Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Wilayah Nusantara dikenal memiliki tanah subur dan terkenal akan rempah-rempahnya. Salah satunya adalah rempah berjuluk emas hijau bernama pala .
ADVERTISEMENT
Sejarah bicara, dunia pernah memperebutkan buah seukuran antara bola golf dan bola kasti itu untuk dijual seharga emas . Bangsa Eropa bahkan rela menyeberangi lautan demi mendapatkan pala di wilayah Nusantara.
Bahkan, emas hijau itu masih berkilau di Indonesia hingga kini. Mengutip data ILO, dari produksi pala dunia yang mencapai 25.000 ton per tahun, Indonesia mendominasi 75 persen pasokannya.
Adapun pasokan pala ke pasar dunia terbesar setelah Indonesia adalah Granada sebesar 20 persen. Sisa pasokan dari 2 negara tersebut kemudian diisi oleh pala produksi India, Malaysia, Papua Nugini, Sri Lanka dan sejumlah pulau di Karibia.
Secara umum, terdapat 3 bagian pala yang bernilai ekonomis. Pertama, biji pala yang acapkali digunakan sebagai rempah, bumbu masak, pengharum, kosmetik, hingga minyak. Kedua, bunga pala atau fuli, yang berwarna merah muda sebagai bahan baku kosmetik.
ADVERTISEMENT
Selain itu, daging buah pala juga bisa diolah menjadi produk olahan seperti sirup, manisan, kecap, bahkan selai. Namun, nilai ekonomis yang terakhir ini tidak menjadi komoditas ekspor. Sebab, pala kini hanya diekspor dalam wujud primer berupa biji dan bunganya yang sudah ditumbuk maupun belum.
Mengutip buku Statistik Perkebunan Indonesia 2018-2020 Ditjen Perkebunan Kementan hingga kini Indonesia belum melakukan kegiatan ekspor dalam bentuk olahan atau manufaktur. Padahal rempah asli Indonesia itu merupakan komoditas ekspor unggulan.
Dirjen Perkebunan Kementan Kasdi Subagyono menyebut bahwa pemerintah menaruh perhatian besar pada peningkatan produksi, produktivitas, nilai tambah, dan daya saing produk perkebunan pala.
“Upaya pemerintah yang telah ditempuh untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pala antara lain penyediaan benih pala bersertifikat dan berlabel. Sekalipun di masa pandemi, permintaan konsumen untuk sertifikasi tanaman pala tidak mengalami penurunan,” kata Kasdi awal Juli lalu mengutip dari situs resmi Ditjenbun Kementan (25/12).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data statistik Ditjen Perkebunan tahun 2018, luas areal tanaman pala di Indonesia 202.325 ha dengan produksi 36.242 ton. Total nilai ekspor tahun 2018 tercatat 20.202 ton. Adapun sisanya menjadi konsumsi nasional untuk keperluan industri dan rumah tangga.
Dari total produksi tersebut, Sulawesi Utara merupakan provinsi penghasil pala terbesar di Indonesia, disusul oleh provinsi Maluku Utara, Papua Barat, Aceh, Maluku, Sumatera Barat dan Jawa Barat.
Hampir seluruh pala Indonesia dihasilkan dari perkebunan rakyat. Ini adalah perkebunan tak berbadan hukum yang dikelola oleh rakyat/pekebun yang dikelompokkan dalam usaha kecil tanaman perkebunan rakyat dan usaha rumah tangga perkebunan rakyat.
Data dari Kementerian Pertanian 2018 menyebut bahwa luas lahan pala yang dihasilkan dari perkebunan rakyat mencapai 99,78 persen atau seluas 228.640 hektar dari 229.139 total areal pala Indonesia.
ADVERTISEMENT
Karena pengusahaan tanaman ini berasal dari masyarakat, maka pengembangan terhadapnya akan berdampak pada kesejahteraan petani secara langsung. Ia juga menjadi sumber pendapatan masyarakat di wilayah yang menjadi sentra produksi pala.
Misalnya di Fakfak, Papua Barat, yang memiliki salah satu varietas unggul pala yakni pala negeri. Fakfak menjadi sentra pala terbesar di Papua Barat, sebab dari total 9.979 ton total produksi pala di Papua Barat 2018, 9.429 ton di antaranya berasal dari Fakfak.
Sekitar 8.500 KK merupakan petani yang menggantungkan kehidupan dari buah pala di Fakfak. Sejumlah warga di Kampung Air Besar, Pahger Nkendik, dan Kampung Mandoni, misalnya, memanfaatkan kebun pala sebagai mata pencaharian utama.
Laporan Ekspedisi Mangrove Yayasan EcoNusa 2019 menyebut bahwa masyarakat di 3 kampung tersebut mewariskan kebun pala secara turun-temurun. Masing-masing marga di setiap kampung memiliki area kebun pala yang secara umum hanya boleh diwariskan dan dipanen oleh anggota marga tersebut.
ADVERTISEMENT
“Panen pala biasa dilakukan dua kali setahun. Sebelum panen, mereka biasa memberlakukan sasi pala, biasanya 3 bulan sebelum waktu panen, untuk menjaga kualitas panen. Selama masa sasi pala, masyarakat dilarang masuk ke area sasi dan sanksi adat diberlakukan bagi mereka yang melanggar,” tulis laporan tersebut.
Pemberlakukan sasi ditentukan oleh petuanan melalui ritual-ritual adat. Dipimpin oleh petuanan, masyarakat biasa mempersembahkan sesajen berupa kopi lokal, tembakau lokal, dan sirih pinang dalam suatu wadah untuk kemudian diletakkan di pohon-pohon pala tertentu sebagai tanda berakhirnya masa panen.
Biasanya, pala dijual dalam bentuk kering ke pengepul karena harganya yang lebih tinggi. Kualitasnya pun berbeda-beda yang bisa mempengaruhi harganya. Di Kampung Air Besar, Fakfak, pala kelas 1 (paling bagus) dihargai Rp 70 per kg, kelas 2 (cacat/terkupas) dihargai Rp 50 ribu per kg, dan kelas 3 (pala hancur) dihargai Rp 20 ribu per kg. Satu kg pala sendiri dapat mencapai 50-100 biji pala, tergantung besar kecilnya ukuran pala.
ADVERTISEMENT
Beda kampung, beda pula harga jual. Di Pahger Nkendik, pala dijual terpisah bunga dan bijinya. Harga jual bunga pala (fuli) bisa mencapai Rp 120 ribu per kg, sedangkan harga jual biji berkisar Rp 200 ribu per kg.
“Dalam satu periode panen, 1 KK di Pahger Nkendik bisa panen hingga mencapai 20 ribu biji pala; sehingga rata-rata pendapatan per KK yang didapat dari 1 periode panen pala bisa mencapai 10 juta rupiah,” sebut laporan yang ditulis oleh Dean Affandi dkk itu.
Adapun di Kampung Mandoni, pala dijual langsung ke Ibu Kota Kabupaten Fakfak. Harga jual pala tua di kampung ini dihargai Rp 500 ribu per kg, sedangkan pala yang belum masak (masih berwarna putih) berharga Rp 450 ribu.
Dari ketiga kampung di Fakfak tadi, beberapa hal yang menjadi tantangan pengusahaan pala di masyarakat di antaranya kestabilan harga hingga kesulitan dalam mengusahakan produk turunan pala. Petani tidak kuasa menentukan harga karena acapkali harga ditentukan oleh penadah.
ADVERTISEMENT
“Ketidakstabilan harga ini dipengaruhi oleh adanya cukong, yaitu pembeli-pembeli pala perorangan yang dapat mempengaruhi harga jual pala di kampung-kampung yang berbeda,” tulis laporan Yayasan EcoNusa.
Selain itu, produk turunan pala mengalami kesulitan produksi karena masyarakat kurang memiliki kapasitas untuk melakukan hal tersebut. Masyarakat di Fakfak hanya menjual produk olahan pala berbasis pesanan, alias dalam skala kecil saja.
Produk turunan pala memang sudah dijual di berbagai sentra masyarakat. Pantauan kumparan, produk seperti sirup pala dapat dibeli di kafe atau warung kopi sekitar pusat kota Fakfak. Harganya pun murah, 15 ribu per botol berukuran sedang.
“Sampai saat ini belum ada pendampingan yang intensif dari pemerintah daerah untuk mendukung ekonomi masyarakat berbasis pala. Peningkatan kapasitas dibutuhkan khususnya untuk pembuatan dan pemasaran produk olahan pala seperti sirup, mentega, dan manisan,” jelas laporan tersebut.
ADVERTISEMENT