Membongkar Suap Eks Penyidik KPK Robin: Urus 5 Kasus, Raup Rp 11 M dalam Setahun

14 September 2021 19:55 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tersangka AKP Stepanus Robin Pattuju menuju ke mobil usai sidang putusan Majelis Etik Dewas KPK di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Senin (31/5/2021). Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Tersangka AKP Stepanus Robin Pattuju menuju ke mobil usai sidang putusan Majelis Etik Dewas KPK di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Senin (31/5/2021). Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Praktik suap penyidik KPK nyata terjadi. Penyidik yang seharusnya memberantas korupsi, malah menjadi pelakunya.
ADVERTISEMENT
Ialah AKP Stepanus Robin Pattuju yang melakukannya. Penyidik asal Polri itu diduga menerima suap hingga Rp 11 miliar.
Suap Rp 11 miliar itu diterima Robin hanya dalam kurun waktu kurang dari setahun. Yang lebih mencengangkan: Robin baru bertugas di KPK selama setahun.
Robin diangkat menjadi penyidik KPK pada Agustus 2019. Bahkan nilai seleksinya disebut di atas rata-rata. Namun, hal itu nampaknya tidak menjadi ukuran integritas seorang penyidik.
Dakwaan KPK membongkar bagaimana praktik suap Robin. Dakwaan itu sudah dibacakan jaksa KPK dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (13/9).
Robin tidak sendiri. Ia diduga menerima suap bersama seorang advokat bernama Maskur Husain. Keduanya didakwa bersama-sama menerima suap sebagai imbal pengamanan kasus di KPK. Perbuatan itu terjadi dalam rentang sekitar bulan Juli 2020 sampai dengan April 2021
Pengacara Maskur Husain digiring petugas untuk mengikuti konferensi pers usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (22/4/2021). Foto: Dhemas Reviyanto/Antara Foto
Beberapa transaksi uang pun diakali. Ada yang melalui rekening adik teman perempuan Robin yang bernama Riefka Amalia.
ADVERTISEMENT
Riefka sengaja membuka rekening BCA untuk kepentingan Robin. Robin memegang kartu ATM rekening serta bisa mengakses rekening melalui aplikasi mobile banking.
"Selain itu, Terdakwa juga mencari lokasi (safe house) guna tempat bertemu Terdakwa dengan Maskur Husain dan pihak lain untuk melakukan serah-terima uang," bunyi dakwaan.
Ada lima pihak pemberi suap yang disebutkan dalam dakwaan. Kelimanya diduga terkait perkara berbeda tapi tujuannya sama: meminta Robin mengamankan kasus KPK agar tak melibatkan mereka.
Berikut rinciannya:

Tanjungbalai

Wali Kota Tanjungbalai H.M Syahrial. Foto: Pemkot Tanjungbalai
Robin dan Maskur Husain menerima suap dari M. Syahrial selaku Wali Kota Tanjungbalai sejumlah Rp 1.695.000.000. Tujuannya ialah Syahrial meminta Robin mengupayakan penyelidikan KPK terkait suap jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai tidak naik ke tahap penyidikan. Syahrial diduga terlibat kasus itu.
ADVERTISEMENT
Perkara ini berawal pada bulan Oktober 2020. Ketika itu, Robin dikenalkan kepada Syahrial oleh Azis Syamsuddin. Perkenalan terjadi di rumah dinas Wakil Ketua DPR itu.
Robin dan Maskur sepakat membantu Syahrial. Imbalannya ialah Rp 1,7 miliar yang akan diberikan secara bertahap.
Pada November 2020, Robin sempat menagih komitmen uang itu. Sebab, Syahrial hanya mengirim Rp 350 juta.
Robin pun meyakinkan Syahrial agar segera mengirim sisa uang yang telah disepakati dengan kata-kata “karna di atas lg pd butuh bang”. Tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam kalimat itu dalam dakwaan.
Uang kemudian dikirimkan Syahrial secara bertahap dengan total Rp 1.695.000.000. Robin mendapat Rp 490 juta, sedangkan Maskur mendapat Rp 1.205.000.000.
Untuk Robin, ia juga disebut pernah meminjam mobil dinas milik pemerintah Kota Tanjungbalai merek Toyota Kijang Innova tahun 2017 dengan pelat nomor BK-1216-Q. Peminjaman terjadi dari tanggal 22 Desember 2020 sampai dengan 13 April 2021.
ADVERTISEMENT
Meski uang diterima, Syahrial tetap dijerat sebagai tersangka kasus jual beli jabatan. Ia diduga menerima suap Rp 200 juta dari Sekda Tanjungbalai Yusmada yang juga dijerat sebagai tersangka.
"Bahwa pada tanggal 19 April 2021 sore hari, M. Syahrial menginformasikan kepada Terdakwa (Robin) dan Azis Syamsuddin bahwa ternyata kasus jual beli jabatan yang melibatkan dirinya naik ke tahap penyidikan dengan mengirim foto surat panggilan saksi terhadap Azizul Kholis atas perkara terkait, dan Terdakwa lalu menyampaikan bahwa hal tersebut akan ia bicarakan dengan timnya," bunyi dakwaan.
Syahrial juga dijerat sebagai tersangka pemberi suap kepada Robin. Ia sedang menjalani sidang terkait perkara ini. Terakhir, ia dituntut 3 tahun penjara.
Perkara ini menjadi awal pembuka terbongkarnya praktik suap pengurusan kasus oleh Robin.
ADVERTISEMENT

Lampung Tengah

Wakil Ketua DPR Bidang Korpolkam Azis Syamsuddin. Foto: DPR RI
Azis Syamsuddin disebut menjadi salah satu pemberi suap kepada Robin. Suap diduga terkait pengamanan atas penyelidikan KPK di Lampung Tengah.
Berawal ketika Robin yang diminta tolong oleh Azis Syamsuddin pada Agustus 2020. Saat itu, Robin diduga diminta untuk mengamankan kasus yang melibatkan Azis Syamsuddin dan Aliza Gunado. Aliza ialah mantan pengurus Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG).
Saat itu, Robin berdiskusi dengan advokat bernama Maskur Husain. Mereka pun setuju dengan meminta imbalan Azis Syamsuddin dan Aliza masing-masing memberikan Rp 2 miliar.
Aliza Gunado. Foto: Golkar
Pemberian uang dilakukan secara bertahap. Baik secara transfer maupun pemberian langsung.
Salah satunya terjadi pada 5 Agustus 2020. Robin menerima uang USD 100 ribu secara tunai dari Azis Syamsuddin. Transaksi dilakukan di rumah dinas Wakil Ketua DPR yang ditempati Wakil Ketua DPR itu.
ADVERTISEMENT
"Terdakwa menerima secara tunai uang sejumlah USD 100 ribu dari Azis Syamsuddin di rumah dinas Azis Syamsuddin di Jalan Denpasar Raya 3/3 Jakarta Selatan," bunyi dakwaan yang dibacakan jaksa.
Berdasarkan dakwaan, Robin dan Maskur menerima total uang Rp 3.099.887.000 dan USD 36 ribu dari Azis Syamsuddin dan Aliza Gunado.
Robin mendapat bagian Rp 799.887.000. Sementara Maskur mendapatkan Rp 2.300.000.000.
Kendati demikian, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai perkara Lampung Tengah itu. Hingga saat ini, belum ada pengumuman dari KPK soal status lebih lanjut dari Azis Syamsuddin dan Aliza Gunado.

Cimahi

Walikota Cimahi, Ajay Muhammad Priatna. Foto: Instagram/@ajaympriatna
Ajay Muhammad Priatna disebut menjadi salah satu penyuap Robin dan Maskur. Nilainya sekitar Rp 500 juta.
Berawal ketika Robin dan Maskur Husain bersama Agus Susanto datang ke Lapas Sukamiskin pada Oktober 2020. Mereka bertemu dengan Saeful Bahri. Diduga, Saiful Bahri yang dimaksud ialah kader PDIP yang terlibat kasus suap Komisioner KPU.
ADVERTISEMENT
Dalam pertemuan itu, Maskur Husain berbicara bahwa Ajay sedang menjadi target KPK. Saeful Bahri kemudian meminta agar Ajay dibantu. Tidak dijelaskan darimana Maskur mendapat informasi.
Setelah itu, Ajay kemudian didatangi seseorang bernama Yadi yang meyakinkan bahwa KPK sedang menyelidiki kasus bansos di Kabupaten Bandung, Kota Bandung, dan Kota Cimahi. Yadi pun menyinggung ada penyidik yang bisa membantu Ajay bernama Roni [Robin, -red]. Tidak ada penjelasan siapa Yadi tersebut.
Atas informasi itu, Ajay kemudian menemui Robin di Hotel Geulis, Bandung. Robin dan Maskur pun bersedia membantu Ajay agar Kota Cimahi tidak masuk dalam penyidikan perkara bansos oleh KPK.
Pada 14 Oktober 2020, Robin kembali bertemu Ajay di penginapan Tree House Suite Jakarta Selatan, yang tak jauh dari kantor KPK. Robin meyakinkan Ajay bahwa dirinya penyidik KPK dan bersedia membantu dengan imbalan Rp 1,5 miliar.
ADVERTISEMENT
Belakangan disepakati uang yang akan diberikan ialah Rp 500 juta. Ajay pun memberikan Rp 100 juta pada saat itu. Keesokan harinya di tempat yang sama, ajudan Ajay bernama Evodie Dimas Sugandy menyerahkan Rp 387.390.000 dalam bentuk mata uang rupiah, dolar Singapura, dan dolar Amerika Serikat kepada Robin dan Maskur.
Uang tidak diserahkan secara langsung. Melainkan diletakkan di sebuah kamar yang sudah ditentukan sebagaimana disepakati dalam percakapan Ajay dan Maskur.
Pada 24 Oktober 2020, Ajay memberikan kekurangan uang Rp 20 juta kepada Robin di sebuah rumah makan di Dago Bandung.
Total uang yang diterima Robin dan Maskur ialah Rp507.390.000. Robin mendapat bagian Rp 82.390.000. Sementara Maskur mendapat Rp 425.000.000.
Namun, sebulan usai pemberian uang yang terakhir, Ajay terjaring OTT KPK. Ia diduga terlibat kasus suap izin rumah sakit. Saat ini, Ajay sudah divonis 2 tahun penjara.
ADVERTISEMENT

Kalapas Sukamiskin

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung. Foto: Bagus Ahmad Rizaldi/ANTARA
Salah satu pemberi suap lainnya kepada Robin ialah Usman Effendi. Ia diduga terlibat kasus suap Kalapas Sukamiskin yang ditangani KPK. Dalam dakwaan tidak dijelaskan siapa sosok Usman Effendi.
Berawal pada 3 Oktober 2020, Robin menghubungi Usman Effendi dan mengenalkan diri teman Radian Azhar dan juga penyidik KPK. Radian Azhar merupakan terpidana pemberi suap Kalapas Sukamiskin.
Dalam komunikasi itu, Robin menyebut Usman Effendi mempunyai kasus di KPK dan segera menjadi tersangka.
"Pada saat itu, terdakwa menyampaikan kepada Usman Effendi bahwa terdakwa mencari Usman Effendi karena ada hal darurat yaitu Usman Effendi akan dijadikan tersangka terkait kasus Kalapas Sukamiskin, oleh karenanya terdakwa meminta mereka bertemu," bunyi dakwaan.
Pada malam harinya, Usman Effendi dan Robin bertempat di Puncak Pass. Usman Effendi pun meminta bantuan Robin agar dirinya tidak jadi tersangka.
ADVERTISEMENT
Robin menyanggupinya dengan meminta imbalan sebesar Rp 1 miliar. Usman Effendi keberatan dengan nilai uang tersebut. Akhirnya Robin meminta Usman Effendi membayar Rp 350 juta sebagai uang muka.
Robin pun meminta uang segera dibayarkan. Bila tidak, maka Usman Effendi akan menjadi tersangka.
"Terdakwa lalu menyampaikan, 'Bapak bayar Rp 350 juta saja untuk Tim dan tidak harus sekali bayar lunas. Yang penting masuk dananya hari Senin, karena jika tidak hari Senin dibayar, Bapak akan dijadikan tersangka pada ekspos pada hari Senin jam 16.00'," bunyi dakwaan.
Kesepakatan pun berlanjut hingga pada Minggu 4 Oktober 2020. Robin kembali menelepon Usman Effendi sembari mengingatkan untuk segera menyerahkan uang yang diminta sebelumnya.
Uang kemudian diberikan bertahap sejak tanggal 6 Oktober 2020 sampai dengan 19 April 2021. Total uang yang ditransfer melalui rekening milik Riefka Amalia itu mencapai Rp 525 juta.
ADVERTISEMENT
Uang tersebut kemudian diberikan kepada advokat yang juga kolega Robin, Maskur Husain, sebesar Rp 272.500.000. Sementara Robin mendapat Rp 252.500.000.
Untuk Usman Effendi, KPK belum mengumumkan statusnya lebih lanjut terkait kasus suap Kalapas Sukamiskin. Kasus itu menjerat mantan Kalapas Sukamiskin, Wahid Husen. Namun, belum diketahui keterlibatan Usman Effendi dalam perkara tersebut.

Kutai Kartanegara (Kukar)

Mantan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari berjalan meninggalkan gedung KPK usai diperiksa di Jakarta, Senin (2/12). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Mantan Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Rita Widyasari disebut menjadi salah satu pemberi suap Robin. Penyidik asal Polri itu diduga awalnya meminta Rp 10 miliar sebagai imbalan untuk pengurusan perkara Rita.
Rita Widyasari merupakan terpidana kasus suap dan gratifikasi. Ia juga merupakan tersangka kasus pencucian uang yang sedang diusut KPK.
Hal itu bermula ketika pada Oktober 2020. Robin dikenalkan kepada Rita Widyasari oleh Azis Syamsuddin. Rita dan Azis sama-sama kader Golkar. KPK tidak menjelaskan bagaimana dan di mana perkenalan itu terjadi.
ADVERTISEMENT
Seminggu setelah perkenalan itu, Robin bersama Maskur Husain, mendatangi Rita di Lapas Kelas IIA Tangerang. Dalam kunjungan tersebut Robin menawarkan bantuan untuk mengurus pengembalian aset Rita Widyasari yang disita KPK terkait kasus pencucian uang serta mengurus peninjauan kembali (PK) yang sedang diajukan ke MA.
Namun, bantuan itu tidak gratis. Robin dan Maskur meminta bayaran Rp 10 miliar. Bahkan, keduanya juga meminta bagian 50% dari total nilai aset bila berhasil dikembalikan. Tarif itu pun disebut tergolong murah.
Maskur Husain nantinya akan berperan menjadi pengacara Rita terkait PK. Untuk meyakinkan, Robin disebutkan sebagai penyidik KPK bisa menekan hakim Mahkamah Agung.
"Maskur Husain menyampaikan bahwa lawyer fee sejumlah Rp 10 miliar tersebut lebih murah daripada yang biasanya dia minta, di mana hal tersebut bisa karena ada Terdakwa yang sebagai penyidik KPK bisa menekan para hakim PK, dan akhirnya Rita Widyasari setuju memberikan kuasa kepada Maskur Husain," bunyi dakwaan.
ADVERTISEMENT
Rita pun setuju. Kesepakatan itu pun disebut turut dilaporkan Rita kepada Azis Syamsuddin.
Pada 20 November 2020, ada uang Rp 3 miliar yang dikirimkan kepada Maskur Husain. Uang itu disebut sebagai pembayaran lawyer fee dari Rita Widyasari.
Pengirim uang itu ialah Usman Effendi. Rita dan Usman Effendi diduga pernah menjalin kesepakatan peminjaman uang pada 16 November 2020.
Rita berjanji akan mengembalikan uang dua kali lipat dengan jaminan sertifikat tanah seluas 140m² di Jalan Suryalaya III Bandung. Sertifikat itu atas nama Dayang Kartini yang merupakan ibu dari Rita.
Selain itu, Rita juga menyerahkan dokumen atas aset kepada Robin dan Maskur Husain, berupa:
ADVERTISEMENT
Pada 27 November 2020, Rita menandatangani surat kuasa kepada Maskur Husain terkait permohonan PK. Sekaligus, mencabut kuasa penasihat hukum sebelumnya.
Rita pun kemudian memberikan uang secara bertahap kepada Robin dan Maskur. Terhitung sejak bulan Januari 2021 sampai dengan April 2021 dengan jumlah keseluruhan Rp 60.500.000.
Selain itu, Robin juga menerima SGD 200 ribu atau senilai Rp 2.137.300.000 di rumah dinas Wakil Ketua DPR yang ditempati Azis Syamsuddin.
Total uang yang diterima Robin dan Maskur dari Rita ialah Rp 5.197.800.000. Dari uang itu, Robin memperoleh jatah sebesar Rp 697.800.000. Sedangkan Maskur Husain memperoleh sejumlah Rp 4.500.000.000.
Namun, dalam dakwaan, tidak dijelaskan lebih rinci mengenai kelanjutan pengurusan aset serta PK Rita Widyasari itu. KPK pun menegaskan kasus pencucian uang Rita masih berjalan.
ADVERTISEMENT
***
Masih banyak pertanyaan yang tersisa dari dakwaan tersebut. Misalnya soal peran Maskur Husain yang justru mendapat porsi suap lebih besar dan bagaimana ia mendapat informasi dari KPK hingga soal dugaan pihak lain yang terlibat.
Plt juru bicara KPK Ali Fikri menyebut semua hal yang tercantum dalam dakwaan ialah fakta yang didapat dari hasil penyidikan. Semua akan dibuktikan dalam persidangan.
"Semua alat bukti dan juga hasil pemeriksaan selama penyidikan akan diperlihatkan dan kembali dikonfirmasi kepada para saksi termasuk tentu dugaan keterlibatan beberapa pihak yang disebutkan dalam surat dakwaan tersebut juga akan didalami lebih lanjut," papar Ali.
Terkait dakwaan, Robin mengakui menerima suap dari berbagai pihak terkait dengan pengurusan perkara. Kecuali soal pemberian uang dari Wakil Ketua DPR Azis Syamsudin dan kader partai Golkar Aliza Gunado.
ADVERTISEMENT
"Terkait dengan Saudara Azis Syamsudin dan Aliza Gunado, saya tidak menerima uang dari yang bersangkutan," kata Robin.
Robin mengaku pernah menerima uang dari empat orang lainnya selain Azis Syamsuddin. Namun, ia berdalih yang dilakukannya ialah penipuan.
"Saya sudah khilaf menipu dan membohongi banyak pihak dalam perkara yang saya lakukan ini. Saya dan beberapa pihak yang bernama Saudara M. Syahrial, saya tipu yang bersangkutan dengan menerima Rp 1,695 miliar, dari Ajay Muhammad Priatna sebesar Rp 507 juta, dari Usman Effendi Rp 525 juta, dan dari Rita Widyasari," kata Robin menanggapi isi dakwaan.
Robin dan Maskur didakwa Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 juncto Pasal 18 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
ADVERTISEMENT
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
a. pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
ADVERTISEMENT