Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Menerka Siasat SBY Mengaku Keturunan Majapahit
1 Maret 2018 18:38 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
Partai Demokrat mendapatkan nomor urut 14 sebagai peserta Pemilu 2019. Angka ini diklaim sebagai simbol yang kelak akan mengulang momen 'kejayaan' Nusantara pada abad ke-14.
ADVERTISEMENT
"Semoga kejayaan Nusantara abad ke-14 ini menginspirasi Partai Demokrat untuk kembali bangkit, sehingga nantinya bisa kembali ke pemerintahan memimpin negeri," ujar Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono , saat menghadiri rapat kerja daerah Partai Demokrat di Jawa Timur, Minggu (25/2).
Adapun, maksud pernyataan SBY itu, seolah diperjelas dengan silsilah; trah; keturunan keluarga SBY, yang diunggah Wakil Sekjen Partai Demokrat, Andi Arief, di akun Twitternya. Dalam silsilah tersebut, terlihat bahwa SBY menjadi bagian dari keturunan ke-13 Kertarajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya --pendiri sekaligus raja pertama dari Kerajaan Majapahit--. Sementara kedua anaknya, Agus Harimurti dan Eddie Baskoro Yudhoyono merupakan keturunan yang ke-14.
Tentunya, pernyataan SBY kembali menguak riwayat Majapahit yang berjaya pada awal abad ke-14. Kala itu, Hayam Wuruk, yang merupakan raja ke-4 dari silsilah Raden Wijaya, menjadikan Majapahit kian disegani di Nusantara di abad keemasan itu. Ekspansi politik yang dilakukan Hayam Wuruk mampu meluaskan hegemoni Majapahit hingga ke Sumatera; Sulawesi;Kalimantan dan Tumasik.
ADVERTISEMENT
Sejarawan sekaligus Pemimpin Redaksi historia.id, Bonnie Triyana, angkat bicara mengenai trah SBY dalam konteks historis dan kebudayaan Jawa. Kendati tidak tahu persis itikad SBY, namun, Bonnie menyebut, seluruh pernyataan itu, tak sekonyong-konyong dikeluarkan. Bonnie juga mengaitkan pernyataan tersebut, dengan adanya sebuah 'legitimasi kekuasaan'.
"Itu hasil pewarisan ingatan yang sudah berakar dari jauh, jadi di dalam konsep kebangsaan orang Jawa, semacam pulung (nasib baik); bibit-bebet-bobot itu penting dalam kekuasaan," ujar Bonnie kepada kumparan (kumparan.com), Selasa (1/3).
"Ingatan yang tersimpan di bawah alam sadar dan sekarang keluar, itu kan masuk akal juga. Jadi ada semacam kebutuhan untuk melegitimasikan diri atau seorang tokoh untuk menarik trah," sambungnya.
Bonnie pun merujuk sengkarut legitimasi pada tiga poin yang terdapat di Babad Tanah Jawi; Mitologi, Genealogi, dan Historiografi. Dalam hal genealogi, menurutnya, untuk mendapatkan mandat legitimasi kekuasaan, dia harus memiliki kekukatan 'dewa'.
ADVERTISEMENT
"Ken Arok misalkan, orang bingung dia itu siapa, asal-usulnya, siapa bapaknya? Kok tiba-tiba bisa menjadi Raja? Kemudian ada cerita yang dibangun, berkaitan dengan mitologi, misalnya, ibunya suatu hari pulang dari sawah, terkena sambaran dewa, semacam petir yang membuat dia mengandung dan melahirkan. Sehingga Ken Arok mendapatkan legitimasi bahwa dia keturunan dewa lah ya," tuturnya.
Sehingga, kata Bonnie, Ken Arok sah disebut pemimpin di mata rakyatnya; diwariskan turun temurun, diingat, dan selalu terbawa pada politik. "Jadi, hampir kalau diperhatikan, hampir setiap pemimpin di Indonesia selalu dipertanyakan asal-usulnya," ujar Bonnie.
Kendati demikian, Bonnie menuturkan, 'kampanye' seperti ini akan lebih efektif dilakukan di abad 18. Lantaran, dalam pengangkatan raja baru, sistem yang berlaku adalah sistem tradisional; raja diangkat berdasarkan garis keturunan. Jika membandingkannya di era demokrasi seperti sekarang --pula dengan cara yang sama-- Bonnie meragukan hal itu tidak akan berdampak langsung.
ADVERTISEMENT
"Kalau kampanye seperti ini diilakukan pada abad 18, atau abad 19 paling lambat awal abad 20 itu mungkin berhasil, mungkin dia akan berhasil dengan cara seperti itu kalau ini dilakukan pada tiga abad lalu. Tapi masalahnya sekarang? enggak tahu ya, gitu," kata Bonnie.
"Kalau Pak SBY kampanyenya di Pacitan (misalnya), tiga abad lalu ketika Tumenggung berkuasa, mungkin berhasil. Tapi dia pasti punya maksud kan, ingin mendapatkan legitimasi," ujarnya.
SBY memang sempat menginstruksikan kepada seluruh mesin partai di semua lini, untuk bergerak cepat memenangkan semua pasangan calon yang diusung dalam pemilihan kepala daerah 2018. Termasuk, memenangkan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak di Pilgub Jatim 2018.
"Meski ini bukan dalam forum kampanye. Saya ingin menegaskan apa yang sudah disampaikan oleh Pakde Karwo (Soekarwo, Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Timur) juga dikuatkan oleh calon penerusnya, Ibu Khofifah, agar mesin partai yang sudah bekerja luar biasa ini untuk bergerak penuh memenangkan calon-calon yang diusung Partai Demokrat," kata SBY dalam pidatonya saat dikutip dari Antara.
ADVERTISEMENT
Menurut Bonnie, dalam konteks ini, dia berujar, bahwa SBY sedang berkampanye di Jawa Timur untuk Khofifah; menjelaskan publik bahwa SBY masih memiliki kaitan dengan daerah yang sedang dia bicarakan --melalui trah Majapahit dan Mataram--.
"Jadi seperti itu, dia ingin menjelaskan. Kalau ngomong keturunan misalkan, kalau dia ngomong memenangkan Khofifah misalnya. Lawannya Khofifah kan Gus Ipul (Saifullah Yusuf), bisa juga kan mereka ngomong 'dia kan ponakannya Gus Dur. Gus Dur juga sama, kalau ditarik ke atas dia kan turunan Majapahit," imbuhnya.
"Sama kan Puti (Puti Guntur) juga sama dari Bung Karno langsung ke Brawijaya lah, ke Raja Bali bahkan. Itu Majapahit juga itu ke atasnya, berarti ini semua pertarungan antara trah dan klan Majapahit, dong ya?" canda Bonnie.
ADVERTISEMENT
Boni menambahkan, baik secara sengaja maupun tidak, pernyataan SBY merupakan proses akumulasi ingatan yang secara terus menerus diwariskan; penimbunan ingatan, layaknya narasi yang kian diceritakan.
"kayak 'jangan duduk di depan pintu', itu kan diwariskan, sampai kemudian cara berpikir kritis rasional tubuh itu enggak dipakai lagi. Kalau diajak modern diketawain kita, gitu kan?" tuturnya.
Pada intinya, menurut Bonnie, pernyataan SBY dengan mengait kembali silsilah kerajaan Majapahit sebagai bentuk "legitimasi diri", belum tentu berdampak signifikan dengan sistem demokrasi yang ada di era sekarang.
"Tapi kerajaan bukan demokrasi. Demokrasi mah (pilih) siapa aja, orang kita enggak pernah minta dilahirin, kita enggak pernah request dilahirin dari siapa, yang penting dia punya kinerja, punya komitmen, punya dedikasi, ya kita pilih." pungkasnya.
ADVERTISEMENT