Memahami TAP MPRS 33 dan Usul PDIP Negara Minta Maaf ke Sukarno

10 November 2022 7:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemimpin Partai Nasional Indonesia, Sukarno, berpidato di depan rapat umum 200.000 orang di Makassar. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Pemimpin Partai Nasional Indonesia, Sukarno, berpidato di depan rapat umum 200.000 orang di Makassar. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) meminta pemerintah untuk segera meminta maaf kepada Presiden pertama RI, Ir. Sukarno atas tuduhan tidak setia dalam NKRI dan bersekutu dengan PKI.
ADVERTISEMENT
Tuduhan ini disebut tertulis dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) Nomor 33 Tahun 1967 tentang pencabutan kekuasaan Sukarno atas pemerintahan negara.
Lalu apa isi dari TAP MPRS yang dituding melakukan upaya memperkecil peranan Bung Karno dalam pemerintahan Indonesia?
Pasal (1)
Menyatakan, bahwa Presiden Sukarno telah tidak dapat memenuhi pertanggungan-jawab konstitusional , sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal (2)
Menyatakan bahwa Presiden Sukarno telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
ADVERTISEMENT
Pasal (3)
Melarang Presiden Sukarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya Ketetapan ini menarik kembali mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dari Presiden Sukarno serta segala Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal (4)
Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) No. XV/MPRS/1966, dan mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.
Pasal (5)
Pejabat Presiden tunduk dan bertanggung-jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara).
Pasal (6)
Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden.
ADVERTISEMENT
Jika menelisik isi dari TAP MPRS 33 Tahun 1967, tidak disebutkan secara eksplisit bahwa pencabutan kekuasaan itu dilakukan karena Sukarno terlibat dengan PKI. Hal ini masih berupa dugaan.
TAP MPRS ini dikeluarkan agar Pejabat Presiden Suharto melakukan penyelidikan atas dugaan pengkhianatan Sukarno. Meski pada akhirnya penyelidikan ini tidak pernah selesai karena Sukarno wafat 3 tahun setelah TAP MPRS ini diterbitkan.
Hal ini juga disampaikan oleh sejarawan sekaligus akademisi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI, Abdurakhman. Ia justru mempertanyakan bagian mana dalam TAP MPRS tersebut yang mengatakan Bung Karno berkhianat.
"Teksnya yang mana yang mengatakan bahwa Bung Karno itu pengkhianat. Orang enggak ada yang nyebut Bung Karno pengkhianat. Enggak ada, kan, yang nyebut Bung Karno pengkhianat?" kata Abdurakhman kepada kumparan, Rabu (9/11).
ADVERTISEMENT

Pembelaan Jokowi Untuk Bung Karno

Presiden Jokowi menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada lima tokoh dari berbagai daerah di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (7/11/2022). Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden
Dalam pidatonya Senin (7/11) kemarin, Presiden Joko Widodo menyebutkan TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967 tidak relevan. Sebab, Bung Karno merupakan salah satu sosok penting dalam kemerdekaan Indonesia.
Sukarno sendiri memiliki gelar pahlawan nasional bagi proklamator kemerdekaan yang secara resmi diberikan oleh pemerintah negara 1986 silam.
Pada 2012 lalu, SBY selaku Presiden yang saat itu menjabat, juga menganugerahkan Bung Karno gelar pahlawan nasional.
Dengan Begitu Jokowi berpendapat, kedua hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk membuktikan Sukarno tak pernah mengkhianati bangsa.
"Artinya, Ir. Sukarno telah dinyatakan memenuhi syarat setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara yang merupakan syarat penganugerahan gelar kepahlawanan," ucap Jokowi dalam pidatonya.

Desakan PDI-P Agar Negara Minta Maaf

Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah di Penjara Banceuy. Foto: PDIP
TAP MPRS ini sebenarnya sudah dinyatakan tidak lagi berlaku semenjak dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor 1 /MPR/2003 Pasal 6 Ayat 26 yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang disebutkan di bawah ini merupakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.
Namun Ketua DPP PDI-P Ahmad Basarah menilai hal ini tidaklah cukup. Pemerintah harus meminta maaf kepada presiden pertama Republik Indonesia beserta keluarganya.
“Maka seyogyanya negara melalui pemerintah Republik Indonesia menyampaikan permohonan maaf kepada Bung Karno dan keluarga, serta bangsa Indonesia atas perlakuan yang tidak adil yang pernah dialami seorang Proklamator Bangsa, seorang pendiri bangsa," kata Basarah di Bandung, Jawa Barat, Selasa (8/11).
ADVERTISEMENT
Basarah menilai, permintaan maaf ini penting mengingat perlakuan tidak adil yang diberikan pemerintah Indonesia di sisa akhir kehidupan Bung Karno.
Perlakuan ini didorong oleh tuduhan tidak mendasar yang mengatakan Bung Karno terlibat dalam peristiwa berdarah G30S/PKI. Padahal menurut Basarah, tuduhan ini sama sekali tidak pernah terbukti.
“Maka permohonan maaf dari negara melalui pemerintah kepada Bung Karno dan keluarga adalah bagian dari tanggungjawab moral berbangsa dan bernegara kita,” lanjut Wakil Ketua MPR RI itu.
Dengan begitu, Basarah menilai, nama baik Bung Karno dan keluarga yang sempat tercoreng bisa kembali pulih, begitupun dengan sejarah yang dianggapnya keliru.