news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Menelusuri Jejak Konten Porno dari Masa ke Masa

8 April 2022 20:36 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pornografi. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pornografi. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Gusti Ayu Dewanti atau yang dikenal dengan nama beken Dea Onlyfans belakangan ini jadi perbincangan lantaran menyebarkan konten pornografi. Dia pun ditetapkan sebagai tersangka, namun tidak ditahan.
ADVERTISEMENT
Perkara ini juga menyeret komika Marshel Widianto yang membeli foto dan video tanpa busana milik Dea.
Dea Onlyfans (tengah) bersama tim kuasa hukumnya di Polda Metro Jaya, Senin (4/4). Foto: Jonathan Devin/kumparan
Kasus penyebaran konten pornografi seperti yang dilakukan Dea Onlyfans bukanlah hal baru di Indonesia. Sejumlah public figure seperti Ariel Peterpan, Gisel Anastasia pernah berurusan dengan hukum karena video porno.
Pun demikian dengan artis papan atas luar negeri: Kim Kardashian, Paris Hilton, model majalah Playboy Pamela Anderson, dan lainnya. Saking seringnya, kemunculan video porno yang melibatkan para artis disebut-sebut sebagai kiat marketing untuk menambah popularitas, walau tak sedikit yang kariernya hancur. Bahkan, konten diperjualbelikan dan menjadi industri yang ‘menguntungkan’.
Lantas, bagaimana asal usul video porno—atau lebih jauh lagi, bagaimana sebenarnya sejarah pornografi?

Pornografi di Dunia

Pornografi bisa dikatakan sebagai representasi dari perilaku seksual yang muncul di buku, gambar, patung, film, atau medium lain yang bertujuan mengundang hasrat seksual.
ADVERTISEMENT
Awalnya, kata pornografi–yang berasal dari bahasa Yunani porni (prostitusi) dan graphein (tulis)–didefinisikan sebagai setiap karya seni yang menggambarkan kehidupan pelacur, dikutip dari Britannica.
Sejarah awal pornografi sebenarnya sulit ditentukan, sebab penafsiran soal pornografi itu cukup subjektif. Suatu gambar bisa saja dianggap erotis atau bahkan religius oleh sebuah komunitas, tapi bisa dianggap pornografi oleh komunitas lainnya.
Para turis Eropa di India pada abad ke-19, misalnya, terkejut karena melihat apa yang menurut mereka representasi pornografi berupa hubungan seksual yang terdapat pada relief di kuil-kuil di India.
Ekspresi aktivitas seksual dalam konteks keagamaan sebenarnya sering ditemukan di sejumlah negara, terutama dalam literatur. Kama Sutra, literatur berbahasa Sanskrit dari abad ke-5, menggambarkan jenis-jenis gerakan dalam bercinta. Gerakan tersebut diyakini sebagai bentuk komunikasi kepada para dewa melalui proses hubungan seksual.
ADVERTISEMENT
Pornografi di Eropa pada abad pertengahan lebih banyak muncul melalui syair, buku, dan lelucon. Penyair Roma, Ovid, menulis soal seni merayu dan membangkitkan birahi seksual dalam karya yang berjudul Ars amatoria (Seni Bercinta).
Buku The Decameron karya Giovanni Boccaccio. Foto: Dok. Istimewa
Karya lain yang cukup terkenal adalah The Decameron karya penulis Italia abad ke-14 Giovanni Boccaccio. Lewat buku ini, Boccaccio mengungkapkan ekspresi pornografi lewat 100 cerita bernada cabul.
Buku-buku porno tumbuh subur di era Victoria. Tahun 1837, lebih dari 50 persen dari toko-toko di Holywell Street, Inggris dikenal menjual buku-buku erotis. Di masa itu, buku berjudul My Secret Life terkenal karena menceritakan tentang laki-laki yang mencari kepuasan seksualnya.
Ilustrasi toko buku di Holywell Street, Inggris era victoria. Foto: clu/Getty Images
Jepang termasuk negara yang memiliki budaya erotis visual yang sangat berkembang, bahkan disebut mainstream dan tak bisa digolongkan sebagai ‘pornografi’.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum kemunculan JAV (Japan Adult Video) alias video porno Jepang, gambar-gambar rumit tentang hubungan seksual telah beredar sejak abad ke-17. Gambar itu ditujukan untuk memberikan pendidikan seks bagi para profesional medis, pasangan yang sudah menikah, dan pelacur.
Kemunculan karya pornografi memuncak pada periode Tokugawa (1663-1867). Seiring dengan ditemukannya teknologi cetak berwarna, lukisan-lukisan erotis yang disebut shunga makin mudah diproduksi.
Ilustrasi karya seni erotis. Foto: Leto RA/Shutterstock
Pada abad ke-19, penemuan fotografi dan film makin mempermudah produksi konten pornografi. Usai kemunculannya pada 1920-an, film porno mencapai ‘puncak popularitas’ pada tahun 1960-an.
Distribusi film porno semakin luas saat video kaset dikembangkan tahun 1980-an dan DVD tahun 1990-an. Bahkan, kala internet banyak diakses orang, film porno menjelma jadi industri yang sangat menjanjikan, sebab memberikan keuntungan yang besar.
ADVERTISEMENT

Pornografi di Indonesia

Di Indonesia, barang-barang berbau pornografi mulai masuk di masa penjajahan Belanda melalui pedagang. Mereka membawa barang tersebut karena mereka menilai Indonesia yang menjunjung adat ketimuran masih menganggap pornografi sebagai hal tabu.
Tak jauh berbeda dengan negara lain, penyebaran video porno di Indonesia juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Film erotis diketahui beredar tahun 1929 dengan judul Resia Boroboedoer yang pertama kali memuat adegan ciuman dan perempuan berbikini di Jakarta.
Tahun 1950-an, seorang aktris bernama Nurnaningsih dikenal karena adegan ‘vulgar’-nya di sejumlah film, seperti Krisis dan Harimau Tjampa. Aktris bom seks pertama Indonesia itu bahkan berani bugil demi peran.
Nurnaningsih aktris Indonesia era 1950-an. Foto: Dok. Istimewa
Film erotis makin menjamur di era 1990-an. Kala itu, film-film beradegan erotis kian banyak diproduksi. Misalnya, Ranjang yang Ternoda (1994), Gairah Malam (1993), Perempuan di Persimpangan Jalan (1993), dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2000-an, video-video porno seperti Bandung Lautan Asmara, Honeymoon, dan Casting Sabun menghebohkan publik. Sebelum ada internet, konten 'haram' itu beredar melalui keping Video Compact Disc (VCD).
Tahun 2002 dan 2004, sekeping VCD berisi video Bandung Lautan Asmara jilid I dan II serta video Honeymoon dijual dengan harga Rp 75-150 ribu. Saking banyaknya peminat, stok VCD itu sempat langka di pasaran, sebagaimana dikutip dari Detik.
Meski tak semurah nan semudah VCD, medium distribusi lain seperti VHS dan kaset Betamax juga banyak digemari sejak 1980-an. Biasanya orang akan menyewa atau rental film porno secara ilegal.
Video-video porno terus beredar, terlebih di masa ponsel sudah memiliki kamera, infrared, dan bluetooth. Istilah ‘video 3GP’ pun dikenal untuk mewakili video porno.
ADVERTISEMENT
Di masa saat internet belum mudah diakses, istilah tersebut datang dari format video ‘.3gp’. Format ini memungkinkan video porno dikirim dalam ukuran yang kecil.
Video-video porno artis Indonesia merupakan salah satu dari konten porno yang beredar menggunakan format 3GP.
Ilustrasi pedofil melihat foto-foto anak di media sosial Foto: Shutterstock
Seiring berjalannya waktu, distribusi video ‘esek-esek’ jadi lebih mudah lewat internet. Situs web terkait pornografi mulai jadi tempat favorit.
Tak hanya dari situs, kini konten porno bisa diakses dari media sosial. Bentuknya pun bukan cuma foto dan video saja, melainkan live streaming, saweran, hingga teknologi VR (Virtual Reality).
Bahkan ini menjadi ‘ladang’ keuntungan, seperti yang dilakukan Dea dan Siskaeee lewat akunnya di Onlyfans. Tak tanggung-tanggung, setiap konten yang diunggah itu dapat menghasilkan Rp 15 juta hingga Rp 20 juta dari subscriber atau member di aplikasi.
ADVERTISEMENT
Selain Onlyfans, konten porno juga beredar di sejumlah platform lain. Beberapa di antaranya kini sudah diblokir Kominfo.
Indonesia punya beberapa aturan terkait penyebaran video porno. Pada kasus Dea Onlyfans, misalnya, Dea terjerat Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) tentang undang-undang ITE dan Pasal 26 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Pasal 45 ayat (1) UU ITE berbunyi:

'Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).'

Sedangkan bunyi Pasal 29 pada UU pornografi adalah:

'Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).'
ADVERTISEMENT