Mencari Solusi Terbaik Akhiri Konflik Gajah-Manusia di Aceh

22 Desember 2020 9:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepala BKSDA Aceh, Agus Arianto. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Kepala BKSDA Aceh, Agus Arianto. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Konflik antara gajah dan manusia masih tergolong tinggi di Aceh. Kehidupan hewan bertubuh besar itu masih saja terusik akibat ulah tangan jahat manusia. Sejak lima tahun terakhir, kehidupan gajah di ujung Sumatera itu belum merasakan kedamaian meski berada di habitatnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, sejak 2016-2020 konflik gajah dan manusia di Aceh terus mengalami peningkatan. Wilayah tertinggi terjadinya konflik meliputi Pidie, Aceh Jaya, Aceh Timur, Aceh Utara, dan Subulussalam.
Gajah Sumatera di Aceh. Foto: Chaideer Mahyudin/AFP
Di 2016 konflik gajah tercatat sebanyak 44 kasus, kemudian naik menjadi 103 di 2017. Konflik sempat menurun di tahun 2018 yakni 73 kasus, namun meningkatkan kembali di 2019 menjadi 107 kasus, dan di 2020 ditemukan sebanyak 102 kasus.
Kepala BKSDA Aceh, Agus Arianto, mengatakan, secara akumulasi dari 2016-2020 faktor kematian gajah 57 persen terjadi karena konflik, 33 persen karena mati alami, dan 10 persen karena perburuan.
“Tapi di 2020 ini hampir sebagian besar terjadi karena konflik,” kata Agus pada kumparan, Selasa (22/12).
Gajah Sumatera di Aceh. Foto: Chaideer Mahyudin/AFP
Di tahun 2020, sebut Agus, data kematian gajah dari Januari hingga 21 Desember 2020 tercatat 10 kasus. Yaitu ditemukan di Aceh Jaya sebanyak 6 ekor, 5 di antaranya sudah berupa tulang belulang, dan satu lagi jantan. Kemudian di Aceh Timur dua ekor berjenis kelamin betina, serta di Pidie dua ekor berjenis kelamin jantan dan satu lagi tidak diketahui.
ADVERTISEMENT
“Di Aceh ini ada tiga dari empat spesies kunci yang memiliki tingkat intensitas konfliknya cukup tinggi dengan manusia. Yaitu, selain harimau dan orangutan adalah gajah,” ungkapnya.
Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mengamati bangkai gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) jinak yang mati mendadak sebelum proses nekropsi di kawasan Conservation Response Unit (CRU) Sampoiniet, Aceh Jaya, Aceh, Kamis (13/8) Foto: Syifa Yulinnas/ANTARA FOTO
Untuk tingkat populasi gajah diperkirakan berjumlah sekitar 500 ekor tersebar di seluruh Aceh. Agus menyebutkan, tingkat populasi gajah di wilayah Aceh masih cukup baik. Bahkan, setiap kegiatan penanganan konflik petugas BKSDA juga kerap menemukan struktur umur yang berbeda mulai dari indukan hingga anaknya.
“Artinya bahwa perkembangbiakan ini masih bagus di Aceh. Salah satu hal menarik dibanding wilayah lain. Bahwasanya populasi dan jenis-jenis satwa liar pun masih banyak terdapat di Aceh,” ungkapnya.
Petugas melihat bangkai gajah Sumatera jantan yang mati di area perkebunan kelapa sawit PT Makmur Inti Bersaudara, Aceh. Foto: ANTARA FOTO/ Hayaturrahmah
Gubernur Aceh Bentuk Tim Penanganan Konflik Manusia dan Satwa Liar
Agus tak menampik konflik satwa liar dan manusia di Aceh akan terus tinggi. Apabila, upaya penanganannya tidak ditangani secara bersama-sama oleh pihak terkait dan juga pemerintah.
Petugas melihat bangkai gajah Sumatera jantan yang mati di area perkebunan kelapa sawit PT Makmur Inti Bersaudara, Aceh. Foto: ANTARA FOTO/ Hayaturrahmah
BKSDA tak bisa bekerja sendiri karena dibatasi oleh kewenangan. Karena itu, kata Agus, Gubernur Aceh melalui Surat Keputusan (SK) terbarunya tahun 2020 telah membentuk tim koordinasi dan penanganan terpadu penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar.
ADVERTISEMENT
“Ini merupakan revisi dari tahun sebelumnya. Di dalam tim ini terdapat instansi-instansi terkait maupun pemerintah daerah yang terlibat,” katanya.
Warga melihat bangkai Gajah sumatra yang ditemukan mati di kebun milik warga di Desa Tuha Lala, Kecamatan Mila, Kabupaten Pidie, Aceh, Rabu (9/9). Foto: Joni Saputra/Antara Foto
Agus menuturkan, hampir sebagian besar gajah berada di luar kawasan hutan atau konservasi seperti di perkebunan. Karena itu strategi yang diterapkan dalam rangka penanganan konflik ke depan, tidak hanya melibatkan pemerintah tetapi juga pihak swasta harus ikut berperan.
“Ke depan juga akan membangun Kawasan Ekosistem Esensial (KEE). Ini butuh komitmen para pihak untuk membangun koridor penyambung, antara wilayah jelajah gajah dengan kawasan hutan. Diharapkan harmonisasi antara manusia dan satwa liar bisa terwujud,” pungkasnya.