Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Membandingkan Kunjungan Jokowi dan Soeharto ke Negara Konflik
30 Januari 2018 16:03 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
ADVERTISEMENT
Lawatan Presiden Joko Widodo ke sejumlah negara di Asia selatan kali ini banyak menghadirkan cerita menarik. Salah satunya adalah kunjungan Jokowi ke Afghanistan yang terlaksana pada Senin (29/1).
ADVERTISEMENT
Dua hari menjelang kedatangan Jokowi, Afghanistan diguncang oleh teror bom di Ibu Kota Kabul. Tidak main-main karena sekitar 103 orang dinyatakan tewas dalam teror ini. Hal ini tentunya sempat menimbulkan kekhawatiran mengenai keselamatan Presiden beserta rombongan.
Namun, kunjungan ke negara yang tengah dilanda konflik bukanlah yang pertama kali dilakukan oleh Presiden Indonesia. Pada Maret 1995, Presiden Soeharto, memilih untuk tetap mengunjungi Bosnia yang tengah dilanda konflik mencekam dengan Serbia.
Sebagai pengingat, kumparan (kumparan.com) membandingkan kunjungan Jokowi ke Afghanistan dengan lawatan Soeharto ke Bosnia.
Jokowi ke Afghanistan
Latar belakang kondisi negara :
Sejak tahun 2001, konflik berkepanjangan terjadi di Afghanistan. Dimulai sejak militan Taliban menguasai pemerintahan sampai kini berada di luar pemerintahan, ratusan ribu nyawa telah menjadi korban konflik berdarah ini.
ADVERTISEMENT
Taliban merupakan kelompok yang dibentuk pada September 1994. Taliban pada periode 1996-2001 berhasil menguasai pemerintahan Afghanistan. Namun pemerintahan Taliban digulingkan oleh Amerika Serikat karena dituding terlibat dalam serangan 9 September 2001.
Tujuan :
Kunjungan Jokowi ke Afghanistan termasuk dalam rangkaian lawatannya ke sejumlah negara di Asia selatan yang dimulai pada Kamis (25/1). Afghanistan menjadi negara terakhir yang dikunjungi dalam rangkaian tersebut. Sebelumnya Jokowi mengunjungi Sri Lanka, India, Pakistan, dan Bangladesh.
Lawatan tersebut sebagai sebagai kunjungan balasan atas kunjungan Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, ke Indonesia pada April 2017 lalu. Dalam pertemuan kali ini, persoalan pembangunan kembali perdamaian jadi pokok pembahasan keduanya.
Selain ingin meningkatkan perdamaian, Indonesia juga bersiap untuk membantu Afghanistan membangun infrastruktur dan pendidikan di negara tersebut. Jokowi juga kembali menyampaikan komitmen Indonesia untuk membangun kompleks Indonesia Islamic Center di Kabul.
ADVERTISEMENT
Hari kunjungan:
Jokowi tiba di Kabul, Afghanistan pada Senin (29/1). Ia disambut oleh Ashraf Ghani di tengah guyuran hujan salju. Situasi mencekam tengah melanda Afghanistan jelang kedatangan Jokowi.
Sejak Sabtu (20/1) hingga Sabtu (27/1) rentetan teror terjadi di Kabul. Serangan di hotel dan ledakan bom menewaskan lebih dari 100 orang. Maka tak heran bila keselamatan Presiden dan rombongan begitu dikhawatirkan ketika akan mengunjungi Afghanistan.
Fasilitas rompi peluru disiapkan sebagai pelindung. Namun, Jokowi memutuskan untuk tidak menggunakannya sehingga para menteri yang turut serta dalam rombongan tidak ada yang mengenakan rompi tersebut.
Menurut Jokowi, pengamanan terhadapnya sudah memadai sehingga tidak perlu mengenakan rompi antipeluru.
Soeharto ke Bosnia
Latar belakang negara :
ADVERTISEMENT
Keadaan Bosnia begitu mencekam antara tahun 1992-1995. Konflik bersenjata antara Bosnia-Serbia ini berujung pada genosida etnis yang dikenal dengan peristiwa Srebrenica. Kala itu pada Juli 1995, sekitar 8 ribu orang dari etnis Muslim Bosnia dibantai di sekitar Kota Srebrenica, Bosnia.
Tujuan :
Ketika perang Bosnia berlangsung, Presiden Soeharto tengah menjabat sebagai Sekjen Gerakan Non-Blok (GNB) periode 1992-1995. Untuk itu lawatan Soeharto ke Bosnia tidak lepas dari misi perdamaian. Sebelum terbang ke Bosnia, Soeharto juga mengadakan pertemuan dengan Presiden Kroasia, Franjo Tudjman, di Zagreb, Kroasia.
Dalam catatan Linda Djalil, seorang wartawan senior, Soeharto mengatakan bahwa keinginannya untuk berangkat ke Bosnia adalah sebuah panggilan sebagai negara sahabat yang ikut serta memikirkan konflik secara aktif.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia berniat untuk menjadi fasilitator dalam kemelut yang melanda Bosnia-Serbia. Oleh karena itu, Presiden Soeharto bersikeras untuk mengunjungi Kroasia dan Bosnia.
Menurut Soeharto, Indonesia lebih memilih menjadi fasilitator ketimbang mediator. Mediator menurutnya tidak mampu dan tidak ada ambisi untuk mencapai tujuan perdamaian.
Hari kunjungan
Presiden Soeharto beserta rombongan antara lain Menteri luar negeri Ali Alatas dan Menteri Sekretaris Negara terbang menuju Bosnia pada 13 Maret 1995. Dua hari sebelumnya, tersiar berita sebuah pesawat yang ditumpangi utusan PBB, Yasushi Akashi, ditembaki saat terbang ke Bosnia.
Meski dilanda kekhawatiran, Soeharto tetap bersikeras berangkat menuju Bosnia. Hanya, PBB memberikan sebuah syarat yaitu sebuah surat. Surat itu berisi kesepakatan bahwa PBB tidak akan bertanggung jawab apabila terjadi suatu hal kepada Soeharto dan rombongan. Soeharto pun memilih untuk menandatangani surat tersebut.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Buku 'Pak Harto The Untold Stories', Komandan Grup A Paspampres, Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin yang ikut serta dalam penerbangan ke Bosnia itu mengatakan, Soeharto enggan mengenakan rompi antipeluru mesti keadaan Bosnia tengah mencekam.
Soeharto lebih memilih untuk mengenakan jas dan kopiah hitam. Sjafrie pun akhirnya tidak mengenakan rompi tersebut dan sama seperti Soeharto, ia juga mengenakan kopiah hitam.
"Ini dilakukan untuk menghindari sniper mengenali sasaran utamanya dengan mudah," ujar Sjafrie seperti dikutip dari buku 'Pak Harto The Untold Stories'.
Sjafrie berkisah, keadaan di bandara di Sarajevo, Bosnia saat itu begitu mencekam. Ia melihat senjata 12,7 mm yang biasa digunakan untuk menjatuhkan pesawat terus mengikuti rombongannya.
Ketika itu bandara dikuasai oleh dua pihak, yakni pihak militer Serbia yang menguasai landasan dari ujung ke ujung, sementara wilayah kiri dan kanan landasan dikuasai Bosnia.
ADVERTISEMENT