Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Larangan memakai baju hijau di Pantai Parangtritis, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, sudah melegenda seantero nusantara. Entah sejak kapan mitos tersebut beredar, yang jelas sejumlah masyarakat masih mempercayainya.
ADVERTISEMENT
Staf Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) DIY, Mudjijono, mengatakan budaya itu dinamis. Prinsipnya, kebudayaan itu mempunyai sifat selalu berubah dari masa ke masa sesuai dengan masyarakat pendukungnya. Hal ini juga akan berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang mendukung kebudayaan bersangkutan.
“Sebenarnya kita bisa membandingkan tidak hanya mitos terkait larangan memakai baju hijau pada saat kita di Parangtritis atau pantai selatan. Kita harus memahami bahwa sebenarnya generasi yang telah lalu orang-orang tua kita, nenek moyang kita mempunyai banyak cara untuk sebenarnya memberi, dalam tanda petik, pendidikan. Pendidikan dalam laku berkehidupan yang baik,” ujar Mudji saat ditemui kumparan di kantornya, Senin (22/7).
Dia menjelaskan untuk memberitahu anaknya, orang tua dahulu tidak menggunakan kalimat perintah. Namun mereka membuat nilai budaya yang ada di alam pikiran setiap orang dalam masyarakat. Nilai budaya itu menjadi patokan manusia bertindak.
ADVERTISEMENT
“Contoh pada waktu saya kecil bahwa dulu kalau perempuan makan jangan di depan pintu karena bisa ditolak oleh perjaka. Itu sebenarnya nilai budaya bahwa kamu kalau makan dengan berdiri tidak sopan. Kalau kamu tidak sopan laki-laki akan mengerti tatanan nilaimu seperti itu," kata dia.
Mudji yang sering meneliti sejumlah daerah pantai dan terpencil mengatakan laut tidak sepenuhnya berwarna biru tapi lebih condong ke biru pekat atau hijau. Hal inilah yang menjadi penyebab kemunculan larangan baju hijau di Pantai Parangtritis.
“Misalnya kita memakai baju berwarna hijau, kemudian terjadi kecelakaan atau kita tersambar arus dan sebagainya sulit diketahui. Orang yang akan menolong atau tim SAR akan kesulitan. Makanya kita tahu tim SAR kan pakai oranye,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Mitos seperti ini tak hanya terjadi di Pantai Parangtritis. Di pantai utara Jawa misalnya, ada mitos Dewi Lanjar, sang Ratu Pantai Utara.
“Di situ masyarakat sekitar Pekalongan ada menanamkan pantangan-pantangan seperti ini,” kata Mudji.
Milenial Tak Percaya Mitos
Jika dulu ada istilah ajining diri seko lathi (harga diri dilihat dari kelakuan), sekarang muncul istilah ajining diri seko obahe driji (harga diri dilihat dari gerak jemari). Di era milenial juga muncul kebudayaan sendiri. Bahkan bisa dibilang mitos tak efektif lagi untuk era saat ini
“Saya mengatakan seperti itu bisa juga (mitos tidak efektif). Tetapi untuk menghitung persentase berapa banyak, tetap ada yang percaya. Artinya yang namanya pergeseran generasi penerimaan tidak bisa berjalan seperti membalikkan tangan,” kata Mudji.
ADVERTISEMENT
Dia mengakui bahwa generasi yang lebih kritis dan kemajuan teknologi membuat mereka lebih terbuka dengan logika.
“Kadang generasi sekarang yang lebih banyak dalam tanda kutip menjawab ini kadang logikanya mereka main. Mereka menanyakan hal seperti itu mesti ada semacam alasan yang dimiliki dalam nilai budayanya ada pemikiran yang lain,” ujarnya.