Menanti Petani Muda Penakluk Rawa di Barambai

5 September 2019 14:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sugeng Hariyadi di atas traktor milik Gapoktan Kokida I. Sugeng mengaku, bertani sekarang sudah jauh lebih mudah. Foto: Rony B. Kuncoro/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sugeng Hariyadi di atas traktor milik Gapoktan Kokida I. Sugeng mengaku, bertani sekarang sudah jauh lebih mudah. Foto: Rony B. Kuncoro/kumparan
Hamid cuma terkekeh ketika ia ditunjuk sebagai petani muda di Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kolam Kiri Dalam I oleh rekan kerja sekaligus ketua gapoktan, Purwanto. kumparan pun kaget. Dari fisiknya, jelas Hamid tidak lagi muda. KTP-nya menjadi saksi bahwa ia memang sudah tidak muda.
Hamid sudah berusia 39 tahun sekarang. Ia tentu saja lebih muda daripada Purwanto, yang berusia 52 tahun, dan Sugeng Hariyadi, petani lainnya di Gapoktan Kolam Kiri Dalam I yang kami wawancarai, yang sudah berusia 48 tahun. Tetapi Hamid jelas tidak bisa disebut sebagai petani muda.
Purwanto sendiri mengaku pusing mencari anak muda yang mau bertani di Kokida — singkatan untuk Desa Kolam Kiri Dalam, Barambai, Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Menurutnya, hampir semua anak muda di desa tersebut lebih memilih pergi merantau. Menjadi buruh di kota-kota lainnya di Kalimantan Selatan.
“Kami memang sedang mengusahakan,” aku Purwanto. “Itu program gapoktan kami ke depannya.”
Hamid, salah satu petani di Gapoktan Kokida I. Hamid adalah salah satu petani termuda di sana, padahal usianya sudah 39 tahun. Foto: Muhammad Rezky Agustyananto/kumparan
Masalah regenerasi petani sebetulnya bukan masalah eksklusif Kokida, atau Barambai, atau Kalimantan Selatan. Faktanya, regenerasi petani adalah salah satu masalah besar dalam pertanian Indonesia. Menurut Sensus Pertanian terakhir yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2013 lalu, jumlah petani di usia emas yaitu 25-34 tahun hanyalah 3,1 juta. Jumlah itu kurang dari setengah dari jumlah petani di kategori usia 35-44 tahun (6,8 juta) dan usia 45-54 tahun (7,3 juta).
Ini cukup mengkhawatirkan karena, umumnya petani menjadi pekerjaan yang dilakukan seumur hidup. Bagi Purwanto dan Sugeng, misalnya, pertanian adalah hidup mereka. Keduanya merupakan generasi kedua keluarga petani di Kokida, setelah orang tua mereka bertransmigrasi dari Pulau Jawa pada awal 1970-an.
Masalahnya, tidak semua petani bahkan ingin anaknya menjadi petani. Rata-rata, ingin anak mereka memiliki kehidupan yang lebih baik daripada orang tuanya. Apalagi, dengan kemajuan zaman dan perkembangan informasi, para petani senior tahu ada kehidupan yang kelihatannya lebih baik di luar sana.
Purwanto, ketua Gapoktan Kokida I. Foto: Muhammad Rezky Agustyananto/kumparan
Purwanto memiliki dua anak perempuan, dan keduanya berencana akan dikuliahkan. Ia tidak menutup kemungkinan keduanya menjadi petani juga, tetapi ia mengaku sangat lega ketika salah satu anaknya mendapatkan pekerjaan di salah satu kantor pemerintahan. Kalaupun akhirnya mereka menjadi petani, Purwanto berharap, dengan pendidikan yang mereka dapatkan, anak-anaknya akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
“Ya kalau bisa kan, paling tidak anak itu harus lebih dari orang tuanya. Walaupun petani, tapi ilmunya kan ke pemasarannya kah, ke apanya kah…” kata Purwanto.
Harapan yang masuk akal tentu. Apalagi, pertanian di Indonesia memang terus didorong agar semakin modern. Kesuksesan beberapa startup teknologi di bidang pertanian menjadi bukti bahwa di Indonesia, sektor pertanian memiliki potensi yang sangat menjanjikan jika dikelola dengan tepat.
Harapannya, potensi itu bisa dilihat oleh anak-anak muda Indonesia yang memiliki ilmu yang tepat untuk memanfaatkannya. Dengan begitu, regenerasi petani bisa terjadi dan bonusnya, pertanian Indonesia bisa naik level lebih tinggi.

Bertani Sekarang Lebih Mudah, Kok

Apalagi, “Sekarang bertani di sini sudah enak,” kata Sugeng. “Saluran air sudah bagus. Fasilitas diberikan pemerintah. Benih, pupuk, juga dikasih. Dulu, enggak seenak itu.”
com-Sugeng Hariyadi di atas traktor milik Gapoktan Kokida I. Foto: Muhammad Rezky Agustyananto/kumparan
Pemerintah memang terus memberikan perhatiannya pada sektor pertanian. Termasuk di Kokida. Salah satunya lewat program Serasi, sebuah program dari Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian atau Ditjen PSP untuk mengoptimalkan sawah yang berada di lahan rawa. Mengingat Kokida memang terletak di wilayah bekas rawa pasang surut, wilayah tersebut ikut dimasukkan oleh Kementan untuk program ini.
Salah satu program utama yang dijalankan Ditjen PSP lewat melalui Serasi adalah pengerukan dan pembersihan saluran air, baik saluran sekunder, tersier, maupun mikro. Purwanto menjelaskan, pengerukan saluran air menjadi program pertama yang diwujudkan lewat kerja sama Ditjen PSP dengan para petani di Kokida I.
“Jadi kita diberi bantuan yang jelas, satu untuk pembersihan sungai, yang kedua pembikinan saluran kolektor, yang ketiga pemasangan gorong-gorong, dan yang keempat adalah pembikinan saluran mikro,” terang Purwanto.
com-Hamid, salah seorang petani di Desa Kolam Kiri Dalam, sedang mengatur pintu air yang mengatur arus air dari saluran sekunder ke saluran konektor. Foto: Muhammad Rezky Agustyananto/kumparan
Selain itu, pemerintah juga memberikan bantuan lain, dari mesin-mesin seperti pompa, traktor, hingga pupuk, dan juga bantuan uang untuk keperluan operasional gapoktan. Tidak heran, Sugeng sampai menyebut bahwa sekarang bertani, terutama di Kokida, sudah jauh lebih mudah — apalagi jika dibandingkan dengan yang dialami oleh orang tua Sugeng dan Purwanto, para petani transmigran generasi pertama di Kokida, yang mengalami masa-masa sulit ketika baru pindah ke Barambai hampir lima puluh tahun yang lalu.
“Kalau mau kerja keras, jadi petani itu enak, kok. Kita bisa nentuin jam kerja sendiri. Kalau mau kerja, ya kerja. Kalau lagi mau istirahat, ya bisa istirahat,” katanya.
Harapannya sekarang, adalah para anak muda Kokida yang saat ini tengah merantau untuk menjadi buruh di tempat lain akan tertarik untuk pulang dan menggarap sawah. Atau setidaknya, akan muncul Hamid-Hamid baru yang menjadi petani karena nasib mengarahkannya ke sana. Pasalnya, tidak seperti Purwanto dan Sugeng, Hamid adalah warga pendatang dari Lombok yang baru datang pada 2005 lalu dan menjadi petani karena menikah dengan warga Kokida.
Mungkin, harapan itu jugalah yang muncul di hati Purwanto.
Artikel ini merupakan hasil kerja sama dengan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian