Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Penyelidikan kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh Tim Gabungan Polri-Kompolnas terus berjalan. Tim telah mengambil dan meneliti sejumlah rekaman CCTV, antara lain dari jalur Magelang-Jakarta—jalan yang ditempuh Yosua saat berkendara mengawal Putri Candrawathi, istri Irjen Ferdy Sambo , 8 Juli 2022, sebelum ia ditemukan tewas pada hari yang sama.
“Labfor mencocokkan kalibrasi waktu antara CCTV dan real time… Ini bisa mengungkap konstruksi kasus secara jelas,” kata Kadiv Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo.
Dua sumber kumparan di lingkaran tim penyidik menyatakan, hasil investigasi sejauh ini menguatkan dugaan bahwa Yosua tidak tewas di Magelang; tidak juga dalam perjalanan dari Magelang ke Jakarta. Ia tewas di Jakarta.
Berdasarkan rekaman CCTV di rest area Tol Cikampek, Yosua terlihat turun dari mobil rombongan Putri yang beriringan menuju Jakarta, Jumat (8/7). Mereka dalam perjalanan pulang dari Magelang, tempat anak Putri dan Sambo bersekolah.
Rekaman itu menunjukkan dua mobil yang beriringan. Yosua berada di mobil patwal di bagian depan, mengawal mobil Putri di belakangnya. Kedua mobil berhenti di rest area dan penumpangnya turun dari mobil.
Yosua yang ketika itu mengenakan kaus putih, celana jeans biru, dan masker hitam, tampak baik-baik saja. Begitu pula saat rombongan tiba di rumah pribadi Sambo di Jalan Saguling.
Rumah di Jl. Saguling itu hanya berjarak sekitar 500 meter dari rumah dinas Sambo di Kompleks Polri. Kedua rumah berada di wilayah yang sama—Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Tes PCR di Rumah Pribadi
Sebelum rombongan Putri tiba, Irjen Sambo telah datang lebih dulu di rumah pribadinya. Di tempat itulah ia melakukan tes PCR.
“Irjen Sambo PCR di situ, di rumah pribadinya,” ujar sumber lain yang kerap bersinggungan dengan Sambo.
Ia mengatakan, rekaman CCTV di rumah pribadi Sambo telah diberikan kepada penyidik. Di rumah itu, pada hari kejadian, Sambo terlihat masuk bersama petugas kesehatan yang hendak melakukan tes PCR terhadapnya. Selesai tes PCR, Sambo naik ke lantai dua.
Beberapa waktu kemudian, jelang asar, Putri masuk ke rumah di Jl. Saguling itu bersama asisten perempuannya. Mereka juga tes PCR di situ. Setelahnya, Putri naik ke lantai dua.
Dua ajudan Sambo yang mengawal Putri hari itu, Yosua dan Richard Eliezer, menyusul tes PCR bersama asisten keluarga Sambo, usai mengambil barang-barang.
Setelah ajudan dan asisten keluarga merampungkan tes PCR, beberapa menit kemudian Putri menuju rumah dinas Sambo di perumahan sebelah—Kompleks Polri Duren Tiga—bersama ajudan, asisten, dan petugas patwal bernama Ricky.
Menurut sumber tersebut, sudah menjadi kebiasaan di keluarga Sambo untuk menunggu hasil tes PCR di rumah dinas. Namun, ia tak menjelaskan mengapa tes PCR tidak sekalian dilakukan di rumah dinas tersebut.
Denah TKP
Tidak seperti rumah pribadi Sambo di Jl. Saguling yang memiliki rekaman CCTV, rumah dinas Sambo di Kompleks Polri tak menyimpan rekaman apa pun karena CCTV di situ disebut rusak. Itu sebabnya penyidik kemudian mengumpulkan rekaman CCTV di sekitar rumah tersebut.
“Ada [rekaman CCTV] di sepanjang jalan sekitar TKP,” kata Irjen Dedi.
Soal tempat kejadian perkara, salah satu sumber menyebut bahwa Yosua memang tewas di Jakarta, namun bukan di rumah dinas Sambo. Namun, hal ini dibantah oleh sumber lain yang sama-sama berada di kepolisian.
Ia lantas menjelaskan pergerakan orang-orang di rumah dinas Sambo menjelang baku tembak yang menewaskan Yosua.
Pada hari kejadian, lewat pukul 16.00 WIB, rombongan Putri tiba di rumah dinas itu usai tes PCR di rumah pribadi Sambo. Mereka masuk lewat garasi yang terletak di samping rumah.
Setelah memarkirkan mobil, asisten Putri, Kuat, memberikan tas ke Putri. Putri lalu meninggalkan garasi. Ia masuk ke rumah dari pintu samping di dekat kamar tidur sopir yang bersebelahan dengan garasi. Ricky juga masuk.
Putri kemudian berjalan menuju kamar tidurnya untuk beristirahat. Kamar tidur Putri ini berada di lantai satu, bersebelahan dengan ruang tamu dan ruang tengah. Posisi pintu kamar ini hampir sejajar dengan tangga menuju lantai dua.
Sementara Putri hendak beristirahat, Kuat menutup pintu garasi dan masuk ke rumah menuju lantai dua.
Berikutnya, menyusul Richard—yang kemudian kerap disebut Bharada E—masuk ke rumah dan menuju lantai dua.
Di lantai dua, Richard berpapasan dengan Kuat. Keduanya melakukan aktivitas masing-masing: Kuat menutup pintu balkon, sedangkan Richard di dalam kamar di lantai atas itu.
“Di sini (kamar lantai dua), ditemukan puntung rokok dengan DNA Richard,” kata sumber kumparan.
Terakhir, Yosua masuk ke dalam rumah lewat pintu samping yang dilalui Putri dan Kuat. Dengan demikian, ada 5 orang di rumah dinas Sambo sore itu: Putri, Ricky, Kuat, Richard, dan Yosua.
Sekuens Berdarah
Saat itulah, sekitar pukul 17.00 WIB, tiba-tiba terjadi peristiwa berdarah di rumah dinas Sambo. Yosua disebut masuk ke kamar Putri sambil mengacungkan pistol dan berteriak “Diam kamu! Diam kamu!”
Putri lalu berteriak, “Tolong Richard! Tolong Ricky!”
Namun, apa yang sesungguhnya terjadi di kamar Putri sebelum ia berteriak, sampai saat ini tak dijelaskan secara rinci kecuali bahwa Yosua disebut “melakukan pelecehan”.
Ketika itu, mendengar teriakan Putri, Richard keluar dari kamar di lantai dua, menuruni tangga, dan berhenti di bordes tangga. Ia melihat Yosua—yang merupakan seniornya—dan bertanya, “Bang, kenapa? Ada apa, Bang?”
Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Yosua malah menembaki Richard. Ia melontarkan tiga peluru dari pistol HS-9 yang ia genggam. Tembakan-tembakan itu melesat dan meleset dua jengkal di atas kepala Richard.
Peluru-peluru mengenai bingkai foto yang terpasang di dinding bordes tangga dan menembus wallpaper yang melapisi dinding itu.
Richard pun membalas tembakan dengan pistol Glock 17. Menurut seorang sumber, Glock 17 adalah senjata organik Propam Polri—divisi yang dipimpin Irjen Sambo yang kini dinonaktifkan.
Sumber tersebut menampik ucapan berbagai pihak yang menyebut bahwa Glock 17 hanya bisa dipakai oleh perwira. Menurutnya, tamtama dengan pangkat Bhayangkara Dua seperti Richard pun bisa memegang senjata tersebut.
“Asal dia dapat penugasan khusus sebagai ajudan dan lolos tes psikologi, bisa bawa bedil itu,” ujarnya.
Namun, sumber lain berkukuh bahwa Glock 17 yang memiliki presisi tinggi memang merupakan senjata untuk perwira.
Begitu Richard membalas tembakan-tembakan Yosua, peluru dari pistolnya mengenai dada kanan Yosua. Yosua tersentak. Tangan kanannya yang menggenggam senjata ke arah atas, refleks menembak dan melubangi sudut plafon di depan kamar Putri.
Yosua mengalami pendarahan hebat. Ia berjalan sempoyongan, namun masih berusaha menembak. Richard pun terus membalas tembakan. Salah satu peluru mengenai jari-jari tangan Yosua. Berdasarkan hasil autopsi RS Polri atas jenazah Yosua, alur peluru itulah yang menyebabkan dua jari Yosua putus.
Putusnya dua jari Yosua ini sebelumnya menjadi salah satu hal yang membuat keluarga Yosua yakin bahwa anak mereka disiksa sebelum ditembak. Pengacara keluarga Yosua, Kamaruddin Simanjuntak, juga meyakini hal serupa.
“Di jari-jari ada tanda bekas dianiaya. Jari manis dan kelingkingnya patah dan luka-luka. Kedua jari ini dirusak, dan bukan oleh peluru,” kata Kamaruddin.
Seorang sumber bahkan mengindikasikan jari Yosua putus karena alat pemotong cerutu atau cigar cutter. Namun, hal itu dibantah sumber lain yang menyebut bahwa luka akibat tembakan peluru bisa macam-macam, tergantung posisi saat ia tertembak.
Untuk menentukan penyebab luka inilah, keluarga Yosua menuntut autopsi ulang.
Dalam baku tembak di rumah dinas Sambo, Yosua berada dalam posisi tak menguntungkan. Sebaliknya, posisi Richard alias Bharada E lebih menguntungkan karena ia berada di bordes atau tikungan tangga.
Dengan kata lain, sudut pandang Richard dalam melihat Yosua cukup baik, sedangkan sudut pandang Yosua ke arah Richard terhalang railing tangga. Itulah sebabnya tembakan Yosua tak mengenai Richard, sementara tembakan Richard berhasil menyasar Yosua.
“Saat [Richard] ditembak arah kepala, dung-dung, enggak kena. Dia sembunyi [di balik railing tangga]. Lalu dia [bergerak agak] ke depan dan langsung balas nembak, deng-deng-deng, kena [Yosua],” kata sumber tersebut.
Alhasil, tembakan Yosua makin tak beraturan. Saat ia menyasar Richard, salah satu pelurunya malah mengenai guci yang berada di sudut bordes tangga. Guci pun pecah.
Yosua kemudian disebut jatuh di samping tangga dalam posisi telungkup, di depan pintu kamar mandi yang terletak di bawah tangga.
Tembakan Penghabisan
Melihat Yosua tersungkur, Richard dari bordes perlahan menuruni anak tangga. Ia berhenti beberapa anak tangga dari lantai satu, dan menengok ke bawah, ke arah Yosua, dan melontarkan tembakan penghabisan ke belakang kepala Yosua yang tertelungkup.
Satu atau dua tembakan terakhir itu menewaskan Yosua. Namun, Richard tak ingat berapa kali persisnya ia menembak kepala Yosua. Yang jelas, menurut sumber, peluru penghabisan itu menembus hidung Yosua.
Sumber yang sama mengatakan, Richard menembak kepala Yosua untuk memastikan lawannya itu tewas sehingga tak lagi membahayakan.
Peluru terakhir itu kemudian memantul ke lantai atau rekoset. Peluru menembus hidung Yosua, mengenai lantai, dan memantul—menyayat bibir dan sekitar mata Yosua.
Seluruh rangkaian kejadian itu berlangsung dalam beberapa menit yang begitu cepat. kumparan melihat foto-foto Yosua tertelungkup di samping tangga dengan darah mengalir dan menggenangi lantai.
Volume darah yang keluar dari tubuhnya diperkirakan 700 cc atau seisi botol air mineral ukuran sedang. Darah itu membasahi area dekat tangga dekat kamar mandi dan ruang tamu.
Kaus putih bertuliskan “In Our Lives” yang dikenakan Yosua pun ikut memerah.
Saat baku tembak terjadi, tiga orang lain yang berada di rumah dinas itu disebut diam ketakutan. Kuat, asisten Putri, bersembunyi di lantai dua, sedangkan Ricky berada di area dekat garasi.
Sesaat setelah kejadian, Putri menelepon Sambo. Dari rekaman CCTV di jalan, terlihat mobil Sambo berhenti dan putar balik ke arah rumah dinas.
Di rumah dinas, Sambo masuk lewat garasi samping disambut Ricky.
“Ada apa?” tanya Sambo.
“Tembak-menembak, Pak,” jawab Ricky.
Sambo kemudian melihat Richard duduk di tangga tempat tembak-menembak terjadi. Ia tampak termenung, dengan tubuh Yosua tergenang darah di bawah tangga.
Melihat pemandangan itu, Sambo panik. Ia di garasi menunggu Kasat Reserse, Inafis, dan Propam; sedangkan Putri dibawa balik ke rumah pribadi di Jl. Saguling diantar Ricky.
Anehnya, beberapa tetangga dekat Sambo tak mendengar bunyi tembak-menembak di rumah itu. Mereka baru tahu ada baku tembak saat melihat keramaian di luar rumah dinas Sambo.
Menurut sumber kumparan, beberapa saat setelah baku tembak yang menewaskan Yosua, sekitar magrib, hanya seorang petugas Inafis yang melakukan olah TKP di rumah dinas Sambo. Dia pula yang memotret dan mengambil proyektil tembakan. Sementara tiga petugas piket lainnya tak ikut olah TKP.
Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Selatan yang mengecek TKP, menurut sumber itu, tidak cermat dalam olah TKP. “Dia enggak naik ke atas, cuma nguplek di sini,” ujarnya sambil menunjuk area depan kamar Putri sampai tangga pada denah.
Minimnya petugas yang melakukan olah TKP dan prosedur yang tak sesuai standar itulah antara lain yang membuat Kapolres Jaksel Kombes Budhi Herdi Susiantono dinonaktifkan.
Sementara itu, keluarga Yosua mempertanyakan luka-luka lain yang dialami Yosua. Melalui pengacara mereka, Kamaruddin Simanjuntak, mereka membeberkan foto-foto luka di sekujur tubuh Yosua.
Hingga saat ini, belum terjelaskan dari mana asal luka lebam dan luka tusuk di betis Yosua. Menurut ahli radiologi forensik RSCM Dr. dr. Prijo Sidipratomo, SpRad(K), tak menutup kemungkinan luka-luka lebam timbul akibat trauma kekerasan.
Yosua Hendak Dipecat
Sumber kumparan menyebut bahwa Yosua sesungguhnya hendak diberhentikan dari tugasnya sebagai ajudan Sambo. “Dia sudah tiga kali mau dikeluarkan, dan minggu depannya akan benar-benar dikeluarkan.”
Namun, Yosua keburu tewas.
Sumber itu lantas mengatakan, dari keterangan yang dihimpun di kalangan rekan-rekan seangkatan Yosua, Yosua tampak menikmati posisinya sebagai ajudan Kadiv Propam Polri, dan cenderung mengalami culture shock.
“Mohon maaf sekali, tapi kalau di bahasa Jawa itu [Yosua seperti] petruk dadi rojo. Dari yang bukan siapa-siapa lalu dipasrahi jadi kepala rumah tangga [Sambo] yang mengurusi semua [keperluan keluarga itu],” ujarnya.
Selain itu, sambungnya, kawan-kawan Yosua juga menceritakan betapa royal Yosua. “Di Jakarta dijamu kehidupan malam di tempat elite, di Holywings.”
Menurutnya, ada kemungkinan proses rekrutmen ajudan kurang ketat di awal, sehingga orang yang diambil bisa jadi kurang pas untuk posisi itu.
“Standarnya harusnya assessment dan tes psikologi dulu.”
Namun, di mata keluarga Yosua, ia adalah anak yang baik dan patuh. Keluarga juga menyebut Yosua terlihat senang dengan pekerjaannya.
“Dia cerita, di sana semua baik-baik. Ibu-Bapak (Ferdy Sambo dan Putri) sayang kepadanya layaknya atasan kepada bawahan. Semua temannya juga baik,” kata Samuel, ayah Yosua.
Kepada bibinya, Rohani Simanjuntak, Yosua pun bercerita bahwa Sambo memercayakan urusan pengeluaran harian keluarga kepadanya. Kepercayaan ini membuat Yosua senang.
Sembari bergurau, suatu ketika Yosua berkata kepada ayahnya bahwa bertugas sebagai ajudan Sambo di Jakarta membuat ia menggemuk, tanda hidupnya membaik.
Namun, kepada kekasihnya di Jambi, Vera Simanjuntak, Yosua belakangan bercerita punya masalah dan merasa terancam. Ancaman itu, menurut pengacara Vera, Ramos Hutabarat, tertangkap dari pembicaraan mereka sekitar seminggu sebelum kejadian.
Komunikasi terakhir antara Yosua dan Vera terjadi sekitar 15 menit sebelum baku tembak yang menewaskan Yosua, yakni pukul 16.43 WIB, 8 Juli 2022. Pada waktu tersebut, Yosua kemungkinan berada di rumah pribadi Sambo di Jl. Saguling atau di rumah dinasnya di Kompleks Polri.
“Nanti penyidik yang akan menyebutkan [isi percakapan Vera dan Yosua],” ujar Ramos.
Menurut Kamaruddin Simanjuntak, Yosua menerima ancaman sejak Juni, sampai-sampai ia pernah menangis karenanya.
“Ada rekaman elektronik, yang mana almarhum saking takutnya di bulan Juni, ia sampai menangis,” kata Kamaruddin di Mapolda Jambi, Sabtu (23/7).
Ancaman itu pun, ujarnya, masih diterima Yosua sehari sebelum ia tewas. Hal tersebut kini tengah didalami penyidik Bareskrim Polri.
Reza Indragiri, kriminolog dan ahli psikologi forensik, berpendapat bahwa tolak ukur tuntasnya pengungkapan kasus kematian Yosua adalah objektivitas dan transparansi.
“Semakin objektif dan semakin transparan, maka semakin pantas polisi dipercaya. Sebaliknya, semakin tak objektif dan tak transparan, maka semakin masyarakat pesimistis terhadap kerja kepolisian,” kata Reza.
Itu sebabnya, menurut Reza, sepatutnya kepolisian segera membuka terang-benderang isi rekaman-rekaman CCTV terkait kasus Yosua.
Terlebih, selama ini komunikasi polisi kepada publik cenderung ambigu sehingga menimbulkan kebingungan dan memunculkan berbagai spekulasi.
Reza menegaskan, kepolisian sebagai institusi seharusnya bicara jelas sejak awal kasus; tanpa ada rangkaian peristiwa yang ditutupi.
“Ini bukan urusan individu, tapi institusi. Kepolisian sebagai lembaga yang punya otoritas harus menyampaikan segala hal dengan objektif dan transparan. Tidak bisa lepas tangan,” tutup Reza.