Menapaki Tradisi Umat Sikh di Gurdwara dalam Sepiring Roti Canai

26 Agustus 2022 21:13 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Umat Sikh sedang membaca kitab suci Shree Guru Granth Saheb Ji . Foto: Rinjani Meisa/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Umat Sikh sedang membaca kitab suci Shree Guru Granth Saheb Ji . Foto: Rinjani Meisa/kumparan
ADVERTISEMENT
Umat Sikh punya sejumlah rangkaian ibadah dan tradisi. Saat tim kumparan mengamati ibadah pada hari Minggu (14/8) di Sikh Temple Tanjung Priok, Jakarta Utara, banyak persiapan yang dilakukan umat Sikh sebelum ibadah utama dimulai.
ADVERTISEMENT
Di Gurdwara, tempat ibadah umat Sikh yang terbilang megah itu, ada dapur yang sangat luas. Dapur yang berada di Gurdwara terbilang sangat lengkap, mulai dari sebuah tungku besar untuk membuat roti canai khas India, kompor yang banyak, dan fasilitas memasak lainnya.
Lantas, mengapa umat Sikh memiliki dapur dengan fasilitas yang sangat lengkap?
Tradisi Guru Ka Langgar
Dapur yang digunakan untuk menyajikan makanan di Gurdwara. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
Dapur yang berada di Gurdwara terkesan cukup memenuhi standar untuk membuka sebuah restoran dengan kualitas tinggi. Ternyata setiap prosesi peribadatan selesai, semua umat Sikh nantinya akan makan bersama. Tradisi ini disebut Guru Ka Langgar.
Umat Sikh akan mempersiapkan makanan besar itu dengan bergotong-royong sebelum ibadah utama dimulai. Perempuan Sikh sibuk menguleni adonan untuk roti canai, sedangkan laki-laki sibuk membakar roti tersebut di tungku yang sangat panas.
ADVERTISEMENT
Menu yang disajikan notabene merupakan makanan khas India. Bahan baku yang digunakan pun tidak ada jenis daging. Semuanya berasal dari nabati. Mungkin bagi sebagian orang, rasanya cukup asing untuk mereka yang tidak memiliki keturunan darah India.
"Setiap selesai ibadah terdapat tradisi makan (Guru Ka Langgar) artinya kebersamaan dan kepedulian satu sama lain, kemudian kesetaraan dan kesamaan itu inti dari Guru Ka Langgar. Dari berkat yang kita peroleh ini, kita harus sharing dan caring. Kita harus saling membagi, sebenarnya Guru Ka Langgar ini bertujuan untuk menyadarkan bahwa hidup harus membagi bagi kepada mereka-mereka yang membutuhkan," jelas Pendeta Sikh Temple Tanjung Priok, Giani Dalwinder Singh.
Tradisi makan bersama, Guru Ka Langgar. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
"Guru Ka Langgar ini banyak juga dilakukan di luar-luar. Seperti ketika terjadi bencana-bencana, maka ada upaya membuat dapur umum tadi untuk bisa membagi-bagi makanan. Konsepnya adalah kebersamaan, kepedulian, sharing dan caring," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya saat selesai ibadah saja, Sikh juga melakukan pemberkatan terhadap makanan terlebih dahulu saat ibadah berlangsung di ruang utama Gurdwara. Makanan ini akan dibagikan ke tiap-tiap umat Sikh yang sedang beribadah.
Agama Sikh di Indonesia. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
Uniknya, makanan bertekstur lengket dan manis seperti dodol ini, langsung dituangkan ke tangan-tangan mereka dan dimakan saat itu juga. Pemberkatan tersebut menjadi representasi untuk memberkati semua makanan yang akan dimakan bersama pada hari itu.

Memuliakan Shree Guru Granth Saheb Ji

Saat hari ibadah umat Sikh tiba pada hari Minggu, kitab suci Shree Guru Granth Saheb Ji harus sudah ditempatkan dalam sebuah altar berbentuk kubah di ruang utama Gurdwara pada pagi hari. Ketika menjelang waktu Magrib, Shree Guru Granth Saheb Ji harus sudah disimpan kembali di tempat khusus yang berbentuk kamar sangat cantik dan bersih.
Tempat kitab suci Shree Guru Granth Saheb Ji saat ibadah selesai. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
Bagaimana tidak, balutan kain putih bergelayut di kasur hingga kerangkanya, lengkap dengan ornamen berwarna emas, serta bulu-bulu seperti kemoceng untuk melindungi kitab dari debu yang jatuh.
ADVERTISEMENT
Saat Shree Guru Granth Saheb Ji dibawa ke altar untuk dibaca bersama pun, kitab tersebut harus selalu dikipas-kipas menggunakan kemoceng untuk menghindari debu. Selain itu, banyak sekali lapis kain yang digunakan untuk menutupi kitab suci dari hal-hal kotor yang tidak diinginkan.
"Shree Guru Granth Saheb Ji tidak boleh ditaruh di bawah, dia harus lebih tinggi atau minimal dipangku. Guru Granth Saheb juga tidak boleh terkena debu, makanya banyak kain-kain dan kemoceng untuk menghindari debu itu," jelas Jaspal salah satu penganut Sikh.
Guru Granth Saheb Ji saat ditutup menggunakan berlapis-lapis kain. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
Meski begitu, menurut pendeta Giani Dalwinder Singh, kemuliaan Shree Guru Granth Saheb Ji tidak hanya dimiliki oleh umat Sikh, tetapi seluruh orang.
"Guru Granth Saheb ini universal bahwa siapapun yang ingin mendapatkan berkah dari sini boleh. Guru Granth Saheb ini tak hanya dimiliki oleh Sikh, tetapi semuanya. Karena di dalamnya mengandung ajaran Ketuhanan," jelas Giani.
ADVERTISEMENT