Membaca Kemungkinan Vaksin Nusantara Berubah Fungsi Jadi Imunoterapi

20 April 2021 13:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Infografik serba-serbi vaksin Nusantara Terawan. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Infografik serba-serbi vaksin Nusantara Terawan. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah kini mulai berupaya mengembangkan vaksin COVID-19 dalam negeri dengan berbagai platform. Hal ini diharapkan dapat menjadi kesiapan Indonesia dalam memenuhi target vaksinasi 181,2 juta orang demi herd immunity.
ADVERTISEMENT
Vaksin Merah Putih besutan Kemenristek/BRIN bekerja sama dengan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, LIPI, hingga universitas negeri seperti UI dan Unair menjadi tulang punggung.
Platform yang digunakan antara lain sub-unit protein rekombinan, mRNA, dan adenovirus. Sebagai informasi, Indonesia saat ini menggunakan vaksin Sinovac dengan platform inactivated virus dan vaksin AstraZeneca dengan platform adenovirus.
Rancangan roadmap vaksin Merah Putih. Foto: Kemristek/BRIN
Sementara itu, satu lagi vaksin Nusantara diprakarsai eks Menkes dr Terawan Agus Putranto, berdasarkan hasil pengembangan di AS. Vaksin ini menggunakan pendekatan sel dendritik, yang biasa digunakan untuk terapi kanker dan belum pernah digunakan dalam pembuatan vaksin corona.
Sel dendritik adalah sel imun yang menjadi bagian dari sistem imunitas, yang biasanya berperan di berbagai penyakit infeksius, kanker, dan autoimunitas.
ADVERTISEMENT
Sel dendritik berasal dari sel punca hematopoietik CD34+ di sumsum tulang, terdiri atas kumpulan subset yang berbeda secara perkembangan dan fungsional yang mengatur fungsi sel T.
Kantor pusat AIVITA Biomedical di Irvine, California, AS, meneliti vaksin corona berbasis sel dendritik yang diberi nama AV-COVID-19. Perusahaan bioteknologi ini juga mengembangkan terapi kanker berbasis sel dendritik. Foto: aivitabiomedical.com
Vaksin Nusantara membutuhkan proses kultur/pembudidayaan hingga 7 hari. Bila riset ini rampung, nantinya satu vaksin hanya diperuntukkan pada satu orang atau bersifat personalisasi. Sehingga, vaksin ini diharapkan aman bagi orang yang memiliki penyakit penyerta (komorbid).
Penelitian berbasis sel dendritik ini berlanjut di RSPAD Gatot Soebroto, tapi bukan berlabel vaksin Nusantara. MoU pun telah ditandatangani oleh KSAD, Menkes, dan Kepala BPOM, disaksikan Menko PMK.
MoU itu bertajuk "Penelitian Berbasis Pelayanan Menggunakan Sel Dendritik untuk Meningkatkan Imunitas Terhadap Virus SARS-CoV-2".
Suasana depan RSPAD Gatot Soebroto Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Mungkinkah hasil riset itu akan menjadi imunoterapi?
ADVERTISEMENT
Imunoterapi dengan sel dendritik sebelumnya digunakan untuk mengobati kanker. Secara umum, imunoterapi dan vaksinasi memang sangat mirip, sebab pengobatan ini juga membangun kekuatan sistem kekebalan tubuh seseorang, tapi tentu ada perbedaannya.

Lantas, apa perbedaan imunoterapi dan vaksin?

Fungsi
Dikutip dari situs resmi National Cancer Institute, Selasa (20/4), imunoterapi adalah jenis pengobatan kanker yang membantu sistem kekebalan tubuh seseorang melawan kanker.
Imunoterapi adalah salah satu jenis terapi biologis, yakni jenis pengobatan yang menggunakan zat yang terbuat dari organisme hidup untuk mengobati kanker.
Sebagai bagian dari fungsi normalnya, sistem kekebalan mendeteksi dan menghancurkan sel-sel abnormal dan kemungkinan besar mencegah atau mengekang pertumbuhan banyak kanker. Misalnya, sel kekebalan terkadang ditemukan di dalam dan di sekitar tumor.
ADVERTISEMENT
Sel-sel ini, yang disebut limfosit infiltrasi tumor (TIL), adalah tanda bahwa sistem kekebalan merespons tumor. Orang yang tumornya mengandung TIL sering kali lebih baik daripada orang yang tumornya tidak mengandung TIL
Studi pengembangan vaksin COVID-19 berbasis sel dendritik. Foto: Dok. Aivita Biomedical
Dikutip dari situs Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), vaksin melatih sistem kekebalan seseorang untuk membuat antibodi, seperti halnya saat terkena penyakit.
Sementara vaksin harus mengandung bentuk virus atau bakteri tertentu yang dimatikan atau dilemahkan. Lain dengan imunoterapi, vaksin adalah obat yang sifatnya mencegah, bukan menyembuhkan.
Ada macam-macam vaksin mulai dari vaksin polio, influenza, kanker, hingga COVID-19. Vaksin dapat menjadi salah satu cara pengobatan imunoterapi. Sedangkan imunoterapi hanya berfokus pada pengobatan kanker, dan memiliki pendekatan pengobatan selain vaksin.
Pendekatan pengobatan
ADVERTISEMENT
Imunoterapi memiliki sejumlah pendekatan pengobatan, yakni:
Immune checkpoint inhibitors, yang merupakan obat yang memblokir pos pemeriksaan kekebalan. Pos pemeriksaan ini adalah bagian normal dari sistem kekebalan dan menjaga agar tanggapan kekebalan tidak terlalu kuat. Dengan memblokirnya, obat ini memungkinkan sel kekebalan merespons lebih kuat terhadap kanker.
Terapi transfer sel T, yaitu perawatan yang meningkatkan kemampuan alami sel T seseorang untuk melawan kanker. Dalam perawatan ini, sel-sel kekebalan diambil dari tumor seseorang.
Mereka yang paling aktif melawan kanker sesorang dipilih atau diubah di laboratorium untuk menyerang sel kanker dengan lebih baik, tumbuh dalam jumlah besar. Dan dimasukkan kembali ke dalam tubuh sesorang melalui jarum di pembuluh darah. Terapi transfer sel-T juga bisa disebut terapi sel adopsi, imunoterapi adopsi, atau terapi sel imun.
ADVERTISEMENT
Antibodi monoklonal, yaitu protein sistem kekebalan yang dibuat di laboratorium yang dirancang untuk mengikat target tertentu pada sel kanker. Beberapa antibodi monoklonal menandai sel kanker sehingga lebih baik dilihat dan dihancurkan oleh sistem kekebalan.
Terawan Agus Putranto saat meninjau persiapan uji klinis fase II vaksin Nusantara di RSUP dr. Kariadi Semarang. Foto: Dok. Istimewa
Sementara vaksin, yang bekerja melawan kanker dengan meningkatkan respons sistem kekebalan Anda terhadap sel kanker.
Imunoterapi non-spesifik, yang meningkatkan respons kekebalan tubuh terhadap kanker. Beberapa dari agen ini mempengaruhi bagian tertentu dari sistem kekebalan, sedangkan yang lain mempengaruhi sistem kekebalan dengan cara yang lebih umum.
Sedangkan dalam menciptakan produk vaksin, kerap digunakan platform inactivated virus, sub-unit protein rekombinan, adenovirus, sampai mRNA.
Tetapi kini ada vaksin Nusantara yang memakai pendekatan sel dendritik dalam pengembangannya. Pendekatan ini mirip atau bahkan sama dengan pendekatan terapi transfer sel T dalam imunoterapi.
Penandatangan MOU riset sel dendritik di RSPAD, bukan lanjutan vaksin Nusantara. Foto: Dok. TNI AD
Cara pengobatan
ADVERTISEMENT
Ada empat cara pengobatan dalam imunoterapi, yakni intravena (IV), oral, topical, dan intravesical:
Di sisi lain, hanya ada dua cara vaksinasi, yakni IV atau suntikan serta oral.
Masa pemberian
Seberapa sering dan berapa lama seseorang menerima imunoterapi tergantung pada jenis kanker dan stadiumnya, jenis imunoterapi yang didapatkan, dan bagaimana tubuh bereaksi terhadap pengobatan. Seseorang mungkin menjalani perawatan setiap hari, minggu, atau bulan.
Beberapa jenis imunoterapi diberikan dalam siklus, yakni masa pengobatan yang diikuti dengan masa istirahat. Sebab masa istirahat memberi tubuh kesempatan untuk pulih, merespons imunoterapi, dan membangun sel-sel baru yang sehat.
ADVERTISEMENT
Tetapi sesorang bisa saja menerima vaksin yang sama beberapa tahun kemudian apabila kekuatan antibodi terhadap suatu penyakit sudah berkurang.
Ilustrasi vaksin corona. Foto: Dado Ruvic/REUTERS
Efek samping
Imunoterapi memiliki efek samping yang ringan hingga berat. Mulai dari pembengkakan, kemerahan, gatal, ruam, demam, panas dingin, lemas, pusing, mual atau muntah, nyeri otot atau sendi, kelelahan, sakit kepala, kesulitan bernapas, tekanan darah rendah atau tinggi.
Adapun yang berat seperti pembengkakan dan penambahan berat badan karena menahan cairan, palpitasi jantung, kemacetan sinus, diare, risiko infeksi, dan peradangan organ.
Di sisi lain, efek samping vaksinasi terdiri dari reaksi lokal, seperti: nyeri, ruam di kulit, bengkak pada tempat suntikan, selulitis.
ADVERTISEMENT
Reaksi sistemik, seperti: demam, nyeri otot seluruh tubuh, nyeri sendi, badan lemah, sakit kepala.
Reaksi lain, seperti; reaksi alergi urtikaria, oedem, reaksi anafilaksis, pingsan. Tidak ada efek samping seperti penambahan berat badan dan palpitasi jantung.