Mengenal Apa Itu Black History Month di Amerika Serikat

2 Februari 2022 14:30 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang mahasiswa berjalan di kampus Universitas Howard, salah satu dari enam perguruan tinggi dan universitas kulit hitam (HBCU) yang bersejarah di seluruh Amerika Serikat yang menerima ancaman bom, Senin (31/1). Foto: SARAH SILBIGER/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Seorang mahasiswa berjalan di kampus Universitas Howard, salah satu dari enam perguruan tinggi dan universitas kulit hitam (HBCU) yang bersejarah di seluruh Amerika Serikat yang menerima ancaman bom, Senin (31/1). Foto: SARAH SILBIGER/Reuters
ADVERTISEMENT
Setiap tahunnya, tanggal 1 Februari hingga 1 Maret menjadi momen peringatan perjuangan dan kontribusi besar masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat. Tradisi ini dikenal dengan nama US Black History Month, atau Bulan Peringatan Sejarah Kulit Hitam AS.
ADVERTISEMENT
Sepanjang Februari, AS akan memperingati, mengenang, dan menghargai sumbangsih masyarakat kulit hitam—masyarakat yang beratus tahun menghadapi perbudakan di Negeri Paman Sam.
Meskipun perbudakan kulit hitam sudah dihapus di abad ke-19, nyatanya diskriminasi terhadap warga keturunan Afrika di AS masih kentara.
Bahkan pada 2022 ini, ancaman bom meneror setidaknya 12 universitas masyarakat kulit hitam di AS, tepat di hari pertama Black History Month.
“Kami pikir ini bukan suatu kebetulan—menerima ancaman seperti ini di waktu-waktu ini,” ujar rektor Edward Waters University di Kota Jacksonville, Negara Bagian Florida, A. Zachary Faison, Jr., pada Selasa (1/2/2022) seperti dikutip dari Reuters.
Suasana di kampus Universitas Howard, salah satu dari enam perguruan tinggi dan universitas kulit hitam (HBCU) yang bersejarah di seluruh Amerika Serikat yang menerima ancaman bom, Senin (31/1). Foto: SARAH SILBIGER/Reuters
Kampusnya merupakan salah satu yang menerima teror bom dan ancaman penembakan. Beruntung, setelah dilakukan pemeriksaan menyeluruh, kampus tersebut dinyatakan aman dari bahan peledak.
ADVERTISEMENT
Seruan penentangan terhadap diskriminasi masyarakat kulit hitam di AS sejak lama lantang, tetapi semakin kuat menyusul pembunuhan keji seorang warga kulit hitam, George Floyd, oleh polisi AS pada 2020 silam.
“Selalu ada waktu bagi masyarakat kulit hitam dan seluruh warga untuk memperingati sejarah kulit hitam,” ujar profesor Sejarah Afrika Amerika Texas A&M University, Albert Broussard, sebagaimana dikutip dari NPR.
“Mengingat iklim rasial saat ini, kesadaran rasial yang dimulai menyusul pembunuhan terhadap George Floyd, ini [Black History Month] menjadi kesempatan bagi kita untuk belajar,” lanjutnya.
Seorang wanita menyentuh mural Breonna Taylor, sehari setelah dewan juri memilih untuk mendakwa salah satu dari tiga petugas polisi kulit putih atas kematian Taylor, di Black Lives Matter Plaza di Washington, AS, Kamis (24/9). Foto: CHERISS MAY/REUTERS

Dari Pekan Menjadi Bulan

Peringatan ini merupakan buah pikir dari seorang sejarawan tersohor dari Harvard University, Carter G Woodson, pada 1915 silam. Peringatan 50 tahun penghapusan perbudakan jatuh pada tahun tersebut.
ADVERTISEMENT
Woodson, yang ingin perjuangan masyarakat kulit hitam di AS dipelajari dan dilestarikan, akhirnya membentuk sebuah organisasi untuk mempromosikan studi ilmiah mengenai sejarah dan kehidupan kulit hitam.
Mengutip situs resmi Asosiasi Studi Kehidupan dan Sejarah Afrika-Amerika (ASALH), Woodson bersama empat rekannya membentuk Asosiasi Studi Kehidupan dan Sejarah Negro (Association for the Study of Negro Life and History/ASNLH).
Memasuki pertengahan 1920-an, Woodson memutuskan untuk lebih memperluas cakupan studi masyarakat kulit hitam dan memopulerkan pengetahuan mengenai masa lalu warga kulit hitam.
Akhirnya, pada 1926, ia mengumumkan penyelenggaraan peringatan Pekan Sejarah Negro (Negro History Week). Peringatan ini dirayakan setiap pekan kedua Februari.
Massa turut menyerukan keadilan bagi George Floyd dalam aksi protes di Minneapolis, AS, Selasa (26/5). Foto: Richard Tsong-Taatarii/Star Tribune via AP
Mengapa Woodson memilih Februari, terlebih pekan kedua?
Sebab, ulang tahun dua tokoh prominen dalam pembebasan perbudakan kulit hitam jatuh pada periode itu. Mereka adalah Abraham Lincoln dan Frederick Douglass.
ADVERTISEMENT
Lincoln dan Douglass berulang tahun pada 12 dan 14 Februari. Eks Presiden ke-16 AS itu merupakan figur berpengaruh dalam emansipasi budak tahun 1863.
Sedangkan Douglass, dulunya merupakan seorang budak, adalah pemimpin gerakan emansipasi perbudakan AS.
Sumbangsih Woodson dalam mengajar dan melestarikan sejarah kulit hitam melekat kuat. Bahkan, menurut Direktur Eksekutif Pusat Kebijakan dan Penelitian Anti-rasis American University Washington, Sara Clarke Kaplan, sejarah kulit hitam adalah sejarah Amerika Serikat.
“Tidak ada sejarah Amerika tanpa sejarah Afrika Amerika. Sejarah masyarakat kulit hitam tertanam dalam segala hal yang kita rujuk sebagai ‘sejarah Amerika,’” tegas Kaplan, sebagaimana dikutip dari NPR.
Seorang perempuan protes terhadap kematian di Minneapolis terhadap pria Afrika-Amerika George Floyd di alun-alun Hermannplatz di distrik Neukoelln, Berlin. Foto: REUTERS/Christian Mang
Peringatan Pekan Sejarah Negro ini terus berlangsung, bahkan selepas kepergian Woodson sang Bapak Sejarah Kulit Hitam pada 1950.
ADVERTISEMENT
Barulah pada 1976, Presiden Amerika Serikat saat itu, Gerald Ford, resmi mengakui peringatan Bulan Peringatan Sejarah Kulit Hitam.
“Kita bisa mengambil kesempatan ini untuk menghormati pencapaian masyarakat kulit hitam Amerika, di berbagai area perjuangan, yang sering kali dilupakan,” ujar Ford, dikutip dari History.com.

Mengangkat Tema Berbeda Setiap Tahunnya

ADVERTISEMENT
Tiap tahun, Presiden AS selalu menetapkan tema tertentu dalam Black History Month. Untuk tahun ini, tema yang diambil adalah “Kesehatan dan Kebugaran Masyarakat Kulit Hitam.”
Tema ini, menurut History.com, menjelajah warisan akademisi, tenaga medis, bidan, hingga praktisi kesehatan herbal di penjuru diaspora Afrika di Amerika Serikat.
Seorang dokter menyuntikkan vaksin corona kepada perawat di Long Island Jewish Medical Center di New Hyde Park, New York, AS, Senin (14/12). Foto: Mark Lennihan/Pool/REUTERS
Dalam keterangan resmi yang diunggah di situs Gedung Putih AS, Presiden AS Joe Biden berjanji mengupayakan kesetaraan dan perlindungan kepada masyarakat kulit hitam—terutama di bidang kesehatan, sesuai dengan tema tahun ini.
ADVERTISEMENT
“Untuk memenuhi janji Amerika bagi semua, kami akan bekerja tanpa lelah tahun ini untuk mewujudkan agenda Membangun Kembali dengan Lebih Baik, menurunkan biaya perawatan kesehatan anak, perumahan, pendidikan, layanan kesehatan, obat-obat dokter, dan lebih banyak lagi,” ucap Biden.
“Dan kami akan terus berjuang untuk meruntuhkan ketidaksetaraan struktural yang telah lama menjadi penghalang bagi keluarga-keluarga kulit hitam,” imbuhnya.

Diskriminasi dan Beban Warga Kulit Hitam AS di Tengah Pandemi

Memasuki tahun ketiga pandemi COVID-19, masyarakat kulit hitam AS menghadapi serangkaian dampak buruk.
Bahkan, beban yang dirasakan oleh tenaga kesehatan kulit hitam menjadi lebih berat dari biasanya, dibandingkan dengan yang dihadapi masyarakat kulit putih.
Didampingi sang istri Jill Biden, Presiden terpilih AS Joe Biden berbentur siku dengan perawat sebagai pengganti jabat tangan usai disuntik vaksin COVID-19 di Rumah Sakit ChristianaCare Christiana, di Newark, Delaware, AS, Senin (21/12). Foto: Leah Millis/REUTERS
Dilansir US News, seorang dokter di New York bernama Steven McDonald mengungkapkan kesulitannya menangani aliran pasien COVID—meliputi warga kulit hitam—sembari menghadapi diskriminasi sebagai ahli kesehatan berkulit hitam.
ADVERTISEMENT
“Masyarakat kulit hitam seperti saya, yang menyediakan pelayanan kesehatan, merasakan hambatan yang menekan kami. Dan di waktu yang bersamaan, pasien-pasien kulit hitam mengalami perjuangan yang lebih berat—tanpa pekerjaan atau asuransi kesehatan, tanpa jaminan pangan, tanpa akses telekomunikasi yang memadai untuk membuat janji dengan tenaga kesehatan,” ungkap McDonald.
Tenaga kesehatan kulit hitam juga cenderung lebih sering merawat masyarakat dengan tingkat penularan virus yang lebih tinggi.
Ini diperburuk dengan fasilitas kesehatan dan alat pelindung diri di area tersebut yang kurang memadai, menyebabkan para nakes berkulit hitam menjadi lebih berpotensi terpapar COVID-19.