Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Membandingkan Jumlah Konflik Agraria di Era SBY dan Jokowi, Siapa Paling Banyak?
15 Januari 2024 11:16 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Nah, bicara isu agraria jelas tak akan lepas dari persoalan konflik agraria yang selalu terjadi di Tanah Air. Sejumlah konflik agraria yang menyita publik di antaranya konflik Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, serta konflik di Pulau Rempang, Kota Batam.
Sementara itu, konflik Rempang terjadi lantaran tidak adanya kepastian hukum atas tanah dalam pembangunan kawasan industri di Pulau Rempang.
Nah, sebetulnya berapa banyak kasus konflik agraria yang terjadi selama ini? Bagaimana jika datanya dibandingkan dengan era Jokowi dan SBY?
Konflik Lebih Banyak di Era Jokowi
Berdasarkan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah konflik agraria di Indonesia sepanjang 2009 hingga 2022 mencapai 4.107 kasus. Luas area konfliknya mencapai 11,8 juta hektare.
ADVERTISEMENT
KPA mencatat bahwa konflik agraria tahunan paling banyak terjadi pada era Presiden Jokowi. Pada tahun 2017, misalnya, ada 659 kasus yang mayoritasnya terkait dengan sektor perkebunan, terutama komoditas kelapa sawit.
KPA sendiri memperoleh data konflik agraria dari sejumlah sumber. Mulai dari korban yang melaporkannya KPA, pengumpulan dari berbagai daerah, investigasi di lapangam, serta pemantauan dari media.
Sepanjang 2010-2014, jumlah kasus konflik agraria di era SBY mencapai 1.308 kasus dengan luas area mencapai 5,7 juta hektare. Sementara itu, konflik agraria di era Jokowi pada 2015-2019 mencapai 2.050 kasus dengan luas area mencapai 3,7 juta hektare.
Artinya, jumlah kasus konflik agraria di era Jokowi nyaris dua kali lipat lebih banyak daripada di era SBY.
ADVERTISEMENT
Menurut KPA, penyebab konflik agraria bisa dibagi dalam beberapa sektor. Mulai dari perkebunan, infrastruktur, pertambangan, properti, kehutanan, pesisir/pulau kecil, fasilitas militer, dan pertanian.
Pada periode 2021-2022, konflik agraria yang disebabkan sektor perkebunan naik dari 74 kasus menjadi 99 kasus di tahun 2022. Sementara itu, konflik agraria karena pembangunan infrastruktur turun dari 52 kasus di 2021 menjadi 32 kasus di 2022.
Di sektor perkebunan yang jumlah kasusnya tercatat paling tinggi pada tahun 2022, setidaknya terdapat lahan yang terlibat dalam konflik yang luasnya mencapai 377.197 hektare. Angka tersebut telah berdampak bagi 141.001 masyarakat yang menjadi korban.
Sektor kedua yang menyumbang banyak korban ada pada proyek pertambangan. Dengan kasus konflik mencapai 21 kejadian, terdapat luas lahan sebesar 213.048 hektare yang berdampak setidaknya bagi 122.082 warga.
ADVERTISEMENT
Mengurai Penyebab Konflik Agraria di Indonesia
Menurut antropolog Universitas Indonesia (UI), Suraya A. Affif, Ph.D, akar masalah konflik agraria di Indonesia adalah munculnya UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Sejak UU itu muncul, kata dia, sangat sedikit masyarakat yang memiliki sertifikat tanah. Menurutnya, banyak warga di perkampungan maupun perkotaan yang tidak memiliki bukti tertulis itu.
"Di luar Jawa enggak ada yang punya [sertifikat tanah], sedikit sekali. Hampir tidak ada yang punya sertifikat. Ketika 75 persen kawasan di Indonesia diklaim oleh pemerintah dari kawasan hutan, jutaan rakyat itu tiba-tiba kehilangan hak atas tanah," jelas Suraya kepada kumparan, Kamis (11/1).
Lebih lanjut, ia menjelaskan, konflik agraria di Indonesia terjadi karena banyaknya proyek yang mengabaikan keberadaan tanah yang turun-menurun sudah diolah oleh rakyat sendiri.
ADVERTISEMENT
"Ketika ada proyek biasanya tanah itu kadang-kadang melewati kampung, melewati lahan-lahan yang sebenarnya sudah diusahakan (diolah) rakyat. Tapi karena tidak ada sertifikat, dianggap itu bukan tanah mereka. Apalagi di kawasan hutan, kawasan hutan seluruhnya tanah negara. Di IKN, misalnya dibilang tanah negara itu semuanya. Padahal ada rakyat di situ. Dianggap bukan pemilik," ujar pengajar ekologi politik tersebut.
Dari UU Pertanahan itu, kata Suraya, pemerintah mewajibkan untuk membuatkan sertifikat. Namun, biaya untuk pembuatan sertifikat tersebut tidak bisa disentuh masyarakat miskin.
"UU pertanahan mewajibkan sebenarnya pemerintah untuk membuatkan sertifikat untuk rakyat. Tapi kan tahu bahwa sertifikat itu mahal. Gimana sih orang miskin bisa punya sertifikat? Nah, lalu dibuatlah program yang namanya PRONA dulu, tapi pemerintah yang seharusnya membuat, karena apa? enggak ada duit," tegas Suraya.
Namun, Suraya juga menjelaskan bahwa konflik juga terjadi, karena adanya tumpang tindih antara klaim rakyat dengak proyek Hak Guna Usaha (HGU). Hal ini terjadi, lantaran tidak adanya upaya memperjelas kepemilikan lahan.
ADVERTISEMENT
"Tata ruang ditetapkan tanpa kemudian ada usaha untuk memperjelas kepemilikan lahan. Kalau itu tanah rakyat, ketika pemerintah masuk, itu dianggap semuanya tanah negara. Karena memang begitu, tidak ada upaya untuk meng-clear-kan ini dulu punya siapa yang garap siapa. Tidak ada usaha seperti itu. Nah, makanya kita lihat kenapa konflik meningkat terus. Karena tidak ada usaha serius untuk memperjelas kepemilikan rakyat. " kata Suraya.
Selain itu, kata dia, penyebab klaim atas tanah yang tumpang tindih kerap terjadi. Menurutnya, ini terjadi lantaran tiap sektoral memiliki peta konsensinya sendiri. Konflik agraria pun tak terjadi hanya pada masyarakat saja, tetapi juga antar perusahaan dan instansi pemerintah.
"Harusnya sementara konsesi itu kan tidak semuanya dibuat oleh KLHK ya, dibuat oleh ESDM, dibuat oleh BPN yang mungkin untuk proyek-proyek mereka. Nah itu yang enggak ada proses yang namanya penyelesaian konflik di tingkat lintas sektoral. Harusnya ada kelembagaan penyelesaian konflik. Konflik tidak hanya dengan rakyat ya, tetapi dengan antara perusahaan. Nah itu masif sebenarnya," sambungnya.
ADVERTISEMENT