Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Menelisik Karya Warga Binaan di IPPAFest: Beragam Lukisan hingga Motor Restorasi
24 April 2025 10:15 WIB
·
waktu baca 6 menit
ADVERTISEMENT
Panas matahari masih terasa membakar kulit meski jarum jam sudah melewati pukul tiga sore. Namun, suasana tetap ramai. Tenda-tenda putih bederet rapi di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, tempat berlangsungnya Indonesian Prison Products and Arts Festival (IPPAFest) 2025.
ADVERTISEMENT
IPPAFest adalah festival tahunan yang memamerkan karya para warga binaan dari seluruh Indonesia yang digelar Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenimipas).
Festival ini sudah memasuki hari ketiga sejak digelar pada Senin (21/4), namun antusiasme pengunjung tidak juga surut. Dari berbagai penjuru lapangan, tenda pameran dari Kanwil Pemasyarakatan se-Indonesia menampilkan hasil karya unik, mulai dari makanan olahan, kerajinan tangan, hingga lukisan-lukisan yang menawan. Salah satu yang paling mencuri perhatian adalah Galeri Lukisan.
Galeri ini berdiri dalam sebuah tenda besar, di dalamnya, puluhan lukisan berbingkai kayu berjajar rapi di sepanjang dinding. Tema besar tahun ini adalah burung endemik Indonesia. Dan dari sana, para warga binaan menginterpretasikannya lewat kanvas-kanvas yang memukau.
Di sisi kiri pintu masuk, sebuah lukisan memikat mata: seekor burung hitam dengan sayap terentang lebar menari dalam semburat cahaya dramatis. Warna biru mengkilap di bulunya tampak menyala, dengan bunga-bunga kecil beterbangan di sekeliling kepala—lukisan ini seakan hidup, menangkap momen ketika burung itu sedang menari dalam ritual alamnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain ruangan, lukisan-lukisan burung dalam berbagai gaya berpadu. Ada yang digambarkan realis di tengah hutan basah, seperti burung merak jantan yang membentangkan ekornya berbentuk kipas, bulunya dihiasi bintik hijau keemasan yang tampak bercahaya.
Ada juga sebuah lukisan bergaya pop-art menampilkan burung garuda imajinatif yang tengah menerkam tikus, dengan sayap hitam legam dan garis merah-kuning menyala.
Sementara di salah satu sudut lainnya, terpajang lukisan burung merak yang berdiri anggun di atas cabang pohon yang berbunga. Latar langit biru dengan awan tipis dan semburat matahari senja memperkuat kesan megah. Bulu ekornya memanjang ke bawah, dihiasi “mata” warna hijau zamrud yang nyaris seperti batu permata.
Ryo, seorang petugas dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenimipas, berdiri menjaga tenda tersebut. Ia adalah penanggung jawab galeri ini.
ADVERTISEMENT
“Untuk keseluruhan total sekitar 70 lukisan yang sudah kami terima untuk nominal yang sudah terjual dan lukisan yang sudah terjual itu sedang kami hitung,” ujar Ryo saat di wawancara, Rabu (23/4).
Beberapa lukisan berukuran besar, 150x80 cm, disiapkan khusus untuk dilombakan. Namun seluruh karya bisa dijual ke pengunjung. Harganya pun bervariasi.
“Range itu karena lukisan, kan ada dua tipe gitu kan. Yang pertama yang dilombakan. Yang dilombakan itu dengan dimensi 150x80 cm. Kalau misalnya di luar ketentuan itu dipersilakan tapi range-nya juga pasti berbeda. Untuk range harga dengan dimensi seperti itu mulai dari harga 1 juta ada sampai 10 juta,” jelas Ryo.
“Kami pamerkan dulu, lalu juri menilai, lalu dilombakan. Kebetulan di hari pertama itu yang pemenang juara itu langsung dilelang,” tambahnya.
Lukisan juara pertama adalah lukisan garuda berwarna coklat. Karya ini berhasil menarik perhatian Menteri UMKM. “40 juta itu lukisan garuda saya ingat. Warna coklat,” kata Ryo. “Yang beli itu Pak Menteri UMKM,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Jika ditotal, penjualan dari galeri lukisan saja sudah mengumpulkan uang dalam jumlah signifikan. “Iya, itu yang dilelang aja udah sekitar hampir (total) Rp 100.000.000 ataupun Rp 100.000.000 lebih dikit lah antara itu,” lanjut Ryo.
Namun, bagaimana dengan hasil penjualannya? Apakah sampai ke tangan warga binaan?
“Iya, pertama kan dari range harga yang mereka tetapkan itu kan, mereka kan sudah terhitung dari ongkos produksi gitu kan. Terus yang ongkos kirim kemungkinan ada yang diakomodir dari pihak UPT-nya gitu. Terus bisa jadi untuk preminya itu dari hasil lukisan mereka itu minimal 10% dari harga jual,” jelas Ryo.
“Iya, buat di rutan juga, nanti pengembangan fasilitas. Minimal 10% dari harga jual yang didapat oleh narapidana,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Namun, lebih dari sekadar memberi kesempatan untuk berkarya, hasil penjualan ini menjadi bekal penting bagi mereka setelah kembali ke masyarakat. Setiap karya yang mereka ciptakan menjadi sumber pendapatan yang dapat membantu mereka membangun kembali hidupnya setelah menjalani hukuman.
Tak jauh dari galeri, suasana tak kalah menarik terlihat di tenda pameran milik Kanwil DKI Jakarta. Pameran ini memamerkan hasil karya yang jauh lebih beragam, mulai dari batik, kerajinan kayu, hingga motor besar hasil restorasi warga binaan.
Dahlia, petugas yang tengah berjaga dari Lapas Narkotika UPT Lapas Rutan Jakarta Timur, menunjukkan satu per satu barang yang dipajang.
“Barang-barang di sini itu banyak. Dari ada lukisan, hasil karya warga binaan ya semuanya. Itu ada tas rajut, itu dari Rutan Pondok Bambu. Ada tempat tisu, ada sandal, ada telur, ada sayuran. Ada string art, ada batik juga gitu. Jadi semuanya benar-benar hasil karya warga binaan,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Harganya pun sangat ramah di kantong. Rentang harga di booth tersebut mulai dari Rp 5.000 hingga Rp 1 juta rupiah.
“Di sini ada dari harga Rp 10 ribu, Rp 5 ribu ada juga. Rp 5 ribu itu sayuran. Sampai harga Rp 1 juta untuk lukisan,” ujarnya.
Dahlia juga bercerita, sempat ada lukisan yang dibeli Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto.
“Kemarin sempat Pak Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan itu beli hasil lukisan warga binaan Lapas Salemba itu di range harga Rp 15 juta,” jelas dia.
“Lukisannya sudah dibawa Pak Menteri langsung. Jadi hari itu beliau lihat, beliau langsung bawa pulang,” tambahnya.
Kemudian hal yang paling menarik perhatian pengunjung, kata dia, adalah motor hasil restorasi warga binaan. “Kalau itu hasil restorasi dari Lapas Salemba. Restorasi motor itu kerja sama sama OTO,” kata Dahlia. “Itu dari motor yang biasa aja jadi luar biasa. Jadi benar-benar dimodifikasi gitu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Batik ecoprint pun menjadi salah satu andalan. Ia menjelaskan bahwa kegiatan membatik dan eco printing juga diajarkan di dalam lapas.
“Itu ada di Lapas Cipinang juga ada, Rutan Pondok Bambu juga ada. Itu eco print buat tas juga dia,” jelas Dahlia.
Bagaimana dengan hasil penjualan di tenant ini? Sama seperti galeri, hasilnya tidak sepenuhnya masuk ke sistem, tetapi juga dikembalikan kepada warga binaan.
“Hasilnya itu nanti buat pengembangan di Lapas rutan juga. Nanti kembalikan juga nanti untuk warga binaan juga. Buat pengembangan di Lapas rutan di Jakarta,” kata Dahlia. “Iya betul, bagi hasil buat DKI Jakarta. Untuk Lapas Rutan,” tutupnya.
Di balik dinding-dinding penjara yang membatasi fisik, kreativitas para warga binaan justru menembus batas. Mereka berkarya, mereka mencipta, dan lewat IPPAFest, karya-karya itu kini dilihat dan diapresiasi.
ADVERTISEMENT
Sebuah jendela kecil yang membuka harapan besar bagi mereka yang siap melangkah kembali ke masyarakat dengan bekal keterampilan dan pengalaman baru.