Mengelola Sampah hingga Jadi Berkah

21 Februari 2019 11:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tumpukan sampah yang dikelola di Rumah Pemulihan Material milik Waste4Change. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Tumpukan sampah yang dikelola di Rumah Pemulihan Material milik Waste4Change. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Bagaimana caranya agar sampah agar tidak menggunung di tempat pembuangan atau tepi jalan? Membakar dan mengubur sampah jelas juga bukan solusinya. Membuangnya ke laut pun ‘haram’.
ADVERTISEMENT
Itulah yang menjadi alasan bagi Mohamad Bijaksana Junerosano untuk mendirikan Waste4Change pada 2014. Waste4Change sendiri merupakan perusahaan wirausaha sosial (social enterprise) yang masih di bawah kepemilikan PT Greeneration Indonesia secara mayoritas, perusahaan yang diinisiasi Sano--sapaan akrabnya--bersama rekan-rekannya sejak 2006.
Sano, Founder Waste4Change. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Waste4Change bisa dikatakan sebagai startup yang fokus untuk membangun ekosistem pengelolaan sampah yang bertanggung jawab. Visi mereka adalah menjadi pemimpin dalam pengelolaan sampah yang bertanggung jawab dan beretika. Intinya, bagi mereka, sampah itu harus dikelola, bukan sekadar ditimbun begitu saja.
ADVERTISEMENT
Waste4Change mengedepankan empat lini bisnis: consult, campaign, collection, dan create. Empat tahun berjalan, jasa mereka telah dimanfaatkan oleh berbagai kalangan, mulai dari masyarakat (rumah tangga) hingga perkantoran. Sejumlah perusahaan ternama bahkan sudah menjadi klien mereka.
Cakupan wilayah operasional mereka adalah Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jadetabek). Sementara itu, mereka juga memiliki cabang di Sidoarjo, untuk pengelolaan sampah di wilayah Jawa Timur.
kumparan berkesempatan melihat kegiatan pengelolaan sampah ala Waste4Change di salah satu Rumah Pemulihan Material mereka, di Vida Bumipala, Jl. Alun Alun Utara, Padurenan, Mustikajaya, Kota Bekasi, pada Kamis (7/2). Martin Manorek, Head of Operational Services Waste4Change, menjelaskan bahwa pengelolaan sampah anorganik dan organik dilakukan di dua tempat yang terpisah.
ADVERTISEMENT
Pengelolaan Sampah Anorganik
Tempat pengelolaan sampah anorganik Waste4Change. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Untuk tempat pengelolaan sampah anorganik, Martin menjelaskan, klien bisa meminta tim Waste4Change untuk mengangkut sampahnya (collection) atau memilih mengantarnya sendiri.
Untuk itu, dibuatlah dua pintu akses di Rumah Pemulihan Material. Satu pintu untuk sampah yang diangkut oleh tim Waste4Change, satu pintu untuk sampah yang diantar sendiri oleh klien, yang biasanya masuk dalam skema EPR (Extended Producer Responsibility/Perluasan Tanggung Jawab Produsen).
Tumpukan sampah yang diantarkan sendiri oleh klien Waste4Change. Foto: Waste4Change
“Biasanya, sampah-sampah yang dikirim oleh klien itu sudah ‘lebih bersih’, sudah spesifik berdasarkan jenisnya. Kalau yang diangkut sendiri, masih ada yang tercampur,” kata Martin.
Untuk mengangkut sampah jenis anorganik yang diangkut sendiri oleh tim Waste4Change, selain dengan kantong plastik, mereka menggunakan kantong-kantong yang dapat dicuci kembali jika sudah selesai digunakan. Guna mengurangi plastik yang digunakan untuk mengangkut sampah.
Sampah-sampah anorganik yang diangkut oleh tim Waste4Change. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Di Rumah Pemulihan Material, sampah-sampah akan diolah (create). Dengan tetap menerapkan prinsip reduce, reuse, recycle (3R).
ADVERTISEMENT
“Kita pertama melakukan treatment terlebih dahulu untuk menghilangkan brand (pada botol atau plastik). Kalau susah dihilangkan, kita cacah, kita hancurkan di sini,” ujar pria lulusan Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, itu.
Sampah-sampah yang dipisahkan sesuai jenisnya sebelum dikelola ala Waste4Change. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Setelah kantong-kantong berisi sampah terpilah diterima (dropping), sampah lalu dikeluarkan, dan dilakukan kegiatan “sortir mendetil”.
Meski sama-sama berjenis anorganik, tetapi sampah seperti plastik dan kaca memiliki tipe dan karakteristik yang berbeda-beda, sehingga perlu dilakukan penyortiran.
Suasana di area sorting pada pengelolaan sampah ala Waste4Change. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
“Dan di sini kita melakukan pendataan. Karena kita provide laporan untuk klien kita. Misalkan dia sehari timbunan sampahnya berapa, jenisnya apa, itu dalam sebulan kita provide,” ungkap Martin.
Kegiatan pelaporan tersebut, kata Martin, menjadi ciri khas yang membedakan Waste4Change dengan jasa pengangkutan sampah pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, dilakukan penyortiran tahap dua. Jika penyortiran pertama hanya untuk mengelompokkan jenis-jenisnya, maka selanjutnya adalah penyortiran untuk menghilangkan merek, logo, dan sisa-sisa makanan atau minuman.
Seorang pria melakukan penyortiran tahap kedua. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
“Untuk meningkatkan value-nya, sebenarnya. Karena, botol itu, jenisnya kan beda-beda. Jadi, akan berbeda juga perusahaan (produsen botol) mengolahnya (kembali),” tuturnya.
Cara lain untuk meningkatkan value dari sampah-sampah plastik adalah dengan cara dicacah, kalau botol-botol kaca ada juga yang dihancurkan. Setelah itu, barulah hasil cacahan itu dikirim ke pabrik-pabrik pembuatan plastik dan kaca sebagai bahan baku produksi mereka.
“Pabrik beli enggak dicacah dan beli dicacah, beda harga,” tegas Martin.
Setelah dicacah, plastik maupun kaca dibersihkan. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Kurangnya kesadaran masyarakat memilah sampah juga menjadi alasan dilakukan penyortiran. Terkadang, dalam kantong-kantong sampah anorganik tersebut masih terselip sampah-sampah organik, bahkan tak jarang ditemukan bangkai binatang.
ADVERTISEMENT
“Sampah-sampah organik yang tercampur akan kita pisahkan, lalu kita bawa ke tempat pengelolaan organik. Begitu juga sebaliknya,” terangnya.
Pengelolaan Sampah Organik
Suasana pengelolaan sampah organik ala Waste4Change. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Pengangkutan sampah organik menggunakan ember. Konsepnya, kata Martin, mirip dengan pengelolaan sampah anorganik: dipilah, didata, lalu diolah.
Ada tiga metode pengolahan sampah organik ala Waste4Change. Pertama, metode open windrow composting, cara pembuatan kompos di tempat terbuka beratap dengan aerasi alamiah. Sampah yang akan dikomposkan ditumpuk membentuk gundukan dengan frekuensi pembalikan tertentu yang suhunya dikendalikan.
Gundukan sampah pada metode open windrow composting. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
“Beratnya bisa 7 ton lah satu gundukan ini,” ujarnya.
Namun, melalui proses aerob (lewat udara), beratnya akan menyusut. Setelah 60 hari, sampah-sampah itu akan dicacah untuk kemudian diolah menjadi pupuk kompos, yang nantinya bisa bermanfaat untuk tanaman.
ADVERTISEMENT
Metode kedua, ini bisa dibilang salah satu ciri khas dari Waste4Change, adalah memanfaatkan maggot dan Black Soldier Flies (BSF). BSF adalah serangga sejenis lalat yang berbeda dari lalat yang kerap kita temui di rumah atau restoran.
BSF punya ukuran tubuh yang lebih panjang daripada lalat pada umumnya. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
“Mereka (BSF) bukan vektor penyakit, mereka juga jinak,” terang Martin.
Martin juga mengungkapkan, siklus hidup BSF lebih pendek daripada lalat kebanyakan. Hidup BSF lebih panjang ketika menjadi maggot (larva/belatung). Telur-telur maggot didapatkan dari induk BSF yang dikembangbiakkan sendiri oleh Waste4Change.
Pada siklus ini, mereka memakan sampah-sampah organik. 20 gram maggot bisa memakan 10 kilogram sampah dalam waktu 12 hari. Lebih cepat dari metode pertama. Jika metode pertama mengubah sampah jadi pupuk, metode kedua ini mengubah sampah menjadi protein tinggi (dalam tubuh maggot) dengan cara dimakan oleh maggot.
Maggot yang dikembangbiakkan Waste4Change. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
“Selama dua minggu (12 hari) itu dia (maggot) kerjaannya hanya makan (sampah) aja. Hampir semua jenis sampah (organik) mereka makan tapi ada beberapa jenis yang mereka lebih suka,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Sampah-sampah sisa maggot dapat juga dialihkan sebagai kompos, atau dicampur dengan sampah baru yang masih basah untuk mempercepat proses open windrow-nya sebelum pengomposan. Selain untuk pengolahan sampah organik, Waste4Change juga menjual sebagian maggot atau kepompongnya untuk pakan ternak.
“Hasilnya dua, output-nya. Menjadi maggot dan juga kasgot (bekas maggot). Kasgot ini perlu disaring karena masih ada yang mengandung residu. Residu yang jumlahnya amat sangat minim kami kirim ke TPA (tempat pembuangan akhir), sedangkan kasgotnya dijadikan starter pack juga untuk pengomposan,” jelas Martin.
Cacing vermikompos. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Metode ketiga, tidak jauh berbeda dengan metode kedua. Bedanya, mereka menggunakan cacing vermikompos. Cacing ini lebih pilih-pilih makanan, biasanya hanya menyukai sampah jenis buah.
“Kalau itu (cacing) hanya untuk ngejar kualitas komposnya karena bisa lebih bagus,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Penanganan Residu
Residu yang ditemukan pada saat penyortiran akan dipisahkan. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Lalu, bagaimana dengan jenis sampah-sampah yang sulit didaur ulang atau bahkan tidak dapat diolah sama sekali? Martin menyebutnya sebagai residu, contohnya saset, tisu basah, popok bayi, bangkai binatang, sisa makanan, dan lain sebagainya. Idealnya, hanya residu yang berakhir di TPA.
“Misalkan kita menghasilkan sampah 100 kilogram, selama ini, sama pemerintah atau pengangkut sampah sekitar sini hanya diangkut, lalu dibuang ke TPA. Kalau di sini, yang dikirim (ke TPA) kami targetkan sekitar 30%, karena yang 70% kami olah,” ungkap Martin.
Dalam hal ini, Waste4Change bekerja sama dengan pemerintah untuk mengambil sampah residu, yang rata-rata berasal dari rumah tangga. Sampah residu itu kemudian dikirim ke TPA.
Akan tetapi, sejumlah perusahaan tertentu yang menjadi klien Waste4Change menuntut pelaksanaan konsep zero waste to landfill. Mereka benar-benar tidak ingin ada sampah yang berakhir di TPA.
ADVERTISEMENT
“Kita punya mitra untuk menangani hal ini. Kita punya mitra yang bisa memanfaatkan residu menjadi bahan bakar pembuatan semen," tutur Martin
Hanya pabrik semen yang punya lisensi dari pemerintah untuk memanfaatkan residu ini yang menjadi target mitra Waste4Change. Ya, karena tidak semua pihak memiliki izin untuk menerapkan jasa ini.
"Tapi itu butuh material tambahan, sehingga biayanya mahal. Makanya, klien-klien itu menjadi membayar lebih mahal untuk penerapan jasa zero waste to landfill,” lanjutnya.
Program Lain
Selain operasional, Martin mengatakan, terdapat Divisi Strategic Services yang mengurus program consult dan campaign. Mereka bertugas memberikan konsultasi dan menggelar acara-acara untuk mengampanyekan pentingnya pengelolaan sampah yang bertanggung jawab. Cakupannya se-Indonesia, dari Sumatera hingga Papua.
ADVERTISEMENT
Kegiatan mereka berupa forum diskusi internasional, diskusi online, kelas-kelas pelatihan, membantu Greeneration Foundation menyelenggarakan jambore persampahan, hingga konten-konten menarik di media sosial, dan kampanye kreatif lainnya.
ADVERTISEMENT
Waste4Change juga terbuka terhadap pihak-pihak yang hendak melakukan kunjungan. Sebab, mereka dapat sekaligus memberi edukasi dan mengenalkan kegiatan Waste4Change.
Prinsip: Merangkul, Bukan Memonopoli
Pada akhirnya, Waste4Change ingin berkolaborasi dengan banyak pihak untuk pengelolaan sampah yang bertanggung jawab. Kehadiran mereka tak lantas mematikan mata pencaharian para petugas penarik gerobak sampah. Justru, Waste4Change merangkul mereka, merekrut mereka.
Spirit-nya mas Sano ini memang kolaborasi, dan bukan menguasai tunggal. Itu yang ditanamkan kepada timnya. Sebisa mungkin kita memberdayakan mitra lokal dengan standar yang kita punya,” ujar Martin.
Kini, Waste4Change telah memiliki 30 orang operator pengelola sampah. Untuk operasional, mereka biasa mengangkut sampah dengan kendaraan pick up, truk jenis arm roll, dan gerobak motor. Mereka juga dibayar dengan upah yang lebih layak.
ADVERTISEMENT
“Mereka sekarang mengangkut sampah dengan mobil, dapat gaji bulanan yang pasti, dapat jaminan asuransi, kalau sakit kita cover, kerjanya sekarang dengan APD (alat pelindung diri). Kita naikkan lah (derajat mereka),” jelas Martin.
Waste4Change juga terbuka dengan berbagai pihak yang mau ikut serta mengelola sampah secara bertanggung jawab. Mulai dari swasta, masyarakat, dan tak tertutup kemungkinan juga dengan pemerintah. Sebab, sampah adalah masalah kita semua, dan berkolaborasi untuk mencari solusi adalah lebih baik daripada berjalan sendiri-sendiri.