Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kondisi ini bahkan memaksa Amerika Serikat mengevakuasi sebagian staf kedutaannya di negara itu sejak Maret lalu.
Namun, bagaimana Haiti bisa sampai pada titik ini?
Dikutip dari sejumlah sumber, sejarah panjang ketidakstabilan politik, kemiskinan, dan kekerasan geng menjadi akar yang membawa negara ini menuju status “negara gagal”.
Sejarah Panjang Ketidakstabilan Politik dan Pemimpin yang Lemah
Krisis Haiti tak terjadi dalam semalam; kondisi ini adalah akumulasi dari dekade ketidakstabilan politik.
Pemilu belum diadakan sejak 2016; presiden terakhir Haiti, Jovenel Moïse, dibunuh pada 2021.
Setelah pembunuhan Moïse, Ariel Henry mengambil alih kekuasaan sebagai perdana menteri, namun kepemimpinannya itu memicu keretakan di masyarakat.
Hingga Maret lalu, Henry belum berhasil menggelar pemilu, sehingga masa jabatan presiden dan sebagian besar anggota parlemen tetap kosong.
ADVERTISEMENT
Sebulan kemudian Henry mengundurkan diri dan dewan transisi mengambil alih posisinya. Ia kemudian digantikan sementara oleh Garry Conille yang baru saja dipecat pada Senin (11/11). Dewan tersebut menunjuk Alix Didier Fils-Aimé sebagai penggantinya.
Hampir enam tahun tanpa parlemen yang berfungsi membuat pemerintah Haiti kehilangan kendali. Ini juga yang membuka jalan bagi geng-geng bersenjata di negara tersebut untuk memperluas pengaruh mereka.
Sejak kudeta militer pada awal 1990-an hingga saat ini, Haiti mengalami kesulitan untuk menegakkan demokrasi yang stabil. Negara ini sangat rentan terhadap krisis politik, karena pemilu sering ditunda atau tidak diadakan sama sekali.
Lemahnya institusi negara mengakibatkan pemerintahan yang tidak memiliki legitimasi, sehingga tidak mampu merespons tuntutan rakyat. Dalam kondisi seperti ini, geng-geng bersenjata dengan mudah mengisi kekosongan kekuasaan yang ada.
Geng Bersenjata: Kekuatan yang Menguasai Negara
ADVERTISEMENT
Ketidakmampuan pemerintah untuk menekan geng-geng bersenjata membuat kekerasan menjadi fenomena yang mendarah daging di Haiti. Hingga saat ini, terdapat sekitar 200 geng yang aktif di Haiti, di mana sekitar 95 di antaranya berada di Port-au-Prince. Menurut data terbaru PBB, para gangster itu telah berhasil menguasai 85 persen wilayah ibu kota.
Geng-geng ini bukan sekadar kelompok kriminal kecil, tetapi organisasi besar yang mengendalikan berbagai sektor ekonomi, terutama pelabuhan dan terminal minyak. Mereka memberlakukan “pajak perlindungan” kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah mereka.
Dibentuk pada 2020, federasi geng G-9 and Family yang dipimpin Jimmy “Barbecue” Chérizier adalah salah satu kelompok paling kuat di Haiti.
G-9, bersama federasi lain seperti G-Pep, telah bekerja sama untuk memperluas pengaruh mereka atas jalur distribusi dan sumber daya vital di ibu kota.
ADVERTISEMENT
Menghadapi pemerintahan yang lemah, geng-geng ini tidak ragu untuk menggunakan intimidasi dan kekerasan, bahkan sampai mengepung bandara dan kantor-kantor polisi untuk menunjukkan dominasi mereka.
Yang terbaru, mereka ramai-ramai menyerang bandara dan menembak pesawat yang melintasi negaranya.
Perekonomian yang Terpuruk dan Kemiskinan Meluas
Haiti adalah salah satu negara termiskin di Barat, dengan sekitar 90 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Kondisi ini diperparah dengan krisis kemanusiaan yang berkepanjangan, di mana ribuan orang terpaksa mengungsi akibat kekerasan geng.
Dengan infrastruktur yang terbatas, ketidakamanan yang tinggi, dan lapangan pekerjaan yang minim, banyak warga Haiti berjuang hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.
Kemiskinan yang mengakar ini menciptakan lingkungan di mana geng bersenjata dapat merekrut anggota baru dengan mudah. Mereka memberikan imbalan kepada para rekrutmen yang jauh lebih besar dibandingkan pendapatan pekerjaan rata-rata di Haiti.
ADVERTISEMENT
Situasi ini membentuk siklus kekerasan dan ketidakamanan yang berulang, di mana geng-geng semakin kuat sementara rakyat Haiti semakin terpinggirkan.
Dampak Korupsi dan Perdagangan Narkoba
Haiti juga menjadi jalur transit utama untuk penyelundupan narkoba dari Kolombia ke Amerika Serikat. Selama tahun 1990-an, kartel Medellin dari Kolombia menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh penting di Haiti. Mereka pada akhirnya mengubah Haiti menjadi tempat transit strategis dalam jaringan perdagangan narkoba internasional.
Pemerintah dan kepolisian lokal, yang seharusnya melindungi masyarakat, justru dirusak oleh korupsi yang menyebar akibat perdagangan narkoba.
Perdagangan itu tak hanya memperkaya geng dan elite politik tertentu, tapi juga memperdalam ketergantungan ekonomi Haiti pada kegiatan ilegal.
Dengan semakin kuatnya keterlibatan dalam perdagangan narkoba, Haiti kehilangan kesempatan untuk membangun ekonomi formal yang sehat, yang pada akhirnya memperparah status negara ini sebagai “negara gagal”.
ADVERTISEMENT
Pengaruh Bencana Alam dalam Memperparah Kondisi Haiti
Profesor Manajemen dan Wakil Direktur Pusat Studi Amerika Latin & Karibia di Universitas Essex Nicolas Forsans mengungkap alasan lain yang jadi pemicu kerentanan Haiti.
Menurut temuannya, bencana alam seperti gempa bumi pada 2010 pun memperburuk keadaan di sana.
Saat itu, ribuan orang tewas dan infrastruktur vital hancur. Tidak hanya itu, ribuan narapidana melarikan diri dari penjara yang hancur, yang kemudian mengubah dinamika geng bersenjata di negara itu.
Para mantan narapidana membentuk dan memperluas geng yang telah ada, menjadikannya sebagai organisasi kriminal yang mengendalikan berbagai aspek kehidupan di Haiti.
Setiap kali bencana melanda Haiti, negara ini semakin terpuruk karena tidak memiliki sistem penanggulangan bencana yang efektif.
Akibatnya, masyarakat yang sudah rentan semakin sulit untuk bangkit dari keterpurukan, dan kelompok kriminal semakin menguat di tengah kelemahan negara dalam memberikan bantuan kepada rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Intervensi Asing dan Sejarah yang Rumit
ADVERTISEMENT
Intervensi asing bukanlah hal baru bagi Haiti.
Menurut Profesor Studi Etnis di Universitas Negeri Colorado, Ernesto Sagas, AS menduduki negara ini pada 1915 dan menciptakan militer Haiti untuk menjaga kepentingannya.
Namun, militer tersebut justru menjadi salah satu sumber ketidakstabilan setelah mereka meninggalkan negara itu pada 1934.
Intervensi lain terjadi pada 1994 ketika AS mengirim pasukan untuk mengembalikan kekuasaan Jean-Bertrand Aristide yang digulingkan oleh militer.
Meskipun sering mendapat bantuan asing, Haiti tetap terjebak dalam siklus ketidakstabilan. Baru-baru ini, Dewan Keamanan PBB menyetujui pengiriman pasukan keamanan multinasional yang dipimpin Kenya untuk meredam kekerasan geng.
Namun, solusi jangka panjang masih belum terlihat jelas karena ketergantungan pada intervensi asing sering kali tidak membawa perubahan fundamental di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Tantangan Menuju Solusi Jangka Panjang
Haiti membutuhkan pemerintahan yang stabil dan terpilih secara demokratis untuk memulihkan fungsinya sebagai negara yang berdaulat.
Namun, kondisi keamanan dan ancaman dari geng-geng bersenjata membuat pemilu menjadi hampir mustahil diadakan. Infrastruktur pemilu yang lemah dan intimidasi dari geng menimbulkan risiko besar bagi masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam proses demokrasi.
Sementara itu, para ahli menyebutkan reformasi dalam sistem politik dan penegakan hukum di Haiti sangat diperlukan.
Meski ada risiko korupsi, bantuan dari komunitas internasional dalam bentuk pendanaan, pelatihan bagi aparat keamanan, serta penguatan lembaga pemerintahan adalah langkah yang diperlukan. Tanpa dukungan yang memadai, Haiti akan terus terjebak dalam krisis yang tak berkesudahan.
Negara Gagal
Negara yang gagal merupakan negara yang kehilangan kemampuannya untuk memenuhi fungsi keamanan dan pembangunan mendasar karena tak memiliki kendali yang efektif atas wilayah dan perbatasannya.
ADVERTISEMENT
Karakteristik umum negara yang gagal meliputi pemerintah yang tidak mampu melakukan pemungutan pajak, penegakan hukum, jaminan keamanan, kontrol teritorial, penempatan staf kantor politik atau sipil, dan pemeliharaan infrastruktur.
Ketika ini terjadi, korupsi dan kriminalitas meluas, hadirnya intervensi aktor negara dan non-negara lain, munculnya pengungsi dan perpindahan penduduk yang tidak sukarela, penurunan ekonomi yang tajam, dan intervensi militer baik dari dalam mau pun luar negara.
Istilah ini awalnya diterapkan untuk menggambarkan situasi di Somalia pada 1990-an. Negara itu mengalami kekacauan setelah kudeta yang menggulingkan diktatornya, Siad Barre, pada 1991, dan menyebabkan konflik internal di antara klan-klan negara tersebut.
Pada awal 2020-an, Afghanistan, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Haiti, Lebanon, Libya, Mali, Myanmar, Somalia, Sudan Selatan, Sudan, Suriah, dan Yaman telah digambarkan sebagai negara gagal.
ADVERTISEMENT