Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
ADVERTISEMENT
Pemilu 2019 rupanya menjadi pemilu terberat bagi Partai Demokrat besutan Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bagaimana tidak, selain perolehan suara partai yang terlempar dari lima besar, partai berlambang mercy ini harus terkatung-katung nasibnya.
ADVERTISEMENT
Di pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) jilid dua ini, tak satu pun kader Demokrat dipanggil ke Istana untuk bergabung dengan Kabinet Indonesia Maju. Padahal, Partai Gerindra pimpinan Prabowo Subianto --yang menjadi rival Jokowi di Pilpres 2019-- kini malah menjadi bagian koalisi, bahkan Prabowo ditunjuk menjadi Menteri Pertahanan.
Begitu pun di parlemen. Demokrat tak mendapatkan posisi pimpinan komisi. Sementara partai yang sudah jelas menentukan sikapnya sebagai oposisi, PKS, mendapatkan jatah 1 pimpinan komisi.
Lalu, bagaimana nasib Demokrat lima tahun mendatang?
Pengamat dan pengajar Ilmu Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menganggap sudah saatnya Demokrat menggunakan momentum kali ini untuk konsolidasi partai, menyongsong 2024.
"Ini justru menguntungkan bagi Demokrat untuk fokus membenahi internal mereka. Konsolidasi struktur, mulai dari pusat, provinsi, kabupaten kota hingga RT/RW. Ini momentum tepat bagi Demokrat untuk kembali merajut soliditas kader-kader," kata Adi saat dihubungi kumparan, Senin (28/10).
ADVERTISEMENT
Selama lima tahun ke belakang, harus diakui, kondisi Demokrat terus mengalami penurunan. Alhasil, di Pemilu 2019, Demokrat hanya menempati posisi ke-7 dengan perolehan suara 7,77 persen.
Menurut Adi, Demokrat, pada lima tahun sebelumnya, memang kehilangan momentum yang justru didapatkan PDIP dan Gerindra. Demokrat bahkan harus kalah dari partai lainnya seperti NasDem, PKB, dan PKS.
Adi berpandangan, untuk lima tahun ke depan, sebaiknya Demokrat jangan melulu bergantung kepada sosok SBY dan Waketum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
"Harus dimunculkan figur-figur dan tokoh yang kuat dan mengakar, sehingga konsolidasi ini relatif menyebar. Tidak menggantungkan masa depan Demokrat itu ke SBY dan AHY," kata Adi.
Karena, lanjut Adi, arena pertarungan di 2024 nantinya akan cukup terbuka. Siapa yang mampu menciptakan momentum di lima tahun sebelumnya, maka ia akan memenangkan pemilu.
ADVERTISEMENT
Kini, Demokrat tak mendapatkan jatah apapun di pemerintahan dan DPR. Oleh karena itu, sudah sepatutnya Demokrat bersikap sebagai oposisi lima tahun berikutnya.
"Demokrat cukup di luar sajalah, dengan mengoptimalkan anggota DPR yang dimaksimalkan untuk bekerja keras. Kepala daerah- kepala daerah yang dikuasai itu dikapitalisasi untuk mendongkrak lima tahun yang akan datang," jelas Adi.
"Opsinya menjadi oposisi menjadi penting. Karena pemilih yang kecewa hasil pemilu juga banyak, yang kecewa terhadap Jokowi, yang kecewa terhadap Prabowo karena ikut berkoalisi cukup banyak. Demokrat bisa mengambil hati dan peran orang yang kecewa dengan kondisi politik saat ini," imbuh Adi.
Bagaimana soal isu pesona AHY akan pudar di 2024?
Adi menjelaskan, pudar atau tidaknya AHY di 2024 tergantung pada konsolidasi partai saat ini. Jarak waktu ini, menurutnya, cukup bagi Demokrat untuk merebut momentum.
ADVERTISEMENT
Tak usah jauh-jauh, momentum Pilkada Serentak 2020 misalnya, sebaiknya bisa dimanfaatkan Demokrat untuk mendongkrak suara partai di 2024.
"Enggak bisa demokrat ini tak bisa menunggu dinamika politik, ciptakan momentum sendiri," terang Adi.
"Harus dimulai dengan Pilkada serentak 2020. Itu konsolidasi awal pasca-Pileg dan Pilpres 2019. Apakah di Pilkada 2020 itu Demokrat akan menang banyak, itu menjadi ukuran penting sejauh mana mesin politik itu berjalan atau tidak," tutupnya.