Mempertanyakan Surat Sakit Online: Kejujuran Pasien hingga Ketepatan Diagnosis

24 Desember 2022 15:34 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi telemedicine. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi telemedicine. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pelayanan pasien jarak jauh atau telemedicine memang sudah bukan barang baru, terutama sejak pandemi COVID-19. Menurut Wakil Ketua Umum II Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Mahesa Paranadipa Maikel, di era pandemi memang ada situasi khusus di mana pasien tidak bisa bertemu langsung dengan dokter.
ADVERTISEMENT
Secara legal, kata Mahesa, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang mengatur soal telemedicine masih akan berlaku hingga status pandemi dicabut. Namun ada beberapa hal yang menjadi concern IDI dalam praktik telemedicine.
"IDI sendiri concerned soal profesionalisme dalam penegakan diagnosis dan terapi karena enggak semua penyakit bisa ditegakkan melalui telemedicine. Ada penyakit-penyakit yang wajib dilakukan pemeriksaan fisik," ucap Mahesa kepada kumparan, Sabtu (24/12).
Misalnya saja, Mahesa mencontohkan, pasien batuk. Diagnosis pasien batuk tidak bisa hanya dengan pertanyaan, "batuk kering atau batuk basah" saja, tetapi juga diperlukan pemeriksaan menggunakan stetoskop, bahkan rontgen paru-paru, baru bisa diterapi.
"Ini bukan soal pelayanan melalui telemedicine atau tidak. Persoalannya adalah sesuai standar tidak? Karena standar itu tujuannya untuk keselamatan pasien. Jangan sampai dengan alasan mempermudah pelayanan, akhirnya diagnosis yang ditegakkan tidak profesional. Akhirnya apa? Keselamatan pasien terancam," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Belum lagi, karena tidak bertemu langsung, dokter tidak selalu bisa membuktikan apakah keterangan si pasien jujur atau tidak. Memang, lanjut Mahesa, ada hukuman bagi pasien yang memberikan informasi tidak jujur. Namun dokter yang menegakkan diagnosis hingga mengeluarkan surat sakit berdasarkan keterangan palsu itu juga bisa ikut kena imbasnya.
"Problemnya kalau di kasus-kasus tersangka korupsi itu dia pasti mendatangi dokter ya. Dokternya kalaupun dia terlibat dalam memberikan surat keterangan palsu, kena dua-duanya. Tapi dalam telemedicine bisa jadi dokternya nggak tahu keterangannya bener atau nggak. Itu yang jadi masalah," tutur Mahesa.
Ilustrasi telemedicine. Foto: Shutterstock
Mahesa mengingatkan, memang ada beberapa jenis penyakit yang bisa diperiksa dari jauh, namun jumlahnya sangat terbatas. Misalnya saja flu ringan atau sekadar kontrol saja setelah berobat langsung.
ADVERTISEMENT
"Dan satu lagi, yang harus diingat, tidak semua dokter terlatih untuk menegakkan diagnosis melalui telemedicine. Waktu di Fakultas Kedokteran enggak diajarin itu. Harusnya dokter yang sudah terlatih juga," tegas Mahesa.
Mahesa mengaku sudah pernah diundang oleh Telkom untuk membicarakan beberapa poin soal pengembangan peralatan telemedicine. Sehingga nantinya, jika memang akan mengembangkan layanan telemedicine, ada peralatan yang mendukung.
"Jadi didukung peralatan-peralatan yang mendukung telemedicine. Jangan cuma smartphone aja. Kalau smartphone bermasalah suaranya kan jadi beda atau misalnya kameranya cuma 2 MP," pungkasnya.