
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Menteri Karding tak bosan-bosan menyuarakan pesan kepada pekerja migran Indonesia (PMI) dalam berbagai kesempatan: jangan berangkat ke Kamboja dan Myanmar secara ilegal.
Pesan itu disuarakan karena kian marak kasus PMI menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), terjebak bekerja sebagai scammer hingga operator judi online. Bahkan ada yang pulang ke Indonesia dengan kondisi tak bernyawa.
Setidaknya belakangan ini ada tiga kasus PMI yang meninggal dunia setelah berangkat ke Kamboja dengan iming-iming pekerjaan. Mereka adalah Rizal Sampurna asal Banyuwangi, Iwan Sahab dan Soleh Darmawan yang sama-sama asal Bekasi.
Mereka memutuskan merantau ke Kamboja dengan harapan bisa memperbaiki nasib namun justru berujung tragis. Niat bekerja malah meninggal di negeri orang.
Tragedi demi tragedi seolah tak menjadi pelajaran. Masih banyak PMI yang tidak jera mencari jalan bekerja di Kamboja. Pada sidak di Pelabuhan Internasional Batam Center, Kamis siang (24/4), Karding menemukan empat orang yang diduga hendak ke luar negeri untuk bekerja secara ilegal.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pemeriksaan petugas Imigrasi, keberangkatan mereka tidak sesuai dengan tujuan wisata yang mereka sampaikan. Mereka berdalih akan pergi ke Singapura, Malaysia, dan Korea dengan alasan untuk menjenguk saudara lalu berlibur.
Pelabuhan Internasional Batam Center disebut menjadi salah satu jalur favorit bagi pekerja migran ilegal, terutama yang berasal dari Aceh, NTB, hingga Lampung. "Artinya Batam ini jadi jalur yang sangat strategis untuk pengiriman ilegal," kata Karding.
Tantangan yang dihadapi di lapangan cukup pelik. Data yang disampaikan Karding menunjukkan, ada sekitar 80 ribu WNI yang bekerja secara ilegal di Kamboja. Mereka tersebar di sektor-sektor rentan, mulai dari operator judi online hingga pelaku penipuan daring (scammer).
Seluruh WNI tersebut berstatus nonprosedural, lantaran Indonesia hingga kini tidak menjalin kerja sama resmi terkait penempatan tenaga kerja dengan Kamboja. "Ilegal semua karena kita nggak punya kerja sama penempatan dengan mereka."
Data Kedutaan Besar Indonesia untuk Kamboja juga menunjukkan fakta yang sama. Kasus WNI bermasalah meningkat hingga 60 kali lipat, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir sejak 2020 hingga 2024.
ADVERTISEMENT
Lonjakan tajam terlihat dari 56 kasus pada 2020 menjadi 3.310 kasus pada 2024. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, 75% kasus ini terkait WNI yang terjebak dalam pekerjaan online scam. Ini jelas perlu diwaspadai.
Pada 2024, Duta Besar RI untuk Kamboja Santo Darmosumarto berkata, pihaknya sudah menangani 92 kasus kematian WNI, meningkat 24,3 persen dari tahun 2023. Jika dibandingkan dengan tahun 2020, hanya terdapat 1 kematian WNI sepanjang tahun itu.
Peningkatan kasus kematian ini beriringan dengan melonjaknya jumlah WNI yang bermukim di Kamboja yang kini diperkirakan mencapai sekitar 130 ribu orang. Kondisi ini terjadi ketika pandemi COVID-19 melanda Indonesia dan membuat ruang gerak masyarakat terbatas.
Pada tahun 2020 itu, Migrant Care juga kebanjiran aduan kasus PMI yang menjadi korban TPPO di Kamboja.
“Sebenarnya kasus scammer maupun judi online itu sudah kita sampaikan ketika kita mendapatkan pengaduan saat pandemi. Pandemi itu sudah mulai ada kasus-kasus tersebut,” ujar Koordinator Divisi Bantuan Hukum Migrant Care, Nur Harsono saat ditemui kumparan.
ADVERTISEMENT
Migrant Care mencatat kenaikan kasus terjadi selama pandemi virus corona berlangsung, dari tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan ini sejalan dengan temuan Migrant Care soal banyak perusahaan judi online ilegal di Indonesia yang dipindahkan ke negara-negara ASEAN, terutama Kamboja dan Myanmar, setelah Indonesia memperketat penindakan.
Bersamaan dengan perpindahan itu, kebutuhan tenaga kerja dan perekrutan terus berlangsung secara ilegal. Staf Divisi Bantuan Hukum, Yusuf Ardabili, menjelaskan pada awal Juli 2022, pihaknya menerima 6 pengaduan, dan melonjak menjadi lebih dari 100 pengaduan pada Agustus 2022.
“Sebenarnya ini bisa jadi bom waktu ketika itu tidak serius untuk ditangani oleh pemerintah,” kata Yusuf.
Jerat Modus Perdagangan Orang
Dirjen Pelindungan Kementerian P2MI Rinardi menyatakan, tawaran kerja di Myanmar dan Kamboja dengan nominal gaji besar aktif diunggah melalui media sosial. Salah satu iming-iming yang ditawarkan adalah keluarga yang ditinggalkan akan ditransfer uang setiap bulannya.
ADVERTISEMENT
Penawaran bekerja di Kamboja, Myanmar hingga Thailand disebut Rinardi banyak berseliweran di Instagram, Tiktok, hingga Facebook.
Menurutnya, tawaran tersebut sangat menggiurkan bagi sebagian masyarakat Indonesia, terlebih mereka yang tak mau repot mencari pekerjaan. Padahal, kata Rinardi, konten di media sosial juga banyak yang menceritakan kisah kelam bekerja di luar negeri yang seharusnya diantisipasi.
“Buka 10 detik saja video [TPPO di medsos], itu akan muncul tuh, puluhan video yang sama, akan banyak tuh minta tolong lah, disiksa lah, disetrum, dan lain-lain macam. Nah itulah yang terjadi pada masyarakat kita yang notabene kalau ke Kamboja dan Myanmar,” tutur Rinardi.
Setelah berhasil menjaring calon pekerja, kebanyakan dari mereka berangkat ke Kamboja dengan alasan berwisata. Karena Indonesia tidak memiliki perjanjian kerja sama resmi dengan Kamboja dan Myanmar terkait penempatan pekerja migran, alasan sebagai wisatawan dinilai paling masuk akal.
ADVERTISEMENT
Mereka hanya membutuhkan paspor tanpa visa kerja. “Mereka waktu berangkat dari Soekarno Hatta, dari Batam, atau dari mana yang ada penerbangan atau perjalanan internasionalnya ke Malaysia, ke Thailand, mereka ngakunya cuma mau melancong, cuma mengandalkan paspor,” kata Rinardi.
Modus berwisata disebut menjadi cara yang paling mulus meloloskan diri dari imigrasi. Rinadi mengatakan PMI yang hendak berangkat ke Kamboja sudah mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, mulai dari bukti tiket PP Indonesia-Thailand hingga tempat penginapan. Namun, bukti yang dipegang sebenarnya adalah palsu.
Mereka biasanya memesan tiket dan hotel melalui pemesanan online, dibayar, dikonfirmasi kemudian di-screenshot sebagai bukti. Ketika sudah mendapatkan bukti, pemesan itu dibatalkan.
Rinardi menuturkan modus ini menjadi jurus jitu mengelabui pihak imigrasi. “Kadangkala juga tiketnya itu fake. Cuma satu kali jalan. [Padahal] yang diminta oleh petugas itu tiket pulang perginya.”
Sesampainya di bandara, para PMI diarahkan untuk berkumpul di satu titik, bertemu perantara kerja yang menjemput. Kemudian mereka dipaksa untuk diselundupkan masuk ke Kamboja oleh para sindikat. Pada saat itu, mayoritas PMI tidak menolak karena dikira akan diantar ke tempat bekerja.
ADVERTISEMENT
Ternyata, para PMI dikirim dan dipekerjakan di perusahaan judi online dan scamming. Rinaldi menjelaskan, “Mereka dipaksa untuk menipu orang lain, mayoritas orang Indonesia, yang kerjanya menggunakan komputer, kemudian ada saluran teleponnya. Mereka itu menawarkan sesuatu, misalnya kalau kita sering menerima file APK, file undangan.”
Ketika sudah terjebak dalam pekerjaan ilegal di Thailand dan Kamboja, PMI akan sulit kembali ke Indonesia. Beberapa cara yang bisa ditempuh untuk lolos—selain kabur—yakni dengan membayar uang jaminan atau mencari ‘tebusan’ dengan menjebak orang baru sebagai pengganti.
Inilah salah satu alasan yang membuat rantai perdagangan orang ke Kamboja tak pernah terputus. Sebab, PMI saling mengorbankan orang lain, bahkan keluarganya sendiri.
“Mereka itu boleh keluar dari perusahaan itu kalau mereka itu membayar tebusan atau dia bawa orang lain, sekitar lima orang. Nah, lima orang itu dicari dengan iming-iming, misalnya di TikTok itu, siapa bilang Kamboja itu serem, Kamboja itu bagus, silakan datang sini DM saya,” kata Rinardi.
ADVERTISEMENT
Adapun nominal uang tebusan lolos dari jeratan pekerjaan ilegal ini mencapai puluhan juta rupiah. Berdasarkan pengalaman Migrant Care dalam membantu penyelamatan PMI, korban harus membayar minimal Rp 25 juta kepada perusahaan tempatnya bekerja.
Nur mengatakan adanya uang tebusan tak menjadi garansi PMI dapat bebas dengan leluasa. Menurut Nur, kondisi pekerja migran saat ini lebih sulit ketimbang kasus yang pernah dibantu Migrant Care. Sering terjadi kebocoran informasi ketika PMI hendak melapor ke KBRI.
“Jadi ketika mengadukan ke Kemlu ke KBRI. Habis itu KBRI ke kepolisian. Nah ternyata itu bocor datanya itu. Benar-benar diketahui oleh perusahaan bahwa bocor,” tutur Nur.
Warga Desa Jadi Sasaran
ADVERTISEMENT
Pola rekrutmen berbasis personal trust atau kepercayaan antar individu dinilai menjadi faktor utama yang membuat masyarakat bersedia menjadi PMI ilegal. Menurut Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Derajad Sulistyo, warga desa adalah sasaran paling empuk dalam menjalankan pola tersebut.
ADVERTISEMENT
“Namanya saja sudah kelihatan: Tukimin, Tukijo. Kalau dari ribut-ribut di sosial media, itu kelihatan sekali, kalau mereka adalah orang-orang pedesaan. Orang-orang pedesaan yang mengadu nasib,” ujar Derajad.
Derajad mengatakan sebagian besar korban memiliki karakteristik: berasal dari daerah pedesaan seperti Banyuwangi hingga Cilacap, lulusan SMP atau SMA, dan latar belakang ekonomi terbatas. Kepercayaan terhadap tawaran lisan terjadi karena minimnya akses informasi di desa.
Karena perekrutan bergerak dari mulut ke mulut, dari satu teman ke teman lainnya, membentuk jaringan informal yang sulit dilacak. Para korban pun tak mencari tahu terlebih dahulu bagaimana kerja di Kamboja dan jenis pekerjaan apa yang ditawarkan itu.
“Itu menunjukkan bahwa tradisi kita ini tradisi lisan. Untuk belajar tentang HP baru kita, kita ini butuh diceritain orang lain yang memiliki HP. Nah itulah personal trust,” kata Derajad.
ADVERTISEMENT
Alih-alih percaya dengan jalur resmi yang disediakan pemerintah, Derajad berpandangan masyarakat desa, biasanya lebih percaya dengan ajakan teman atau kenalan. “Itu kan menunjukkan bahwa yang mereka percayai bukan sistem negara,” kata dia.
Hal senada juga diutarakan Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS) yang berpandangan bekerja di luar negeri dianggap masyarakat, terutama di pedesaan, sebagai jalan pintas di tengah sulitnya mencari pekerjaan di dalam negeri.
Nailul mengatakan fenomena ini berakar dari ketimpangan antara penawaran kerja dan kebutuhan ekonomi masyarakat. Di daerah pedesaan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) rata-rata gaji pekerja hanya sekitar Rp1,5 juta per bulan. Bahkan, tidak sedikit yang menerima upah di bawah Rp 1 juta.
ADVERTISEMENT
“Karena memang ya sudah lapangan minim ada pun gajinya relatif kecil gitu. Makanya dengan iming-iming ya gaji yang cukup besar, di luar negeri, terus kemudian kerjanya jadi admin ya tentu ini menggiurkan bagi WNI yang memang terhimpit pekerjaannya susah di dalam negeri,” ucap Nailul.
“Di sana [Kamboja] digaji 3 kali lipat katanya sampai Rp 14 juta tapi akhirnya meninggal setelah 2 bulan di sana,” imbuhnya.
Di satu sisi, perekonomian dalam negeri yang lesu juga memperparah kondisi yang ada. Daya beli menurun, pertumbuhan gaji stagnan, sementara angka pengangguran, terutama dari lulusan SMK yang seharusnya siap kerja, justru tinggi.
“Ini tawaran yang menggiurkan di tengah ya himpitan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir yang saya lihat banyak menyebabkan kelesuan daya beli dan sebagainya,”
ADVERTISEMENT
Sementara KP2MI memiliki keterbatasan dalam mendeteksi masyarakat yang pergi ke Kamboja hingga Myanmar untuk bekerja secara ilegal. Rinardi menuturkan pihaknya tidak memiliki jangkauan sampai ke luar negeri. Data berapa banyak pekerja ilegal berasal dari Kemlu, KBRI hingga KJRI ataupun aduan masyarakat.
“Jangkauan kami hanya sampai ke bandara pelabuhan yang ada di Indonesia,” kata Rinardi.
Revisi UU Perlindungan Pekerja Migran Jadi Harapan
Untuk memperluas kewenangan, KP2MI yang di era Presiden Prabowo Subianto diubah menjadi kementerian (selama ini berbentuk badan) tengah mengupayakan revisi UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran melalui Badan Legislasi DPR.
Melalui revisi UU tersebut, KP2MI nantinya akan memiliki jangkauan sampai luar negeri untuk bisa melakukan langsung proses pendampingan, perlindungan, pencegahan yang ada di luar negeri. Rinardi juga menekankan pihaknya terus melakukan sosialisasi bahaya bekerja di Kamboja melalui medsos.
ADVERTISEMENT
KP2MI pun meneken nota kesepahaman (MoU) dengan Kemensos untuk memastikan kesejahteraan, pencegahan masalah sosial, serta reintegrasi optimal bagi para pekerja migran melalui mekanisme Pekerja Migran Indonesia Bermasalah (PMIB) sebagai salah satu target sasaran 12 Pemerlu Atensi Sosial.
Sementara pengamat ekonomi dan sosiolog memberikan masukan kepada pemerintah untuk menghentikan aliran pekerja ilegal ini. Kunci utamanya adalah diperlukan keterlibatan aktif pemerintah.
Menurut CELIOS, ada tiga langkah besar yang perlu dilakukan: pertama, menciptakan lapangan kerja lewat proyek strategis nasional dan program rekrutmen P3K; kedua, mendorong iklim investasi agar industri padat karya berkembang; dan ketiga, memperbaiki kesejahteraan pekerja.
Nailul menuturkan problem yang sering terjadi adalah SDM seringkali missmatching dengan kebutuhan industri. Sehingga, CELIOS juga mendorong perbaikan pendidikan vokasi. “Ini yang harus diminimalisir, mismatching antara kebutuhan dan supply dari tenaga kerja,” ucap Nailul.
ADVERTISEMENT
Lebih dalam lagi, Derajad menuturkan fenomena ini memperlihatkan lubang besar dalam kebijakan negara yang harus segera ditambal. Menurutnya, kebijakan ketenagakerjaan saat ini masih berfokus pada masyarakat perkotaan dan sektor industri, belum menyentuh sektor pedesaan.
Petani dan pekerja informal desa nyaris tak tersentuh regulasi, dan mendorong mereka mencari peluang di luar negeri—sering kali tanpa perlindungan.
“Mestinya harus disentuh sampai ke sana. Nah, informasi tentang ketenagakerjaan ini kan tidak dipelajari di sekolah,” tuturnya.
“Pada level kebijakan pemerintah, harusnya menyentuh mereka yang produktif di pedesaan,” tutup Derajad.