Mengapa Vanuatu Terus Serang Indonesia di PBB soal Papua Barat?

27 September 2021 16:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
Perdana Menteri Republik Vanuatu Bob Loughman di sidang umum PBB. Foto: Youtube/United Nation
zoom-in-whitePerbesar
Perdana Menteri Republik Vanuatu Bob Loughman di sidang umum PBB. Foto: Youtube/United Nation
ADVERTISEMENT
Perdana Menteri Republik Vanuatu Bob Loughman menyinggung dugaan pelanggaran HAM di Papua Barat dalam Sidang Mejelis Umum PBB, Minggu (26/9).
ADVERTISEMENT
Loughman mengatakan penduduk Papua Barat terus merasakan penderitaan akibat pelanggaran HAM di wilayahnya. Untuk itu, ia meminta PBB untuk mengunjungi Papua Barat secara langsung.
"Forum Pacific dan para Pemimpin ACB meminta Pemerintah Indonesia untuk mengizinkan Dewan HAM PBB mengunjungi Papua Barat untuk melakukan penilaian secara independen terkait situasi HAM," ujar Loughman, Minggu (26/9).
Vanuatu memang sejak lama mendukung pemisahan Papua Barat dari Indonesia yang berujung kemerdekaan Papua Barat. Tudingan Vanuatu ini layaknya menjadi agenda tetap mereka dalam pertemuan level tinggi PBB.
Di tahun 2020, Vanuatu mengatakan rakyat Papua Barat merasakan penderitaan akibat pelanggaran HAM. Sedangkan pada 2021, Indonesia dituding tidak memberikan izin kepada Dewan HAM PBB untuk mengunjungi Papua.
Dikutip dari Lowy Institute, salah satu yang menjadi dasar dari alasan “penyerangan” Vanuatu terhadap Indonesia adalah solidaritas bangsa Melanesia.
ADVERTISEMENT
Bangsa Melanesia adalah penduduk asli dari wilayah Melanesia, sub-wilayah Oseania yang mencakup Kepulauan Maluku, Papua, hingga negara-negara di timur Pasifik seperti Vanuatu dan Fiji.
Penduduk negara Vanuatu, bersama dengan Pulau Papua dan sejumlah negara Kepulauan Pasifik lainnya, merupakan keturunan bangsa Melanesia. Bangsa Melanesia memiliki ikatan tersendiri serta solidaritas yang melampaui perbatasan-perbatasan negara.
Massa berjalan melintasi asap yang mengepul saat unjuk rasa di Kota Sorong, Papua Barat, Jumat (27/11). Foto: Olha Mulalinda/ANTARA FOTO
Tujuan utama dari bangsa Melanesia sejak tahun 1970an adalah mengeklaim kembali “Melasian-ness” atau “Kemelasianan” dan membebaskan diri dari kolonisasi (penjajahan).
Diskusi soal “Kemelasianan” sebagai identitas pan-etnis dan antikolonial ini didasari oleh prinsip “Pedoman Melanesia”, wantokism (ikatan berdasarkan bahasa bersama, suku, desa, dan hubungan masyarakat) dan kastom (kebudayaan adat).
Usai Vanuatu memperoleh kemerdekaan dari penjajah pada tahun 1980, bapak negara serta Perdana Menteri pertama Vanuatu, Walter Lini, mendeklarasikan: “Vanuatu tidak akan sepenuhnya merdeka hingga seluruh bangsa Melanesia merdeka.”
ADVERTISEMENT
Vanuatu, sebagai pendukung setia dari pembebasan Papua Barat, melihat warga provinsi itu sebagai target kekerasan dan diskriminasi dari pemerintah Indonesia. Negara kecil di Pasifik ini mendorong kebebasan rakyat Papua untuk bisa menentukan nasibnya sendiri.
Dikutip dari The Guardian, tak sedikit kelompok separatis Papua Barat yang menganggap Indonesia melakukan aneksasi atau pendudukan ilegal di tanah mereka.
Referendum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera, Act of Free Choice) pada tahun 1969 silam sering kali dilihat tidak mewakilkan suara warga setempat atau pemilihan umum yang bebas.
Diketahui, Pepera 1969 adalah pemilihan yang dilakukan untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua: apakah milik Belanda atau Indonesia. Sebanyak 1.026 pemilih yang ditunjuk oleh Indonesia sepakat untuk memilih Indonesia.
ADVERTISEMENT
Salah satu satu tujuan Vanuatu yang terus mereka perjuangkan adalah memasukkan Papua Barat ke dalam daftar dekolonisasi PBB (Wilayah Tanpa Pemerintahan Sendiri, Non-Self-Governing Territories).
Daftar itu berisi 17 wilayah yang didefinisikan sebagai “Wilayah yang belum memiliki kebijakan penuh untuk pemerintahan sendiri.” Salah satu contoh wilayah dalam daftar ini adalah Bermuda, Tokelau, dan Kepulauan British Virgin.
Dukungan terhadap Vanuatu ini semakin berkurang seiringan dengan semakin kuatnya hubungan Indoensia dengan sejumlah negara Kepulauan Pasifik.
Meskipun, beberapa negara kecil lain seperti Tonga tetap kukuh menunjukkan dukungan atas Vanuatu dan pembebasan Papua Barat.
Suku Vanuatu. Foto: Jill Gralow/Reuters

Bantahan Indonesia soal Pelanggaran HAM di Papua

Indonesia berulang kali menegaskan, tudingan Vanuatu ini menciptakan harapan palsu dan kosong, serta memicu meletusnya konflik di tanah Papua.
ADVERTISEMENT
Pada Sidang Umum PBB ke-73 tahun 2018 silam, wakil dari Indonesia, Aloysius Selwas Taborat, mengatakan dukungan Vanuatu terhadap separatis Papua Barat menantang hubungan baik antarnegara.
"Meskipun disamarkan dengan ide kekhawatiran atas hak asasi manusia, tujuan dan aksi utama Vanuatu secara langsung menantang prinsi-prinsip hubungan baik antarnegara yang sudah disepakati secara internasional, kedaulatan, serta integritas kewilayahan," tegasnya.
Respons Indonesia pada tahun 2019 dan 2020 tetap sama, yaitu mengecam seluruh tudingan Vanuatu.
Kemudian pada tahun 2021, Sekretaris Ketiga Perwakilan Tetap RI New York, Sindy Nur Fitri, membalas Vanuatu dengan keras. Ia mempertanyakan, di mana Vanuatu ketika banyak tenaga kesehatan, guru, dan pekerja yang dibantai di Papua.
"Mereka adalah orang-orang yang mendedikasikan hidup mereka untuk rakyat Papua. Ketika pekerja konstruksi yang tak bersalah dibunuh dengan brutal, mengapa Vanuatu memilih bungkam? Ketika guru-guru dibantai tanpa ampun, mengapa Vanuatu memilih untuk diam?" ujar Sindy pada Minggu (26/9).
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan, Vanuatu justru mengadvokasikan gerakan separatisme di bawah samaran "kekhawatiran HAM buatan".
"Seperti inikah pemahaman mereka akan hak asasi manusia?" pungkas Sindy.