Menengok Cara Prefektur Akita Turunkan Angka Bunuh Diri di Jepang

8 April 2019 15:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Prefektur Akita Jepang. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Prefektur Akita Jepang. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Selama hampir dua dekade terakhir, prefektur Akita memiliki angka bunuh diri warga tertinggi di seluruh Jepang. Namun kini, angkanya menurun tajam berkat upaya yang dilakukan warganya. Jaringan warga pencegah bunuh diri di Akita terjalin luas, memberikan harapan bagi mereka yang ingin mengakhiri hidup.
ADVERTISEMENT
Diberitakan Reuters, Senin (8/4), saat ini angka bunuh diri di Jepang turun 40 persen dalam 15 tahun, melampaui target pemerintah. Akita adalah yang paling sukses, bunuh diri di prefektur ini mencapai angka terendah dalam 40 tahun.
Biasanya bunuh diri terjadi di Jepang bukan hanya karena depresi atau stres, tapi juga menghilangkan malu dan menjaga martabat. Pemerintah Jepang baru menyadari krisis ini pada 2003 ketika angka bunuh diri mencapai 34.327 orang di tahun itu.
Angka bunuh diri Akita turun dari 44,6 per 100 ribu orang pada 2003 menjadi 20,7 pada 2018. Di seluruh Jepang angka bunuh diri turun menjadi 20.598 dari angka 2003. Jepang menargetkan angkanya terus turun jadi 13 per 100 ribu pada 2027. Sebagai perbandingan, angka bunuh diri di Amerika Serikat -negara dengan populasi dua kali lipat dari Jepang- adalah 14 per 100 ribu orang.
Ilustrasi Prefektur Akita Jepang. Foto: Shutter Stock
Pada 2007 pemerintah Jepang melancarkan rencana pencegahan bunuh diri. Hasilnya kini perusahaan-perusahaan di Jepang mudah memberi cuti agar karyawan tidak stres, memberi dukungan psikologis, dan menegakkan peraturan lembur. Pemerintah juga mewajibkan uji stres tahunan untuk perusahaan dengan lebih dari 50 karyawan.
ADVERTISEMENT
Pada 2016, pencegahan bunuh diri menjadi misi nasional dan daerah-daerah di Jepang bebas mengembangkan sendiri strategi mereka dengan dana dari pemerintah. Akita adalah yang paling sukses.
Jaringan Penolong
Sebelumnya bunuh diri merajalela di Akita. Wilayah dengan 981 ribu orang ini terpencil, pekerjaan minim, utang warga menumpuk, banyak lansia, ditambah musim dingin yang panjang, memicu penumpukan tingkat depresi.
Kini warga di Akita punya jaringan-jaringan penolong bunuh diri terbesar di Jepang. Jaringan ini terdiri dari pekerja medis dan para sukarelawan.
Ilustrasi warga Jepang Foto: Pixabay
Para sukarelawan warga ini dilatih untuk mendeteksi depresi dan membantu mereka yang berniat bunuh diri. Sejak 2017 telah ada 3.000 warga Akita yang menjalani pelatihan ini. Targetnya adalah 10 ribu orang, atau satu untuk setiap 100 orang pada 2022.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang dilakukan relawan adalah "mendengarkan". Mereka siap memasang telinga untuk mendengarkan curahan hati warga. Salah satu relawan adalah Ume Ito, 73, yang pernah berjam-jam mendengarkan keluh kesah warga yang depresi.
"Sekitar 70-80 persen dari mereka mengatakan ingin mati, tapi ketika mereka berbicara, mereka berhenti memikirkan soal bunuh diri dan akhirnya mengatakan 'saya tidak sabar bertemu Anda'," kata Ito.
Salah satu klien Ito adalah Sumiko. Perempuan berusia 73 tahun ini mengalami kelumpuhan setelah jatuh. Dia sendirian di rumah selama berhari-hari sebelum putranya pulang di malam hari.
"Saya kira saya akan ada di kasur seumur hidup," kata Sumiko.
"Jika tidak ada dia (Ito) maka sangat menyedihkan. Saya tidak bisa menceritakan kepada keluarga saya semua yang ada di hati," kata Ito.
Ilustrasi Depresi. Foto: Shutter Stock
Salah satu jaringan lainnya bernama "Kumonoito" atau "jaring laba-laba" yang dibangun oleh Hisao Sato. Jaringan Kumonoito berisi pengacara dan ahli finansial yang membantu orang yang kesulitan memanajemen keuangan mereka.
ADVERTISEMENT
Sebanyak 60 persen dana jaringan ini dari pemerintah Akita, sisanya donasi. Saat ini, jaringan Kumonoito menjadi percontohan bagi program nasional pencegahan bunuh diri.
Sato, 75, sendiri pernah menderita depresi ketika bisnisnya runtuh pada 2000. "Ketika itu salah satu kawan saya lompat dari jembatan. Saya marah, saya tidak ingin mereka bunuh diri," kata Sato.
Warga Akita bersyukur dengan keberadaan jaringan-jaringan pencegah bunuh diri ini. Salah satunya adalah Taeko Watanabe yang putranya, Yuki, bunuh diri pada 2008 lalu.
Watanabe mengatakan, jika putranya menghadapi depresi saat ini situasinya akan berbeda. "Dia tidak akan mati. Banyak orang yang bisa mencegahnya," kata Watanabe.
----------------------------------------------------
Anda bisa mencari bantuan jika mengetahui ada sahabat atau kerabat, termasuk diri anda sendiri, yang memiliki kecenderungan bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Informasi terkait depresi dan isu kesehatan mental bisa diperoleh dengan menghubungi dokter kesehatan jiwa di Puskesmas dan Rumah Sakit terdekat, atau mengontak sejumlah komunitas untuk mendapat pendampingan seperti LSM Jangan Bunuh Diri via email [email protected] dan saluran telepon (021) 9696 9293 serta Yayasan Pulih di (021) 78842580.