Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Tes poligraf ternyata turut dipakai dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua . Setidaknya lima terdakwa pembunuhan tersebut menjalani tes tersebut.
ADVERTISEMENT
Poligraf merupakan mesin yang merekam perubahan fisiologis seseorang. Apabila terindikasi berbohong, maka detak jantungnya akan meningkat, tekanan darahnya akan naik, dan ritme pernapasannya akan lebih cepat.
Hasilnya, ada yang terindikasi jujur dan terindikasi bohong. Bentuknya ialah angka dengan keterangan plus atau minus.
Lantas, bagaimana sebetulnya arti skoring dalam poligraf? Serta bagaimana tahapan dalam tes tersebut?
Berdasarkan jurnal Jentera Volume 3 Nomor 1 (2020), teknik pemeriksaan poligraf secara umum akan melewati empat tahap sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Pre-Interview
Pemeriksa poligraf menggali informasi dari sudut pandang orang yang diperiksa tanpa alat poligraf
Stimulasi
Bertujuan meyakinkan orang yang diperiksa bahwa poligraf akurat mendeteksi kebohongan (melalui kartu atau desain ruangan).
Pertanyaan
Ada tiga tipe pertanyaan: pertanyaan irelevan (tidak relevan) dengan kejahatan, pertanyaan kontrol (pertanyaan yang menimbulkan reaksi, tidak terkait kejahatan), pertanyaan yang relevan dengan kejahatan.
Hasil
Tersaji dalam bentuk grafik dan interpretasi terhadap hasil dilakukan oleh pemeriksa poligraf, hingga akhirnya diperoleh kesimpulan seseorang terindikasi berbohong atau tidak.
Kaur Bidang Komputer Forensik Puslabfor Polri yang juga ahli poligraf, Aji Febriyanto Ar-rosyid, sempat menjelaskan bahwa pada tahap pelaksanaan tes, terperiksa yang dipasangi alat-alat berupa sensor-sensor. Mulai dari sensor pernapasan dada, sensor pernapasan perut, sensor elektro denma, dan sensor radio vaskular. Kemudian diberikan pertanyaan.
Pertanyan dalam Poligraf
Proses pemeriksaan poligraf dikenal dengan istilah teknik relevant-irrelevant. Teknik ini dikembangkan oleh John Larson pada 1932 berdasarkan temuan William Moulton Marston pada 1917.
ADVERTISEMENT
John Larson merupakan polisi di Barkeley, California, Amerika Serikat. Ia mengembangkan sebuah instrumen untuk mendeteksi kebohongan yang kemudian diberi nama sphygmomanometer. Selama 15 tahun ke depan, temuan itu ia gunakan untuk memecahkan ratusan kasus pembunuhan, pencurian, hingga kejahatan seksual. Teknik yang dikembangkan Larson itu pun terus dipakai hingga saat ini.
Dalam tekniknya itu, Larson membagi pertanyaan ke terdakwa sebagai berikut:
Pertanyaan irelevan
Pertanyaan ini tidak relevan dengan kejahatan yang dilakukan (Contoh: “Ini hari apa?”).
Pertanyaan kontrol
Pertanyaan yang menimbulkan reaksi, tetapi tidak relevan dengan kejahatan yang dilakukan (Contoh: “Pernahkah Anda membohongi anggota keluarga Anda?”).
Pertanyaan relevan
Pertanyaan yang paling menimbulkan reaksi bagi orang yang melakukan kejahatan (Contoh: "Apakah Anda berselingkuh dengan Yosua di Magelang?").
Skor
Nantinya, hal yang menjadi pertimbangan dari pemeriksa poligraf adalah perbedaan kekuatan respons fisiologis ketika seseorang menjawab masing-masing tipe pertanyaan.
ADVERTISEMENT
Terperiksa terindikasi bohong jika reaksi terhadap pertanyaan relevan lebih kuat dibandingkan dengan pertanyaan kontrol.
Kesimpulan akhir dari penilaian itu adalah skor total (+) yang terindikasi jujur. Lalu skor total (-) yang terindikasi bohong.
Kriteria penilaian dalam penelitian ini menggunakan tiga posisi scoring (3 skala). Skala 3 posisi hanya membolehkan satu dari tiga nilai untuk analisis spot: (-1), (0) atau (+1).
Skala 3 posisi menetapkan skor (-) ketika reaksi terbesar ada pada pertanyaan relevant, sedangkan skor (+) ketika reaksi terbesar ada pada pertanyaan comparison, serta skor (0) jika tidak ada perbedaan reaksi.
Ada tiga skor utama dalam tes ini, yakni:
1. Total score ≤ -4 adalah DI (Deception Indicated/bohong)
2. Total score ≥ +2 adalah NDI (No Deception Indicated/tidak bohong)
ADVERTISEMENT
3. All else is NO (No Opinion/Inconclusive/tidak dapat disimpulkan)
Kondisi di Indonesia
Indonesia belum mengatur prosedur dan standar dalam melakukan pemeriksaan poligraf. Sebagai perbandingan, negara bagian New Mexico, AS, yang juga mengakui hasil pemeriksaan poligraf sebagai bukti ilmiah di pengadilan, sudah memiliki peraturan terkait pemeriksaan poligraf, terutama terkait kualifikasi pemeriksa poligraf.
Berdasarkan Rule 11-707 New Mexico Rules of Evidence, seorang pemeriksa poligraf setidaknya memiliki kualifikasi minimum berupa minimal 5 tahun pengalaman dalam administrasi atau interpretasi ujian poligraf. Tak hanya itu, mereka juga harus berhasil menyelesaikan setidaknya 20 jam pendidikan di bidang pemeriksaan poligraf selama periode 12 bulan sebelum mengelola atau menafsirkan ujian poligraf.
Meski begitu, pengadilan di Indonesia pun pernah menjadikan hasil tes sebagai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan vonis. Ada empat kasus pidana yang menjadikan poligraf sebagai bukti sejak 2014 silam.
ADVERTISEMENT
Kasus itu adalah kasus Ziman, Neil Bantleman, Agustay Handa May, dan Margriet Christina Megawe. Mereka tersangkut kasus pemerkosaan/pencabulan dan pembunuhan.
Neil Bantleman, misalnya, merupakan terpidana kasus pelecehan seksual di Jakarta International Scholl (JIS). Warga Kanada itu terbukti menyodomi tiga anak didiknya di sekolah tersebut pada April 2014 lalu. Ia pun divonis 10 tahun penjara di PN Jakarta Selatan. Vonis itu kemudian bertambah menjadi 11 tahun di tingkat kasasi.
Dalam putusannya, hakim menggunakan hasil poligraf sebagai alat bukti surat. Agar pemeriksaan poligraf bisa diterima di pengadilan, laporan hasil pemeriksaannya pun harus dikonversi terlebih dahulu menjadi alat bukti surat melalui sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.
Kini, kasus Sambo dkk juga ternyata memakai tes poligraf tersebut. Ahli poligraf sudah diminta keterangannya di depan persidangan. Sambo menilai tes tersebut tidak dapat dijadikan bukti.
ADVERTISEMENT