Menengok Kebijakan Sekuler Ataturk di Turki yang Diubah Erdogan

19 Oktober 2021 16:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengunjungi Hagia Sophia di Istanbul, Turki. Foto: Murat Cetinmuhurdar / via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengunjungi Hagia Sophia di Istanbul, Turki. Foto: Murat Cetinmuhurdar / via REUTERS
ADVERTISEMENT
Presiden Recep Tayyip Erdogan dikenal sebagai tokoh paling berpengaruh Turki setelah Bapak Bangsa Mustafa Kemal Ataturk. Dalam langkahnya sebagai pemimpin negeri dua benua, Erdogan mengubah sejumlah warisan sang tokoh sekuler.
ADVERTISEMENT
Dosen Sekolah Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia, M. Sya’roni Rofii, menjelaskan sejumlah perbedaan antara kebijakan Ataturk dan Erdogan. Perbedaan itu menyusul konsep awal Erdogan: Turki yang lebih fleksibel.
“Erdogan naik pada 2002, mengusung konsep berbeda, konsep awalnya memang membuat Turki tidak terlalu kaku seperti yang dilakukan pendahulunya. 2002 jadi titik balik, pelan-pelan Erdogan memperkenalkan konsep progresif,” jelas Sya’roni kepada kumparan, Selasa (19/10).
“Hak sipil harus diberikan seluas-luasnya. Turunan dari hak sipil itu, misalkan orang mau pakai jilbab, ya, biarkan, karena itu hak asasi mereka,” lanjutnya.
Infografik Kontroversi Ataturk. Foto: Tim Kreatif kumparan
Seperti diketahui pada rezim Ataturk, sekularisme atau laikisme diperkenalkan. Sekularisme atau laikisme adalah pemisahan urusan negara dan agama.
Tak sedikit warga yang dilarang untuk menggunakan atribut agama atau kebudayaan kental, seperti topi fez untuk pria dan hijab untuk wanita.
ADVERTISEMENT
Tetapi dengan naiknya Erdogan sebagai perdana menteri dan berkuasanya Partai AK pada 2002, ia mulai perlahan-lahan mengikis warisan Ataturk dan penerusnya.
Berikut beberapa kebijakan sekuler Ataturk yang diubah atau bahkan di ganti oleh Erdogan:
Sejumlah wanita mengibarkan bendera menjelang salat Jumat perdana di luar Masjid Agung Hagia Sophia, di Istanbul, Turki, Jumat (24/7). Foto: REUTERS

Wanita Diizinkan Pakai Hijab di Publik

Sya’roni menjelaskan, pada rezim Ataturk dan penerusnya, wanita tidak diizinkan menggunakan hijab saat berada di ruang publik.
“Turki kan dulu, kalau orang mau ke kampus itu tidak boleh pakai jilbab. Kalau mau ke universitas, ya sudah, lepas jilbab. Karena yang masuk ke kampus-kampus negeri itu mereka taat pada aturan negara. Makanya, orang Turki sedikit yang pakai jilbab,” jelasnya.
Tetapi, dengan naiknya Erdogan, warisan Ataturk itu mulai dihilangkan. Erdogan, sebagai seorang Muslim konservatif, mulai mengizinkan wanita menggunakan jilbab di ruang publik, termasuk universitas.
ADVERTISEMENT
Erdogan pun menjadi PM pertama Turki yang istrinya merupakan pengguna hijab.
“Kemudian yang lainnya, tentara [wanita] sekarang boleh pakai jilbab, di universitas sudah biasa. Yang terbaru ini ketika Erdogan membolehkan wanita berjilbab di lingkungan polisi maupun tentara,” papar penulis buku Islam di Langit Turki ini.
Dikutip dari BBC, pada 2017, aturan larangan berhijab bagi wanita di kepolisian dan militer dicabut oleh pemerintahan Erdogan.
Hagia Sophia, Turki. Foto: Ozan Kose/AFP

Mengubah Hagia Sophia Kembali Menjadi Masjid

Salah satu perubahan besar pada warisan sekularisme Ataturk adalah diubahnya kembali Hagia Sophia, Istanbul, menjadi masjid.
“Warisan misalkan Hagia Sophia. Hagia Sophia itu dulunya masjid di zaman Ottoman, kemudian di zaman Ataturk dikonversi jadi museum. Di zamannya Erdogan dikonversi lagi menjadi masjid,” ungkap Sya’roni.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Deccan Herald, Masjid Hagia Sophia ditutup oleh Ataturk pada 1930. Empat tahun berselang, ia membuka kembali Hagia Sophia--kali ini sebagai museum, untuk memperkuat kredensial Turki sebagai negara sekuler dan memisahkan dari bayang-bayang Ottoman.
Namun, pada Juli 2020, hampir 90 tahun setelahnya, Erdogan mengembalikan fungsi Hagia Sophia sebagai masjid.

Pembangunan Masjid Besar di Wilayah Plaza Taksim

Salah satu “tantangan” dari Erdogan pada warisan Ataturk adalah dengan membangun masjid besar di Plaza Taksim, Kota Istanbul. Menurut Sya’roni, wilayah Taksim dikenal sebagai kawasan komunitas sekuler.
Masjid Taksim yang baru dibangun terlihat di Taksim Square sesaat sebelum diresmikan di pusat Istanbul, Turki, Jumat (28/5). Foto: Dilara Senkaya/Reuters
“Di Turki ada daerah Taksim, di Taksim ada Monumen Ataturk dan monumen kalangan nasionalis. Di daerah sana dikenal sebagai kawasan kelompok sekuler atau liberal,” kata dia.
ADVERTISEMENT
“Baru-baru ini Erdogan meresmikan sebuah masjid yang sangat besar di sana. Dulu ada peristiwa, gerakan menolak ide pembangunan masjid. Tapi baru-baru ini Erdogan membangun masjid besar sekali di situ.”
Pada Mei 2021, Presiden Erdogan meresmikan sebuah masjid megah dengan kubah setinggi 30 meter. Bangunan suci tersebut menjulang di hadapan Monumen Republik. Tetapi, pembangunan di area Gezi Park ini mendapatkan penolakan dari banyak pihak.
Warga berdemonstrasi menolak rencana pembangunan di wilayah tersebut pada 2013. Salah satu hal yang ditentang oleh warga, dikutip dari BBC, adalah penghilangan area hijau dan akses ke plaza Taksim akan menjadi terlalu ketat.

Warga Turki Boleh Merayakan Hari Besar Agama Terang-terangan

Menurut Sya’roni, salah satu perubahan yang sangat mentereng adalah warga dapat merayakan hari keagamaan secara terang-terangan.
ADVERTISEMENT
“Perayaan acara-acara keagamaan tidak lagi sembunyi-sembunyi. Acara maulid, acara keagamaan sekarang sudah bisa diselenggarakan secara terbuka, bahkan menjadi acara negara. Bahkan bisa disiarkan di televisi secara langsung,” ungkap dia.
Warga berkumpul untuk salat malam setelah keputusan pengadilan yang memutuskan museum Hagia Sophia kembali menjadi masjid, di Istanbul, Turki, Jumat (10/7). Foto: Murad Sezer/REUTERS
Seperti diketahui, di zaman pemerintahan Ataturk, hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan sangat dibatasi.
Menurut Sya’roni, hal ini disebabkan oleh pandangan Ataturk saat itu, di mana jika ingin “maju”, maka berkacalah dengan negara-negara Barat. Jika ingin “mundur”, lihatlah Timur Tengah.
Ataturk saat muda mendapatkan kesempatan untuk belajar di Prancis. Itulah mengapa, dirinya menganut dan mengaplikasikan sistem pemerintahan sekuler Prancis.
“Saya tidak bisa membayangkan di zaman Ataturk atau setelah-setelahnya, acara Maulid diselenggarakan di ruang publik, itu susah dibayangkan. Tapi sekarang, semua [acara keagamaan di publik sudah menjadi biasa saja,” paparnya.
ADVERTISEMENT