abdul Hamid yakni Mimi Jamilah, tanah tersebut digugat ke pengadilan pada tahun 1996. Gugatan Mimi tersebut dikabulkan oleh pengadilan dan meminta mengeksekusi rumah warga cluster tersebut.
"Padahal sertifikat itu setelah dibeli oleh Kayat kan sudah dipecah tuh. Ahli warisnya Abdul Hamid ini nggak terima kalau sertifikat itu punyanya Kayat yang sudah dijual-jual. Dia maunya kan tahun 1976 harusnya milik dia," katanya.
Disorot Ombudsman
Kasus ini juga disoroti oleh Ombudsman RI. Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika turut prihatin atas persoalan yang dihadapi oleh sejumlah warga di cluster tersebut. Ia juga menyayangkan bahwa SHM yang dimiliki warga justru tak diakui.
"Komentar saya prihatin aja. Berarti kalau begitu negara sudah tidak mengakui produk legal yang dikeluarkan oleh negara," kata Yeka kepada wartawan di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Senin (3/2).
ADVERTISEMENT
Yeka juga menilai ada kejanggalan dalam persoalan kepemilikan lahan di cluster Setia Mekar Residence 2 tersebut.
"Ini suatu keanehan, ya, yang sebetulnya perlu ditata kelola terkait hal ini, perlu dibenahi gitu, ya. Kasihan masyarakat," ucap dia.
ADVERTISEMENT