Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Menerka Jumlah Kucing di Jakarta hingga Tahun 2021
11 Januari 2019 18:57 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:49 WIB
ADVERTISEMENT
Jakarta merupakan kota terpadat di Indonesia. Dalam sensus penduduk yang dirilis BPS pada 2017, penduduk Jakarta berjumlah 10,37 juta orang. Meski demikian, manusia bukan satu-satunya spesies yang mengisi kota tersebut. Ada makhluk hidup lain yang juga hidup berdampingan dengan manusia, kucing salah satunya.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, tahukah kamu berapa jumlah kucing yang mengadu nasib di Jakarta?
Pertanyaan itu erat kaitannya dengan aksi Pemprov DKI Jakarta yang gencar merazia kucing di berbagai sudut kota belakangan ini. Razia itu dipicu potensi penyakit rabies dan ledakan populasi kucing yang dinilai akan mengganggu ketenteraman manusia Ibu Kota.
Kabar mengenai razia kucing itu sendiri mengemuka sejak dua pekan terakhir. Razia itu bahkan menyulut kontroversi. Adalah kelompok aktivis hewan Jakarta Animal Aid Network (JAAN) yang menilai menangkap kucing dengan menggunakan jaring hanya akan menyakiti hewan tersebut.
Polemik itu pun diredam Gubernur DKI Anies Baswedan pada Selasa (8/1). Anies menginstruksikan dinas terkait untuk menunda pelaksanaan razia. Dia juga meminta dinas untuk menggandeng kelompok aktivis hewan.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, razia terhadap kucing di jalan sebetulnya sudah mengemuka sejak November 2018. Waktu itu, Suku Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Perikanan (DKPKP) Jakarta Timur menggelar penangkapan kucing untuk dikebiri.
"Anjing populasinya tidak meledak sebanyak kucing. Kita fokus kucing karena memang banyak sekali," kata Kepala Seksi Peternakan Sudin DKPKP Jakarta Timur Irma Budiarti, Kamis (15/11).
Berdasarkan data DKPKP, jumlah kucing yang terdata di Jakarta sepanjang 2018 mencapai 29.504 ekor. Jumlah itu merupakan gabungan antara kucing liar yang ditangkap pada saat penertiban, kucing yang divaksinasi (berpemilik) dan yang disterilisasi (berpemilik), ditambah kucing liar yang disterilisasi di beberapa lokasi. Tentunya, karena tidak melalui sensus, angka itu tidak secara akurat merepresentasikan seluruh jumlah kucing.
ADVERTISEMENT
Meski tidak akurat, angka itu menjadi acuan bagi DKPKP untuk menggambarkan jumlah kucing di Jakarta. Kemampuan melahirkan 12 ekor anak kucing dari satu kucing betina pun menjadi titik tolak. Yakni suatu saat nanti, jika tidak dikontrol, jumlah kucing di Jakarta akan semakin banyak.
Sebanyak apa?
Untuk memprediksi potensi meningkatnya jumlah kucing di Jakarta, kumparan berupaya menghitung total jumah kucing dari tahun ke tahun. Caranya, melalui pemodelan matematis sederhana. Variabel pengukurnya berupa tingkat kematian kucing per tahun, usia maksimum, potensi kucing betina melahirkan, potensi jumlah kelahiran anak, kemampuan anak bertahan hidup, serta rasio betina dari tiap anak yang dilahirkan.
Variabel ukur itu kumparan peroleh dari situs calculate-this.com. Sebuah situs yang menyediakan berbagai rumus perhitungan. Walaupun, situs itu mengaku rumus yang mereka sajikan lebih bersifat hiburan. Tidak murni ilmiah.
ADVERTISEMENT
Berikut variabel pengukur dalam calculate-this.com:
- Kucing betina dewasa rata-rata memiliki 12 anak kucing per tahun
- Jumlah anak kucing yang berhasil dilahirkan 85%
- Rasio jantan yang dilahirkan 54,5%, betina 46,5%
- Rasio kematian tahunan 20%
- Rasio kebiri 35% pada kucing betina
Berdasarkan enam variabel pengukur di atas, kumparan menyisihkan variabel terakhir, yakni rasio kebiri. Hal itu dilakukan untuk menyingkirkan faktor intervensi manusia dalam pemodelan matematika tersebut.
Selanjutnya, sebanyak 29.504 ekor kucing yang terdata itu anggaplah merepresentasikan jumlah kucing di Jakarta tahun 2018. Sudin DKPKP sendiri tak merinci berapa jumlah jantan dan betina dari angka tersebut.
Untuk menyiasati kurangnya informasi atas berapa angka kucing betina, kumparan mengacu kepada rasio jantan dan betina dari variabel pengukur di atas. Angka yang dihasilkan jelas penuh asumsi dan pengandaian. Namun paling tidak, dengan cara itu, didapat kucing jantan berjumlah 15.785 ekor, sedangkan betina berjumlah 13.719 ekor. Angka-angka ini merupakan pembulatan dari bilangan desimal yang muncul.
ADVERTISEMENT
Usai mengetahui jumlah jantan dan betina di 2018, cara selanjutnya adalah dengan memasukkan variabel pengukur itu ke dalam rumus di aplikasi pengolah angka, Google Spreadsheet. Jumlah kucing betina akan ditempatkan sebagai acuan, dengan ditambah dan dikurangi variabel pengukur lainnya.
Misal, untuk menghitung potensi jumlah kucing padai 2019 dapat dilakukan dengan skema hitung-hitungannya sebagai berikut:
Total kucing di Jakarta tahun 2019 = 80 persen dari total kucing di Jakarta tahun 2018 + (Jumlah kucing betina tahun 2018 dikali potensi anak yang lahir per tahun) - (Jumlah anak dikali rasio kematian saat kelahiran sebanyak 15%)
Dengan demikian, jumlah kucing di tahun 2019 = 80% X ((29.504 + (13.719 X 12) - (164.632 X 15%)). Maka hasilnya adalah: 135.553 ekor.
ADVERTISEMENT
Prinsip hitungan yang serupa berlaku untuk tahun-tahun ke depan. Dengan cara yang sama, jumlah kucing di tahun 2020 mencapai 622.786 ekor. Sementara di tahun 2021 jumlahnya meningkat menjadi 2.861.326 ekor.
Sebetulnya, dengan perhitungan tersebut jumlah kucing di Jakarta dapat disimulasikan hingga puluhan tahun ke depan, bahkan hingga tak terhingga. Persoalannya, jumlah kucing yang diperoleh melalui rumus itu akan mencapai angka yang fantastis, sulit untuk diterima akal sehat.
Angka yang fantastis timbul lantaran variabel pengukur yang disebutkan itu begitu simplifikatif. Ada sejumlah faktor lain yang diabaikan dalam pemodelan matematika sederhana yang kumparan lakukan. Misalnya, mengenai tingkat kematian kucing yang berbeda di tiap wilayah, potensi hidup anak kucing, serta sederet faktor lainnya yang perlu diraih berdasarkan observasi di lapangan terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari itu, isu mengenai ledakan populasi kucing sendiri bukanlah barang baru. Di Amerika Serikat misalnya, National Geographic pada 2004 menurunkan artikel yang menyebut populasi kucing liar sudah menjadi masalah baru di AS. Disebutkan bahwa ada 70 juta kucing liar di AS pada tahun tersebut.
Sejumlah masalah yang muncul adalah berkurangnya populasi burung secara signifikan di AS lantaran dimangsa kucing, hingga perkara kotoran kucing yang dinilai dapat mengganggu kesehatan manusia.
Untuk itu, pemerintah AS pun serius untuk menyelesaikanya. Di negara bagian Illinois misalnya, terdapat UU yang mengatur mengenai vaksinasi serta sterilisasi (kebiri) kucing liar.
Di Jakarta, semangat mengurangi jumlah populasi kucing memang tidak seekstrem di Illinois yang memiliki UU depopulasi kucing. Kabid Peternakan dan Kesehatan Hewan Sudin DKPKP DKI Jakarta Sri Hartati mengatakan, paling tidak depopulasi yang direncanakan itu untuk menyeimbangkan ekosistem.
ADVERTISEMENT
“Dalam mempertahankan bebas rabies ada aturannya. Satu vaksinasi, kedua survei langsung, benar tidak disuntik, kebal atau tidak populasi kita. Yang ketiga depopulasi dengan cara sterilisasi supaya tidak meningkat populasi,” kata Sri saat dijumpai di Kantor DKPKP DKI Jakarta, Jumat (11/1).
Upaya kebiri terhadap kucing sendiri ditanggapi positif oleh kelompok aktivis hewan. Sekretaris Garda Satwa Indonesia Anisa Ratna Kurnia mengatakan, upaya mengkebiri kucing memang merupakan hal yang lumrah.
“Kalau mas masih lihat ada kucing di jalanan berarti kita sudah over populasi karena standarnya adalah kucing dan anjing itu tinggal di dalam rumah,” kata Anisa saat dihubungi kumparan, Jumat (11/1).
ADVERTISEMENT
Persoalannya, kata dia, razia yang dilakukan pemprov tidak sesuai dengan standar penanganan hewan yang seharusnya. Sejumlah persiapan lain yang dirasa kurang seperti minimnya jumlah shelter yang dimiliki pemprov, hingga kemampuan pemrov dalam menanggapi laporan yang masuk dari warga juga jadi masalah tersendiri.
“Kalau ditertibkan tapi tidak memperhatikan dan memikirkan vaksinasi, tidak memikirkan kebersihan dan lain-lain, ya sama aja gitu,” kata dia.
Lantas, bagaimana menurutmu?