Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Seorang seniman bernama Nano Warsono telah tinggal 25 tahun lamanya di Yogyakarta. Namun, baginya tak mudah untuk mengenal seutuhnya kota ini.
ADVERTISEMENT
Dia ingin menunjukkan Yogyakarta lewat sebuah karya. Nano mengemasnya dalam sebuah pameran mural bertajuk Jogja Incognita. Pameran berlangsung di Vherkudara Spirit, Kacoran, Caturtunggal, Depok, Kabupaten Sleman selama tiga bulan ke depan.
"Saya kira Yogya belum bisa saya pahami 100 persen. Kemudian peta Jogja atau "Jogja Incognita" itu masih terus saya dalami. Saya sudah tinggal di sini mungkin hampir 25 tahun ya, tapi saya pasti akan ditanya aslinya dari mana," kata Nano yang dahulu menempuh pendidikan di ISI Yogya ini.
Tak hanya soal seni, katanya, banyak hal yang tak bisa dipahami secara instan di kota ini. Mulai dari fenomena sosial, anak muda bahkan kebudayaan. Hal-hal seperti ini sering dirasakan oleh setiap orang yang hijrah dan menetap di Yogya.
ADVERTISEMENT
"Sudah 25 tahun mungkin lebih lama di sini daripada di kampung halaman saya. Artinya, sebenarnya untuk mengenal Yogya lebih jauh itu juga proses ya, semua tidak bisa instan, apalagi dinamika seni di Yogya ini sangat tinggi, kemudian juga fenomena sosial, fenomena anak muda, dan kelihatan kebudayaan sangat intens di sini," katanya.
Hitam dan Putih
Karya mural yang Nano tampilkan di Vherkudara Spirit ini berwarna hitam putih. Meski tampak sederhana, ada hal-hal yang rumit di baliknya. Hitam putih ini sebagai gambaran dirinya pertama kali datang ke Yogya.
"Karena pada waktu itu saya datang ke Jogja, melihat Yogya dengan seni yang sudah sangat berkembang. Saya bukan siapa-siapa, saya bukan apa-apa juga. Kemudian saya hanya melakukan hal-hal sederhana, salah satunya yang menggambar dengan hitam putih, kertas" katanya.
ADVERTISEMENT
"Dan ternyata itu malah justru saya mendapatkan sesuatu yang lebih dari proses sederhana itu. Jadi saya di sini mengumpulkan drawing saya pada masa saya masih kuliah dan juga setelah lulus kuliah," bebernya.
Dalam salah satu karyanya, dia menggambar tumpukan kayu. Menurutnya ini merupakan dimensi sejarah di mana awal mula Yogya berawal dari hutan mentaok yang ada di Kotagede.
"Alas mentaok. Nah, makanya sebenarnya saya ketika membayangkan itu, saya bayangkan ketika orang membangun Yogya atau Mataram pada waktu itu," katanya.
Kata Nano, di kota ini ada hal-hal yang bisa dipahami secara mudah, tetapi ada hal-hal yang mungkin tidak bisa dapatkan secara gamblang, banyak hal-hal yang tersembunyi.
"Di Yogya itu kan berlapis dalam tradisinya. Sebenarnya mau (orang) ngomong (sesuatu), tapi sebenarnya di balik itu lapisannya banyak," katanya.
ADVERTISEMENT
Ini tergambar bagaimana Pangeran Diponegoro dahulu ketika hendak berperang di mana ada di liris-liris spiritual, harus napak tilas, baru kemudian memutuskan untuk berperang.
"Jadi sama saja dia sebenarnya untuk memahami situasi sekarang itu di Jogja terutama tidak semudah, segamblang yang saya bayangkan juga. Banyak-banyak hal yang masih undercover ataupun tersembunyi," jelasnya.
Perubahan di Yogya
25 tahun di Yogya, secara fisik ada banyak hal berubah termasuk atmosfernya.
"Dulu angkringan semua, sekarang kan coffee shop semua, itu contoh sederhana. Tapi dari sana kemudian kita bisa menarik satu pemikiran atau satu praduga bahwa Yogya itu bertahan di antara industrialisasi dan juga pertahanan budaya," katanya.
"Jadi saya kira dengan banyaknya perubahan di Yogya terutama dalam fisik dan juga masyarakatnya, kemudian semakin banyak infiltrasi gitu ya. Modal masuk, orang-orang dari luar juga masuk untuk menanamkan modal dan tinggal-tinggal. Jadi sebenarnya Yogya sedang dalam krisis bagaimana harus mengelola dirinya," pungkasnya
ADVERTISEMENT