Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Memandang Tari Perut: Budaya atau Erotisme?
10 Agustus 2017 17:13 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
ADVERTISEMENT
Salah satu suguhan dalam acara peluncuran buku “Bukan Ekonom Biasa: Anwar Nasution” adalah pertunjukan Tari Perut. Seorang perempuan naik ke atas panggung di tengah ruang pertemuan pada Senin (7/8). Perempuan rok panjang berwarna merah dengan perut terbuka menggoyangkan badan yang menjadi gaya khas tarian belly dance.
ADVERTISEMENT
Tontonan yang ditampilkan acara penting -yang bahkan dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono- ini direspons keras karena dianggap tidak pantas. Meski Anwar Nasution sebagai yang punya acara tidak mempermasalahkannya, publik terlanjur heboh. Stigma negatif yang menubuh di tari perut kembali dirayakan di linimasa.
Lalu, apakah tari perut benar seerotis pemikiran banyak orang?
Belly dance aslinya merupakan tarian khas perempuan Timur Tengah bernama Yaks Sharki atau Yarks Beledi yang artinya tarian rakyat. Tarian ini merupakan produk kebudayaan tertua di kawasan ini dan sudah ada sejak 1.000 tahun yang lalu.
Sejak era Mesopotamia, salah satu kerajaan tertua di dunia yang terletak di Irak, goyang pinggul dan pantat telah memiliki makna kebudayaan di masyarakat. Rakyat Mesopotamia, kemudian berlanjut di Mesir dan Persia kuno bergoyang di kuil-kuil dalam acara keagamaan. Tarian ini mampu menyintas zaman dan menjadi ciri khas masyarakat Timur Tengah dan Afrika Utara.
ADVERTISEMENT
Masuknya Islam tidak menghilangkan tari perut dan hanya menggeser persepsinya. Pemisahan batas persinggungan antara laki-laki dan perempuan menjadikan tari perut simbol kebudayaan eksklusif salah satu gender. Tari ini kemudian menjadi praktik jamak dalam pergaulan untuk merayakan kebebasan tubuhnya tanpa takut diusik laki-laki. Tari perut serta dendang menjadi semacam pesta bagi perempuan Timur Tengah masa lampau.
Semuanya berubah ketika Timur Tengah mulai diekspose oleh bangsa Barat. Gelombang kedatangan Prancis ke Aljazair dan Inggris ke Mesir pada awal tahun 1800-an memulai interaksi kebudayaan antar dua peradaban. Kebudayaan menjadi salah satu bagian dari pertemuan antar keduanya. Hingga akhirnya muncul sebutan terhadap Timur Tengah dengan segala kebudayaannya dengan penamaan The Orient.
ADVERTISEMENT
Pandangan The Orient ini memulai permasalahan yang kelak bisa menggeser jauh makna tari perut. Dimulai dari gambaran keliru kacamata dunia Barat dengan dunia Timur. Penulis dan pelukis Orientalis pada abad ke-19 menggambarkan Timur Tengah sebagai objek erotis yang begitu dieksploitasi keindahannya.
Hal ini terlihat dari penggambaran penari perempuan Timur Tengah. Seniman Orientalis menggambarkan perempuan sebagai seorang penari yang bergoyang untuk menjual kemolekan tubuh; setengah telanjang, merebahkan diri di ranjang, dan menari demi memuaskan pria berkuasa. Isu semacam ini jamak dihembuskan kepada Sultan Ottoman masa lampau.
Orang Prancis kemudiaan menyebut kebiasaan tersebut dengan nama danse du ventre yang artinya “tari perut”. Pendeskripsian yang hanya menitikberatkan bagian tubuh semata kemudian menjadi cara pandang yang keliru. Menafikkan aspek budaya lokal dengan menggesernya ke tubuh membantu melanggengkan mispersepsi.
ADVERTISEMENT
Hegemoni ini semakin kuat ketika narasi erotis tari perut masuk ke Amerika Serikat. Debutnya muncul pada Chicago World’s Fair tahun 1893 melalui sebuah panggung bernama Little Egypt menampilkan tiga orang penari perempuan.
Di acara yang sama, sebuah iklan yang muncul ikut mendukung pembentukan narasi erotis tari perut di AS. Sebuah rokok merek Omar memampang gambar seorang perempuan yang duduk di pangkuan seorang laki-laki yang tampak seperti Sultan Ottoman. Pamflet ini disebarkan masif pada Worlds Fair.
Erotisme Timur Tengah kemudian terus lahir dengan berbagai bentuk kesenian dan berkembang layaknya komoditas. Penggambaran penari Timur Tengah yang binal terus muncul mulai di lukisan Eugene Delacroix dan Jean-Leon Gerome, pertunjukan Oscar Wilde, dan Opera Richard Strauss tahun 1905, dan kegiatan seni Maud Allan, Ida Rubinstein, dan Colette di awal abad 20.
ADVERTISEMENT
Pertunjukan-pertunjukan itu ikut membentuk citra erotis tari perut di pikiran bangsa Barat. Ketika banyak imigran Timur Tengah dan Afrika Utara masuk ke AS setelah Perang Dunia ke II usai tahun 1945, budaya tari perut ikut masuk ke tenga-tengah masyarakat AS.
Sayangnya, pola pikir masyarakat AS yang masih rasis dan misoginis saat itu Menurut buku Belly Dance, Pilgrimage, and Identity yang ditulis pakar Studi Seni Tari dari York University, Barbara Sellers-Young, ruang akulturasi terjadi di restoran dan kelab malam yang menjual sensualitas Timur Tengah. Penari-penari Timur Tengah mulai bermunculan. Konsep hiburan seperti ini menjalar ke negara lain seiring Amerikanisasi kebudayaan global.
Konsep hiburan semacam ini bahkan juga merebak di rumahnya di Timur Tengah. Kelab malam di Istanbul, kedai di Maroko, dan kapal siar yang berlayar dari pesisir Mesir ke Laut Merah juga mengandalkan pertunjukan tari perut dengan konsep erotis.
ADVERTISEMENT
Sehingga, era modern masih menempatkan tari perut sebagai bentuk kebudayaan erotis semata. Langgengnya budaya pegelaran tari perut erotis serta masih kuatnya sistem patriarki yang mengesampingkan martabat perempuan ikut menopang catatan hitam tari perut.
Dalam kultur patriarki, pertunjukkan tubuh perempuan akan selalu salah, sekalipun dengan alasan kebudayaan. Di Indonesia, Tari Bali kuno yang tidak menutup bagian dada, hingga dangdut dengan goyangnya, membuat tubuh perempuan sebagai objek dan dianggap mengandung sensualitas yang menggugah nafsu lelaki.