Membandingkan Capaian Anies dan Ahok saat Jadi Gubernur Jakarta, Unggul Siapa?

24 Juli 2024 11:50 WIB
·
waktu baca 6 menit
Anies bertemu dengan Ahok di Balai Kota. Foto: Hafidz Mubarak A/ ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Anies bertemu dengan Ahok di Balai Kota. Foto: Hafidz Mubarak A/ ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sudah di depan mata. Dua nama terkuat yang potensial menjadi cagub Jakarta adalah Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
ADVERTISEMENT
Dua nama itu muncul di sejumlah lembaga survei. Dalam survei Litbang Kompas yang dirilis Juni 2024, misalnya, Anies meraih suara tertinggi yaitu 29,8 persen, kemudian diikuti Ahok 20 persen.
Survei Litbang Kompas tentang Pilgub Jakarta. Foto: Litbang Kompas
Litbang Kompas menyebut, baik pendukung Anies ataupun Ahok punya keinginan kuat jika kedua sosok itu kembali melanjutkan periode kepemimpinannya di Jakarta. Hal ini terbukti dari elektabilitas mereka yang tinggi.
Anies sendiri sudah mendapatkan dukungan dari NasDem dan PKS. Sedangkan Ahok masih menunggu arahan dari PDIP. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, keputusan Ahok apakah akan diusung atau tidak itu menjadi kewenangan Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
“Apakah pak Ahok akan dicalonkan sebagai cagub di DKI atau daerah lain, nanti Bu Mega yang akan mengambil keputusan,” kata Hasto usai membuka pelatihan nasional tim pemenangan nasional PDIP Pilkada 2024 di Hotel Seruni, Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/7).
Sekertaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyampaikan keterangan kepada wartawan usai membuka pelatihan nasional tim pemenangan nasional PDIP untuk Pilkada 2024 di Hotel Seruni, Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/7/2024). Foto: Luthfi Humam/kumparan
Ahok sendiri kini sudah mulai bergerilya. Ia bahkan menggelar acara "Ask Ahok Anything : Gubernur Jakarta Seharusnya Bisa Apa?"
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana capaian keduanya saat memimpin DKI Jakarta?

Realisasi Pendapatan dan Belanja APBD

Kami menelusuri dokumen realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jakarta. Sumber data realisasi APBD yang digunakan adalah yang diumumkan Kemenkeu di situs djpk.kemenkeu.go.id.
Sementara itu, angka anggaran/pagu yang digunakan sebagai pembanding adalah angka APBD Perubahan (APBD-P). Data tersebut dapat dilihat di situs apbd.jakarta.go.id.
Periode APBD Jakarta pada 2013 hingga 2014 adalah eranya Joko Widodo. Kemudian pada 2015 hingga 2017 adalah eranya Ahok. Sementara pada 2018 hingga 2022 adalah eranya Anies.
Pendapatan
Berdasarkan olah data yang kami lakukan, rata-rata persentase realisasi pendapatan DKI Jakarta di era Jokowi adalah 78,74 persen, Ahok 92,52 persen, dan Anies 91,57 persen.
Capaian realisasi pendapatan daerah dapat dilihat dalam grafik di bawah ini:
ADVERTISEMENT
Adapun besaran pagu/anggaran belanja daerah dan realisasinya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Belanja
Berdasarkan olah data yang kami lakukan, rata-rata persentase realisasi belanja DKI Jakarta di era Jokowi adalah 70,14 persen, Ahok 79,61 persen, dan Anies 84,97 persen.
Capaian realisasi belanja daerah dapat dilihat dalam grafik di bawah ini:
Kemendagri sendiri menyebut batas target minimal serapan anggaran ada di angka 35-40 persen. Serapan yang semakin besar menandakan semakin baik instansi tersebut dalam mengatur keuangan.
Adapun besaran pagu/anggaran belanja daerah dan realisasinya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Status Pengesahan APBD

Kami juga menelusuri proses penyusunan APBD Jakarta khususnya dari sisi proses pengesahan. APBD sendiri disahkan oleh DPRD dan Pemprov Jakarta. Ini berpengaruh pada efektivitas penggunaan dan kecepatan pencairan anggaran.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 312 ayat 2, dokumen pengesahan APBD paling lambat disahkan 31 Desember setiap tahunnya.
Adapun sanksi dari keterlambatan pengesahan APBD adalah tidak menerima gaji selama enam bulan. Konsekuensi mengacu pada surat edaran (SE) Kemendagri nomor 903/6865/SJ tertanggal 2 November 2014 tentang percepatan penyelesaian rancangan peraturan daerah tentang APBD tahun anggaran 2015.
Nah, berdasarkan penelusuran kumparan, Pemprov Jakarta dan DPRD DKI Jakarta telat mengesahkan APBD 2013 hingga APBD 2015. Adapun APBD 2013 dan 2014 adalah era Jokowi. Sementara APBD 2015 adalah eranya Ahok.
Berdasarkan catatan kumparan, alasan Ahok telat membahas APBD 2015 adalah karena ia ingin menyisir kembali untuk memastikan tidak ada 'anggaran siluman' yang terselip. Pernyataan itu pun memicu ketegangan Ahok dan DPRD terkait APBD sebesar Rp 73,08 triliun.
Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) menghadiri pelantilan DPRD periode 2019-2024 di Gedung DPRD DKI. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Ahok kala itu menyebut legislatif telah melebarkan anggaran sebesar 10-15 persen dengan memotong dana program-progam unggulan pemprov. Permasalahan ini nyaris membuat DPRD menggunakan hak angket untuk mencopot jabatan Ahok. Perselisihan ini selesai dengan mediasi yang digelar kemendagri.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Ahok dan DPRD DKI Jakarta akhirnya terancam tak digaji selama 6 bulan buntut SE Kemendagri nomor 903/6865/SJ. Sedianya, Jokowi juga bisa kena sanksi lantaran telat menyusun APBD, namun SE itu baru muncul pada November 2014.
Adapun di era Anies penyusunan APBD berjalan lancar. Semuanya tepat waktu.

Status WTP WDP DKI Jakarta

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) rutin mengumumkan status kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan instansi. Pemeriksaan tersebut akan menghasilkan opini yang diatur menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Terdapat empat jenis opini yang diberikan oleh BPK RI atas Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Wajar (TW), Tidak Memberikan Pendapat (TMP).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penelusuran kami, Jakarta di era Jokowi tidak pernah mendapat status WTP. Sementara status WTP baru diperoleh pada saat 2017 atau di era Ahok. Meski begitu, Ahok sebenarnya tidak tuntas menjabat sebagai gubernur karena menghadapi kasus penistaan agama.
Kala itu, Djarot Saiful Hidayat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 15 Juni hingga 15 Oktober 2017. Sebelumnya, ia sempat menjabat sebagai Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta sejak 9 Mei 2017.
Salah satu alasan pemerintahan Ahok tak pernah memperoleh WTP adalah permasalahan inventarisasi aset. Hal tersebut dijelaskan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat dan Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah. Pemerintah Jakarta mengakui bahwa mereka tidak memiliki pencatatan aset yang baik, sehingga mudah diklaim orang lain.
ADVERTISEMENT

Penilaian SAKIP DKI Jakarta

Selain penilaian BPK, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (KemenPAN-RB) mengeluarkan penilaian Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (SAKIP).
SAKIP berguna untuk melihat sistem perencanaan, sistem penganggaran dan sistem pelaporan kinerja, yang selaras dengan pelaksanaan sistem akuntabilitas keuangan. Setiap organisasi diwajibkan mencatat dan melaporkan setiap penggunaan keuangan negara yang sesuai.
Penilaian SAKIP dibagi menjadi 7 predikat dengan ketentuan sebagai berikut:
DKI Jakarta baru memperoleh predikat A (memuaskan) pada tahun 2021-2022, tahun tersebut ibu kota dipimpin Anies. Sedangkan tahun 2013-2014 atau di era Jokowi, Jakarta memperoleh predikat CC (cukup). Pada 2015, Jakarta di era Ahok juga mendapat predikat CC.
Baru pada 2016 dan 2017, Jakarta di bawah Ahok yang diteruskan Djarot mendapat predikat B. Nah, Jakarta semakin membaik di tangan Anies. Predikat Jakarta merangkak dari BB ke A.
ADVERTISEMENT

Pertumbuhan Ekonomi

Hal lain yang bisa dilihat dari kinerja gubernur di Jakarta adalah pertumbuhan ekonomi. Saat Jokowi dan Ahok menjabat sebagai gubernur, pertumbuhan ekonomi terlihat turun dibandingkan periode sebelumnya.
Sementara pada era Anies, Jakarta dihantam pandemi COVID-19 yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi jatuh ke angka -2,39 persen.